Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Oct 12, 2009

Retnoarum Kumala Ningsih

Namanya Ningsih. Aku mengenalnya di warung kelontong Pak Junaidi. Lebih tepat aku melihatnya. Sudah satu minggu aku melihatnya. Menunggu angkutan di depan warung yang berada di pengkolan masuk desa.
Rambutnya bergelombang dikuncir satu ke belakang. Kulitnya sawo matang. Matanya yang terang dihiasi bulu yang lentik. Bibirnya agak tebal, tapi tidak terlalu. Cukup untuk terlihat seksi di wajah manisnya. Semakin indah bila dia tersenyum, sebuah lesung langsung terbentuk di pipi kanannya.
Retnoarum Kumala Ningsih, itu nama lengkapnya, kata Pak Junaidi. Meski berkali-kali dipaksa untuk berkenalan, selalu saja aku gagal mengumpulkan keberanian.
Ningsih mungkin bukan kembang desa. Pribadinya yang agak tertutup, pakaiannya yang begitu sopan, ditambah sikapnya yang terkesan angkuh; membuat pemuda desa engkan mendekatinya. Berbeda denganku, aku enggan mendekatinya bukan karena itu. Tapi aku terlalu takut untuk menjulurkan tanganku, walau itu sekedar bertanya namanya, atau kabarnya, atau apalah.
Pak Junaidi bilang Ningsih kerja di kota. ‘Jadi buruh pabrik.’ Begitu katanya. Aku sudah sering nongkrong di warung Pak Junaidi, tapi baru satu minggu ini aku melihat Ningsih. Wanita yang begitu menggoda hatiku.
‘Ayahnya seorang kuli bangunan, tapi satu bulan yang lalu meninggal karena kecelakaan di sebuah proyek.’ Jelas Pak Junaidi.
‘Sudah satu minggu lebih dia kerja di kota, buat membantu meringankan beban ibunya.’ Tambah Pak Junaidi.
Semakin banyak yang kuketahui tentang Ningsih, perasaankupun bertambah kuat padanya. Seakan aku merasa, dialah wanita yang pantas mendampingiku. Tapi rasanya kok tidak mungkin. Sekedar menyapanya saja, seluruh persendianku seperti akan lepas, bergetar hebat.
Pernah sekali waktu kuberanikan diri untuk menghampirinya. Dengan penuh percaya diri, aku berjalan perlahan ke arah Ningsih yang sedang menunggu angkutan. Ketika jarakku sudah begitu dekat, matanya yang indah melihat ke arahku. Entah kenapa, langkahku berbelok menuju warung Pak Junaidi.
‘Rokok satu bungkus pak.’ Suaraku sedikit bergetar. Pak Junaidi hanya tersenyum melihat aku yang salah tingkah.
Entah bagaimana lagi aku harus mendekatinya, setiap berusaha selalu gagal. Sesekalinya Ningsih menatap ke arahku dan tersenyum, jantungku langsung berdegup kencang dan darahku mengalir deras ke kepala. Aku tersenyum atau tidak, sudah tidak kusadari lagi.
***
Sudah hampir satu bulan aku memperhatikannya. Melihat dia pergi di pagi hari, dan menunggunya pulang saat maghrib hampir menyapa. Dinding kamarku jadi saksi bisu ketika garis demi garis kutarik untuk menghitung berlalunya waktu. Aku tidak kuat tersiksa lebih lama lagi. Tekadku sudah bulat, aku harus mengenalnya hari ini. Kukenakan setelan paling rapi yang aku miliki. Ditambah sedikit wewangian yang sudah hampir habis. Setelah merapikan rambut dan memakai sepatu, kulangkahkan kakiku dengan mantap, meninggalkan rumah menuju warung kelontong Pak Junaidi.
Hari itu cerah, secerah suasana hatiku. Burung-burung yang berkicau menambah indahnya pagi itu. Setelah melewati jalan setapak pedesaan yang dinaungi rimbunnya pepohonan di kedua sisinya, aku sampai di depan warung Pak Junaidi. Ningsih belum ada di sana, berarti aku tidak terlambat. Kubeli sebatang rokok untuk menghilangkan rasa gugupku. Setelah kunyalakan, aku duduk di depan warung, menanti kekasih pujaan hati.
Di kejauhan kulihat sosok yang tidak asing. Keindahan wajahnya semakin terpancar saat tertimpa sinar matahari. Retnoarum Kumala Ningsih, hari ini aku akan mengakhiri penantianku.
Ningsih menatap ke arahku dan tersenyum sebelum akhirnya dia berbalik, menunggu angkutan. Meski aku semakin gugup setelah melihat senyumnya, tekad bulatku mengalahkannya. Kulangkahkan kakiku perlahan, terasa bergetar di bagian lutut, seakan membawa lima karung beras di pundakku.
Jarakku tidak terlalu jauh saat ekor mataku menangkap keanehan. Kupaksakan kakiku, kudorong Ningsih yang terpaku. Saat tubuhnya terjerambab di jalan, dari arah kanan sebuah mobil menghantam tubuhku. Dalam kecepatan tinggi, sebuah mobil tidak terkendali saat ban kirinya tiba-tiba meledak. Aku terhempas menabrak sebuah pohon sebelum rubuh ke tanah dan kepalaku terbentur benda yang sangat keras.
Kerumunan orang menghampiriku, seseorang mengangkat leherku dengan lembut dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Perlahan kubuka mataku. Meskipun cairan merah mengaburkan pandanganku, aku masih bisa mengenali wajah itu.
‘Ningsih ..’ Suaraku seperti tersedak.
‘Iya mas.’ Ningsih terisak.
‘Kamu baik-baik saja?’ Mataku semakin kabur, darah semakin banyak mengalir dari luka di kepalaku.
Ningsih hanya mengangguk, dengan susah payah dia menahan tangisnya.
‘Jangan nangis.’ Kucoba mengangkat tangan, tapi hanya menyentuh udara. Sentuhan hangat Ningsih membantuku untuk meletakkan tanganku di pipinya yang basah oleh air mata.
‘Namaku Anto.’ Itulah kata terakhir yang kuingat. Aku tersenyum sebelum akhirnya pandanganku melemah. Mataku tertutup. Setelah tersentak semuanya menjadi gelap. Tidak ada cahaya, tanpa suara sama sekali. Sunyi.
***
Satu minggu berlalu. Di pengkolan desa di depan warung kelontong Pak Junaidi, Anto harus pergi dengan tragis.
Seorang wanita bersimpuh di depan sebuah makam. Rambutnya yang ikal tertutup selendang hitam. Matanya yang indah, berair.
‘Mas Anto, kenapa kamu pergi sebelum aku sempat untuk mengatakan betapa aku mencintaimu?’
Setelah meletakkan karangan bunga dan mencium nisannya, gadis itu meninggalkan komplek pemakaman. Dalam naungan rimbunnya pohon kamboja, kakinya melangkah dengan gontai. Gadis itulah yang menjadi pujaan hati seorang lelaki yang rela menunggu dari pagi hingga maghrib. Lelaki yang hanya bisa memendam cintanya hingga waktu menutup matanya. Menyiksa batinnya dalam penantian untuk menyapa gadis pujaannya. Sebuah penantian hanya untuk mendengar dia menyebut nama gadis itu dari bibirnya sendiri.
‘Retnoarum Kumala Ningsih.’

Created by Robby Syahputra
Yogyakarta, September 10th, 2005

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More