Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Jan 16, 2010

Pemahaman Diri

Ketika Christian meninggalkan tanah tersuci, tempat Angelina kini tinggal, dia merasa bahwa dia juga telah meninggalkan kehidupan sebelumnya di sana. Ketika dengan pelan ia meneruskan jalannya, benaknya dipenuhi oleh pikiran-pikiran. Dengan dalam ia berkaca pada diri, hingga perasaan itu meliputi keseluruhan dirinya dan ia mencapai satu tahapan titik dimana menjadi tempat dirinya menyadari sebab-sebab, yang terlihat pada dirinya, menjadikannya berpikir; dan melalui pikiran itu, perasaan-perasaan menjadi sebentuk pengetahuan dan tidak lenyap, tetapi menjadi semakin nyata dan menuju kematangan.
Dengan heningnya ia meresapi ketika ia meneruskan perjalanannya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah lagi anak muda; sekarang dirinya menjadi jauh lebih dewasa. Dia memahami ada sesuatu yang menghilang dari dirinya, seperti kulit tua tempat seekor ular pernah bersembunyi. Sesuatu tidak lagi berada di dalam dirinya, sesuatu yang telah menemaninya selama masa mudanya dan menjadi bagian dirinya; yaitu keinginan untuk memiliki guru-guru yang terbesar dan terbijaksana, yang paling suci. Dia harus meninggalkan pemikiran-pemikiran itu; dan dia harus menemukan makna ajaran dirinya sendiri.
Dengan pelan, pemikir itu meneruskan pencarian jalan hidupnya, dan bertanya kepada dirinya sendiri; Apa yang menyebabkan engkau ingin belajar dari ajaran-ajaran dan guru-guru, dan meskipun mereka ada banyak mengajarkan hal kepadamu, mengapa mereka tetap tidak dapat mengajarkan dirimu? Dan dia juga berpikir; Itulah diri, sifat dan sikap yang terus ingin aku pelajari. Aku ingin melenyapkan diri-ku sendiri. Untuk mengalahkannya, tetapi aku masih belum dapat mengalahkannya. Aku baru dapat menipunya, hanya dapat menghindarinya. Hanya mampu bersembunyi dari padanya. Sesungguhnya, tidak ada satu pun di dunia yang telah menguasai pikiran-pikiranku sebanyak diri ini, teka-teki ini, yang aku hidup, yang aku adalah satu dan dipisahkan dan berbeda dengan orang lain, bahwa aku adalah aku; dan tentang sesuatu yang tidak ada di dunia ini yang sedikit sekali kuketahui daripada tentang diriku sendiri.
Pemikir itu masih melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia berdiri tegak, tercekam oleh pemikirannya sendiri, dan pikiran lain segera saja bangkit dari pemikiran yang satu ini. Alasan mengapa aku tidak dapat mengetahui sesuatu tentang diriku, alasan mengapa aku tetap tinggal dan merasa asing dan tidak diketahuo oleh diri-ku berkenaan dengan satu hal, dengan satu hal tunggal – aku takut kepada diriku sendiri, aku sedang mencoba meninggalkan diriku sendiri. Aku mencari Tuhan, menjadi anak Tuhan, mencari Roh Kudus, mengharap kasih Bunda Maria, atau hanya terus ingin menghancurkan diriku sendiri, berusaha untuk melepaskan diriku dari diriku sendiri, untuk menemukan di kedalaman yang tidak kukenal, inti semua hal. Tetapi dengan berusaha melenyapkan diri-ku, sesungguhnya aku telah kehilangan diriku di tengah jalan.
Christian memandang ke atas dan sekitar dirinya. Senyum mengembang di wajahnya. Dan, perasaan kuat tersadar dari impian lama terkembang cepat melalui keberadaannya. Dengan segera ia meneruskan perjalanannya dengan cepat, seperti seseorang yang mengetahui apa yang harus dikerjakannya.
Ya, ia berpikir sambil bernafas dalam. Aku tidak lagi mencoba melepaskan diri-ku dari aku. Aku tidak akan lagi mengabdikan pikiran-pikiranku pada kesenangan dan kepedihan-kepedihan dunia. Aku tidak akan lagi memuntungkan dan menghancurkan diriku hanya untuk menemukan rahasia di balik kehancuran itu. Aku tidak akan lagi belajar pada Injil, mencari Tuhan Bapa, mencoba menjadi anak Tuhan atau berharap mendapat berkat dari roh kudus, ataupun ajaran-ajaran lainnya. Aku hanya akan belajar pada diriku sendiri, menjadi guru serta murid bagi diriku sendiri. Aku akan belajar dari diriku sendiri tentang rahasia diri-ku.
Christian melihat berkeliling, seakan-akan ia baru saja melihat dunia untuk pertama kalinya. Dunia sangatlah indah, dan juga misterius. Di sini biru, di sana kuning, di situ hijau, langit, sungai dan hutan serta gunung-gunung, semuanya indah, semua begitu misterius, dan menawan. Di tengah segala pemikirannya, Chrsitian, seseorang yang disadarkan, sedang menuju kepada inti diri-nya sendiri. Semua hal, semua yang menjadi biru, kuning, hijau, sungai dan hutan, lewat untuk pertama kalinya melintasi mata Christian. Semua itu tidak lagi menjadi gaya tarik maya, semua itu bukan lagi kabut maya, semua itu tidak lagi ada artinya dan keanekaragaman kesempatan bentuk dunia, yang dipandang remeh para musafir yang berfikir sungguh-sungguh, yang mencaci maki keanekaragaman, yang mencari kesatuan. Sungai adalah sungai. Dan, jika sesuatu yang tunggal dalam diri Christian secara rahasia hidup dalam warnanya yang biru dan sungai, itu hanyalah sebuah bentuk seni agung dan sebuah bentuk kepamrihan, bahwa harus ada biru dan hijau, ada langit dan hutan – dan di tempat itu, Christian menyadari bahwa arti dan kenyataan tidak disembunyikan di mana pun di balik benda-benda, tetapi di dalam benda, di dalam semua benda.
Sungguh, betapa bodoh dan tulinya diriku ini, pikirnya, sambil terus berjalan dengan cepat. Bila seseorang membaca sesuatu yang ingin dia pelajari, dia tentunya tidak akan meremehkan segala tulisan dan tanda-tanda baca, dan hanya menyebut mereka sebagai ilusi, sebuah kemungkinan dan kerang-kerang yang tidak berharga. Tetapi, dia membaca semua itu, huruf demi huruf. Tetapi aku, yang begitu ingin membaca buku dunia dan buku tentang seluruh sifatku sendiri, telah sepenuhnya memandang rendah huruf dan tanda-tanda . aku menyebut dunia penampilan hanya sebagai ilusi. Aku telah menamakan mata dan lidahku sebagai kesempatan. Kini semuanya sudah berakhir. Aku telah tersadar. Aku benar-benar telah sadar, telah mati diriku yang dulu. Satu bentuk kematian dalam kehidupan ini. dan, aku merasa telah dilahirkan kembali, dilahirkan sepenuhnya hari ini.
Tetapi saat pikiran-pikiran ini melintasi benak Christian, ia secara tiba-tiba berdiri tegak, seolah-olah bagaikan seekor ular kobra yang berhenti merayap di tengah jalannya. Dan, tiba-tiba semua pun menjadi jelas padanya; dirinya, yang dalam kenyataan seperti seorang yang telah disadarkan atau baru dilahirkan, harus memulai kembali kehidupannya dengan kesadaran penuh. Saat dirinya meninggalkan As-Salam, tempat pria suci berada, dia telah sadar, bahwa dirinya telah sepenuhnya siap di jalan kepada dirinya sendiri; suatu hal wajar baginya setelah dirinya melewati hari-hari yang panjang, saatnya bagi Christian untuk kembali ke rumah dan juga ayahnya. Namun, saat ia masih berdiri tegak, pikiran lain juga datang padanya; Aku bukan lagi aku yang dulu. Aku bukan lagi seorang musafir. Lalu apa yang akan kulakukan jika aku kembali ke rumah? Banyak hal yang telah berlalu dalam hidupku.
Christian masih tetap berdiri tegak di sana, dan untuk beberapa saat rasa dingin merangkul tubuhnya. Di dalam dirinya, ia bergetar seperti sinar sebuah bintang kecil, saat dia menyadari seluruhnya, betapa dirinya merasa sendirian. Dia tidak lagi berumah untuk waktu yang lama dan tidak pernah sepenuhnya merasakan seperti ini. namun, kini dia benar-benar merasakannya. Sebelumnya, saat dirinya masih bersama Angelina dan para musafir, saat dirinya melatih untuk menahan segala bentuk kesenangan duniawi, dia masih merasa sebagai anak ayahnya. Dia masih merasa sebagai putra dari seorang pelacur. Dia juga merasa sebagai seseorang yang beragama. Sekarang dia adalah Christian, yang telah dibangkitkan kesadarannya. Dia menarik nafasnya begitu dalam dan untuk beberapa saat dia merasa gemetar. Dia merasa tidak ada seorangpun yang merasa demikian sendirian dan kesepian seperti dirinya. Dia bukanlah seorang guru yang bijaksana yang akan memiliki banyak murid, bukan seorang bangsawan yang memiliki harta berlimpah, bukan pula seorang kuli terampil seperti ayahnya, yang memiliki teman sesama kuli yang mempunya bahasa yang sama. Bahkan seorang musafir sekalipun akan memiliki kedekatan dengan sekelompok musafir. Angelina telah memilih jalannya, dan ribuan santri dan santriwati di As-Salam adalah saudaranya, berbagi kepercayaan dan berbicara dengan bahasanya. Tetapi dirinya, Christian, milik siapakah dia? Dengan siapakah dirinya seharusnya menghabiskan hidup? Dengan bahasa apakah dia harus berbicara?
Kala itu, saat dunia di sekelilingnya perlahan memudar lalu menghilang, dirinya berdiri tegak sendirian laksana bintang kecil di sudut langit, ia begitu diliputi rasa keputusasaan yang dalam dan dingin, akan tetapi itu justru membuatnya menjadi lebih kuat dibandingkan dia sebelumnya. Itulah bentuk getaran terakhir dari kesadarannya, kesakitan terakhir dari sisa kematiannya. Langkahnya segera mengayun, dan ia mulai berjalan dengan cepat dan tidak sabar. Langkahnya tidak lagi menuju ke rumah, tidak lagi untuk ayahnya. Dia tidak lagi menoleh ke belakang.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More