Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Dec 28, 2009

Chapter 1 : Putra Seorang Pelacur

Dalam bayangan pohon, di bawah sinar matahari di tepi danau, dalam bayangan hutan dan cemara yang pucat, Christian, pria rupawan putra seorang pelacur. Matanya menatap kosong jauh ke depan, melintas danau yang bergetar bening tertiup angin. Matahari membakar pangkal lengannya yang terbuka. Ayahnya seorang kuli bangunan, dan ibunya seorang pelacur. Tidak satupun percaya dia adalah putra dari ayahnya yang seorang kuli. Ayahnya pendek dan kekar. Kulitnya hitam dengan rambut keriting. Christian diberi nama oleh ayahnya Miing. Semenjak kecil dia banyak menghabiskan waktu berbincang dengan seorang pendeta. Dia telah belajar banyak ilmu yang perlu diketahuinya. Telah sering berdebat untuk mengetahui lebih banyak lagi, serta telah menjalani pembabtisan juga pengakuan dosa untuk ibunya.
Christian tidak pernah melihat ayah atau ibunya sembahyang, dalam kepercayaan apapun. Bahkan dia tidak tahu apa agama yang dianut kedua orangtuanya. Ia hanya tahu bagaimana sepenuh hatinya, di dalam kalbunya yang terdalam dia mencintai meraka, sepenuhnya hingga kasih itu muncul dalam seluruh jiwanya, hingga tidak dapat dihancurkan oleh bentuk penghinaan apapun.
Ayahnya meskipun bukan bapaknya, sangat berbahagia dengan Christian yang cerdas dan begitu antusias akan ilmu. Ia hanya bisa melihat suatu hari nanti, putranya meskipun bukan anaknya, akan menjadi seorang terpelajar, seorang guru, raja diantara sesamanya.
Di mata ibunya dan di balik dadanya yang telah terjamah ratusan orang, ada kebanggaan pada putranya. Saat ia tersenyum, berjalan, berbicara, duduk dan bangkit kembali. Christian tumbuh menjadi pria tampan, gagah dan perkasa. Geraknya lembut dan sikapnya tegas.
Ada ribuan cinta yang mengusik hati gadis di sekitar tempat tinggal mereka. Saat ia berjalan melewati rumah-rumah mereka, alisnya yang tinggi dan matanya yang teduh juga tajam, serta tubuhnya yang semampai, benar-benar telah menyengsarakan hati para gadis-gadis itu.
Angelina, putri sang pendeta. Ia mencintai Christian melebihi apapun. Ia mencintai mata dan tutur kata Christian. Ia menyukai cara Christian melangkah dan menatapnya. Ia mencintai apapun yang dikatakan dan dilakukan Christian. Dan, melebihi segalanya, ia mencintai kecerdasan, pikiran-pikiran yang jumawa, keinginan yang begitu kuat, serta dedikasi tinggi akan segala sesuatu yang dikerjakannya. Angelina mengerti sepenuhnya ia tidak akan bisa memiliki Christian. Cintanya akan menjadi seorang raja yang tidak biasa. Seorang pemuka yang luar biasa, melebihi apapun yang telah dilakukan oleh ayahnya. Dan, Angelina tidak pernah sepenuhnya mengharapkan lebih atas Christian. Dia hanya akan menabur jalannya dengan bunga. Jika Christian akan menjadi satu anak Allah yang terkasih, ia berharap akan mengikutinya sebagai sahabat, abdi terkasih, pembawa tongkatnya, atau sekedar menjadi bayangannya. Ia hanya ingin mengikuti Christian.
Ada banyak cara orang mencintai Christian, karena dia akan selalu menyenangkan dan membahagiakan setiap orang. Saat menatap Christian, kehinaan sirna dari tatapan mereka. Meraka lalu lupa bahwa ia hanya putra seorang kuli bangunan dan seorang pelacur. Mereka membagikan harta mereka, menjamu dirinya dengan hidangan-hidangan lezat. Putri-putri mereka bertanya, meminta hingga menggoda. Mereka rela melepas pakaian mereka, meminta setitik benih dari dirinya. Begitu inginnya merasakan bagaimana rasanya saat tubuh Christian menyatu dengan mereka. Bergelora hingga mereka lupa apa yang dihinakan atas ibunya saat ia masih belia. Tanpa mereka sadari, mereka rela menjadi pelacur demi mendapatkan putra seorang pelacur.
Christian tidak pernah bahagia. Ia berkeliling sepanjang jalan, menyepi hingga larut dalam perenungannya. Duduk merenungkan diri di tepi danau, di bawah pohon-pohon yang teduh, mencuci seluruh anggota badannnya setiap hari, berharap ia terbebas dari segala jenis dosa. Ia dicintai hampir seluruh orang, karena ia adalah sumber kegembiraan. Kebencian hanya muncul dari para pria remaja hingga dewasa. Christian telah menghancurkan mimpi mereka saat gadis-gadis yang mereka cintai lebih memilih dirinya. Tetapi di dalam hatinya, Christian tidak memiliki sedikitpun kegembiraan itu. Dia tidak terusik dengan segala kebencian itu. Hanya ada Angelina yang akan selalu melindunginya. Menjaganya saat para pria mulai resah pada dirinya.
Impian-impian, pemikiran-pemikiran, dan hati gelisah selalu menghampirinya dari matahari di saat pagi dan siang, dari bulan di kala malam, bintang-bintang, alirang sungai, hewan-hewan dan dari angin yang berhembus. Impian-impian itu datang padanya, bangkit dari lonceng gereja, keluar dari syair-syair di kala Misa, menetes pelan dari ajaran-ajaran perjanjian lama.
Perlahan, Christian mulai merasakan bibit-bibit ketidaksenangan pada dirinya. Dia merasakan bahwa cinta ayahnya, ibunya serta cinta temannya, Angelina, tidak cukup memeberikannya kedamaian, memuaskan dirinya dan mencukupi seluruh keinginan hatinya.
Ia mulai menyadari bahwa sang pendeta telah menuangkan dan menceritakan padanya bagian terpenting, terbesar dan terbijaksana, bahwa dirinya telah menuangkan setumpuk pengetahuan dalam otaknya yang tidak penuh-penuh. Hatinya tidak cukup terpuaskan, sehingga jiwanya tidak damai, hatinya dan fikirannya tidak mampu bertahan untuk tinggal diam.
Penyucian-penyucian itu tidaklah salah di matanya, tetapi itu hanya air dan pengakuan; air dan pengakuan tidaklah melenyapkan dosa, air dan pengakuan juga tidak mampu melenyapkan derita di dalam hati.
Syair-syair dan juga bait-bait lagu itu baik, tetapi apakah semua itu adalah segalanya? Apakah syair-syair serta lagu-lagu itu memberikan kebahagiaan? Lalu bagaimana dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus atau Bunda Maria? Bukankah Yesus anak Tuhan dan Putra dari Bunda Maria? Lalu apakah Bunda Maria adalah istri Tuhan? Bukankan Al Masih diciptakan seperti adanya diriku dan manusia lainnya, makhluk hidup yang menumpang sementara di atas bumi? Apakah itu cukup pantas dan baik, menyembah sesuatu yang menyerupai kita? Lalu kepada siapa lagi kita harus mengalunkan syai-syair dan bait-bait, kepada siapa lagi kita harus tunduk dan hormat, selain kepada satu Dzat Tunggal, Dia Yang Maha Esa itu? Lalu dimanakah Dzat Tunggal itu? Dimanakah Dia bersembunyi, suara nafas-Nya yang lembut terhembus, degup dan detak jantung-Nya yang lenggang berdetak? Dimanakah Dia bersembunyi selain pada Diri-Nya, di tempat terdalam, di relung paling tersembunyi. Di dalam keheningan yang terdapat dalam diri setiap orang. Tetapi dimanakah letak keheningan yang terdalam itu? Karena dia bukanlah darah dan daging, serta bukan suatu bentuk pikiran dan kesadaran. Lalu dimanakah sebenarnya Dia? Untuk menemui-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya, adakah jalan terbaik lainnya yang dapat ditempuh? Tidak ada satu orangpun dapat memberitahunya. Ayahnya yang seorang kuli, ibunya yang seorang pelacur, gurunya yang seorang pendeta, sahabatnya yang begitu mencintainya. Perjanjian Lama juga Baru, bait-bait nyanyian dan syair-syair suci; mereka tahu segala-galanya dan juga telah mencapai segala-galanya. Penciptaan dunia, manusia, makhluk bernyawa, asal-muasal, makanan, tarikan dan hembusan nafas, pengaturan rasa yang benar dan salah, tindakan para Nabi dan Rasul serta para Malaikat dan Jin. Mereka tahu segala jenis barang dan nilainya. Tetapi apakah semua itu akan jadi berharga saat mereka tidak mengetahui satu hal yang cukup penting, satu-satunya hal yang sangat penting itu?
Ada banyak bait-bait, firman-firman dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Alkitab mengungkapkan hal yang terdalam itu. Ajaran Tuhan Yesus yang dicatat oleh Rasul Matius, Lukas, Yohanes serta Rasul Markus. Tertulis di dalamnya pada “Matius” pasal 5 ayat 9, “Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah”. Dikatakan dalam “Yohanes” pasal 14 ayat 9, “Siapa yang sudah nampak Aku, ia sudah nampak Bapa”, serta ayat 10, “Tiadakah engkau percaya bahwa aku ini di dalam Bapa, dan Bapapun di dalam Aku? Segala perkataan yang aku ini katakan kepadamu, bukanlah Aku katakan dengan kehendak sendiri, melainkan Bapa itu yang tinggal di dalam Aku. Ia mengadakan segala perbuatan itu”. Jika engkau mampu mendamaikan manusia maka engkau akan mampu mejadi anak-anak terkasih Allah. Jika engkau menjadi anak Allah, maka engkau akan menjadi sama seperti Tuhan Yesus, lalu hal terpenting itu akan ada di dalam dirimu. Hingga saat engkau dan Tuhan akan menjadi satu, Tunggal. Sebagaiman tertulis dalam “Yohanes” 10,30: “Aku dan Bapa itu satu adanya.” Demikian pula halnya dengan Roh Suci, sebab Roh Suci menjadi satu dengan Yesus, sebagaimana tertuang dalam Injil, setelah Yesus berumur 30 tahun, turun Roh Suci kepadanya dan dibaptiskan oleh pembabtis Yohanes. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus, Roh Suci, dan Tuhan adalah Tunggal.
Ini adalah kebijaksanaan yang indah dalam syair-syair dan firman-firman itu; keseluruhan pengetahuan akan kebijaksanaan diceritakan di sini dengan bahasa yang menarik dan indah, murni semurni intisari bunga yang diubah menjadi madu oleh lebah. Sedikitpun, tidak ada sedikitpun dari seluruh jumlah pengetahuan yang besar ini, yang telah dikumpulkan dan dipelihara oleh generasi-generasi dapat dengan mudah diabaikan. Tetapi dimanakah para guru, para bijaksana, para pendeta, pastur atau romo yang tidak hanya sekedar berhasil dalam memiliki ilmu pengetahuan yang paling besar, tetapi juga berhasil memperoleh begitu banyak pengalaman dari pengetahuan itu? Dimanakah mereka yang mempunyai andil begitu besar, orang-orang yang mampu menjadi tunggal dengan Dzat Yang Esa, yang mampu menguasai kesadarannya, dalam hidupnya, dalam keadaan apapun baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Chirstian hanya mengetahui seorang manusia suci, meskipun dalam hidupnya ia belum mampu menjadi tunggal, sang pendeta – gurunya yang suci, terpelajar diantara orang-orang mulia yang tertinggi. Sang pendeta begitu merasuk kekagumannya. Sikapnya begitu lembut dan tenang. Ia menjalankan sebuah kehidupan yang baik dengan putri angkat yang baik pula. Kata-katanya bijaksana; dimana tersembunyi pemikiran-pemikiran indah dan mulia di dalam benaknya. Tetapi dia yang mengetahui begitu banyak ilmu dan pengetahuan, dan jalan-jalan kemuliaan, bahagiakah hidupnya, damaikah dia? Bukankah dirinya juga seorang pencari yang tidak pernah puas? Atau dia merasa cukup puas dengan hanya menjadi seorang pelayan dari seluruh ajaran Dzat Yang Esa? Bukankah ia juga melayani pengaduan dan pengakuan dosa, lalu bagaimana bila ia ingin melakukannya? Atau mungkinkah ia telah menjadi Tunggal? Bukankah ia selalu memberikan wejangan dalam misa-nya? Kenapa dia begitu keras berusaha untuk mengeyahkan dosa dalam hidupnya, bila ia adalah sang penerima pengakuan dosa? Tidakkah Tuhan telah berada dalam dirinya, telah menyatu dalam dirinya? Tidakkah Dzat itu telah merasuk dalam sanubarinya? Seseorang harus terus mencari sumber dalam Diri-Nya sendiri. Seseorang harus mampu memilikinya. Segala sesuatunya sedang mencari – inilah sebuah bentuk kesalahan yang terus melingkar.
Itulah segala bentuk kegelisahan hati Christian.

Kepada dirinya sendiri, Christian terus mengulang perkataan sang pendeta dari Firman-Nya, yang tertuang dalam “Johanes” pasl 10 ayat 38:”Supaya kamu dapat tahu dan percaya, yang Bapa ada di dalam Aku, dan Aku ada di dalam Bapa.” Yang ayat ini menunjukkan bahwa Yesus anak Tuhan dan Tuhan itu adalah satu adanya. Dan, mendamaikan akan membuat manusia menjadi anak-anak Tuhan. Kebenaran itu sedikit seringnya menjadi dekat dengan pemahaman untuk dapat menjadi satu dengan Tuhan – tetapi tidak mampu benar-benar untuk mencapainya, sehingga tidaklah itu mampu memuaskan kehausan terakhir. Dan pada orang bijak itu dan pelajaran-pelajaran yang ia pelajari, tidak ada satupun yang benar-benar mencapainya – menjadi satu dengan Tuhan itu – tak satu orangpun yang telah benar-benar memuaskan kehausan abadi itu.
“Angelina,” kata Christian pada sahabatnya, “Angelina, mari kita ke tepi danau, di satu sudut, di dalam gua, kita menyepi dan melatih jiwa, fikiran dan mengendalikan hati.”
Mereka lalu pergi ke danau, tiga puluh langkah jaraknya, mereka masuk ke dalam ceruk yang cukup dalam untuk menyembunyikan mereka dari dunia luar. Saat Angelina akan duduk untuk melatih segala fikirannya, Christian menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menggelarnya di lantai gua. Angelina terpukau menatap keindahan tubuh sang pujaannya. “Tanggalkan seluruh penutup tubuhmu, sahabatku,” Christian berkata dengan penuh kelembutan pada sahabatnya. Kebingungan mengisi seluruh benak dan fikiran Angelina. Rasanya tidak menolak meski kesadarannya tidak mengiyakan. Di bawah kekagumannya, Angelina menanggalkan seluruh pakaiannya. Keranuman tubuh seorang gadis muda terlihat jelas di hadapan Christian. “Gelarlah pakaianmu di lantai, seperti yang aku lakukan.” Angelina melakukan apa yang Christian perintahkan. “Duduklah di atasnya dengan bersila, dan jangan sekalipun engkau memejamkan matamu dari menatapku. Begitupun halnya yang akan aku lakukan.” Christian segera duduk bersila di atas pakaiannya, diikuti oleh Angelina yang masih merasa takjub dengan apa yang dialaminya. Christian lalu dengan lembut mengucapkan bait Firman-Nya.
“Supaya kamu dapat tahu dan percaya, yang Bapa ada di dalam Aku, dan Aku ada di dalam Bapa.”
Saat waktu terus berlalu, Christian mencoba untuk tetap tenang melihat apa yang ada di hadapannya. Melewati waktu-waktu berat saat fikiran terburuknya berbicara tentang keindahan dua payudara Angelina, kulit tubuhnya yang kuning terpendar kemilau tersentuh sinar matahari yang berhasil menyeruak masuk. Vaginanya yang merekah merah muda yang terawat, menggoda nafsu binatangnya untuk bisa merasakan.
Tatapan Angelina yang perlahan berubah, menatap inci demi inci tubuh Christian. Hingga terhenti pada kemaluannya. Bagaimana fikirannya menggoda dirinya untuk membayangkan tubuh Christian menindihnya, menyatu dalam dirinya, hingga memuntahkan cairan kenikmatan antara keduanya.
Saat Christian melewati waktu yang lazim untuknya melatih jiwanya, fikiran juga mengendalikan hatinya untuk mengalahkan nafsu binatangnya, Christian bangkit. Hari sudah mendekati senja. Saatnya kembali dan melakukan penyucian diri. Membasuh dirinya dengan air dan mengakui dosanya. Ia memanggil nama Angelina; namun yang dipanggil tidak menyahut. Angelina duduk dengan diam, matanya terasa kosong membayangkan sesuatu. Nafasnya terengah, jiwanya terkotori. Kekalahan atas naluri terendahnya telah membuat Angelina seperti sosok yang terbelenggu keinginan terburuknya.
Saat Christian mengambil pakaiannya, Angelina berjalan pelan ke arahnya. Tatapannya menusuk tajam ke dalam relung Christian. Kedua lengannya merangkul tubuh Christian, hingga kedua payudaranya bergesekan dengan dada Christian yang bidang. Nafasnya memburu tidak teratur. Ia mengarahkan wajahnya mendekati wajah Christian, hingga mereka bisa merasakan nafas mereka menerpa wajah. Bibir mereka bertemu. Saat kulit tubuh mereka bersentuhan, Christian terpukul dengan naluri terendahnya. Fikiran buruk menyentuh relung dalamnya. Tanpa mampu dikuasainya, kedua lengannya menyentuh kulit tubuh Angelina. Meraba seluruh tubuh sahabatnya. Hingga terhenti di kedua payudaranya. Di bawah naluri terendah mereka, keduanya merebahkan tubuh di lantai gua. Dengan segala kelembutan yang dimilikinya, Christian akhirnya memasuki tubuh Angelina dengan cara yang salah. Keduanya telah dikalahkan bisikan jahat dari fikiran terburuk mereka. Pancaran kenikmatan terlontar dari gerakan dan desahan keduanya, saat dimana Christian memompa pinggulnya, saat Angelina menggeliatkan tubuhnya, hingga saat keduanya mencapai titik kenikmatan tertingginya. Cairan kenikmatan perlahan mengalir keluar dari sisi-sisi vagina Angelina beserta pekat darah dari keperawanannya.
***
Sekali waktu ada beberapa musafir melewati tempat mereka. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kurus. Pundaknya berdebu. Wajahnya tidak terlihat tua maupun muda. Terbakar matahari, menyendiri, dan asing. Di sekelilingnya ada kehidupan yang terus mencoba bersemangat, demi pengorbanan yang tidak mengenal belas kasihan.
Setelah makan malam dan perenungan, Christian menemui Angelina. Ia berkata pada sahabatnya, “Besok pagi, sahabatku, Christian akan bergabung dengan para musafir. Ia akan menjadi seorang musafir.”
Wajah Angelina pucat saat mendengar kata-kata ini dan hanya dapat mencoba mengerti keputusan terkasihnya, dari raut wajahnya yang penuh fikir itu. Dari tatapan sekilas pada wajah terkasihnya itu, Angelina menyadari sepenuhnya, bahwa ini barulah permulaan. Christian akan mengikuti jalannya sendiri, takdirnya telah terbuka bersama nasibnya sendiri, miliknya sendiri. Dan itu membuatnya sepucat pisang kuning muda.
“Christian, sahabatku,” teriaknya, “apakah ayah dan ibumu mengijinkannya?”
Christian menatap kepadanya laksana orang yang baru saja bangun. Secepat kilat ia membaca jiwa Angelina, membaca kecemasannya dan segala kepasrahannya.
“Kita tidak akan menyiakan kata-kata, Angelina. Esok saat hari berganti, aku akan memulai kehidupan baru sebagai musafir.” Ia berkata dengan lembut. “Marilah, jangan persoalkan itu lagi.”
Christian pergi ke tempat ayahnya sedang duduk menghisap rokoknya. Ia duduk disampingnya, hingga sang ayah menyadari kehadirannya. “Ada apa Ing?” Sang ayah tetap memanggilnya dengan nama pemberiannya, dan dia bisa melihat kegelisahan di mata putranya. “Katakanlah apa yang merisaukan hatimu.”
Christian berkata dengan lembut, “Dengan seizin Ayah, saya datang untuk mengatakan kepada Ayah, bahwa saya akan meninggalkan rumah Ayah esok hari. Saat pagi menjelang aku akan bergabung dengan para pendatang di kampung kita, Ayah. Aku ingin menjadi seorang musafir. Saya yakin, Ayah tidak akan keberatan.”
Kuli bangunan itu terdiam begitu lama, hingga bulan bergeser dari letaknya semula, hingga saat keheningan di antara keduanya terusik. Christian berdiri diam tanpa bergerak, tangannya tersilang di depan dadanya. Sang ayah, hanya bisa diam sambil menghisap dalam rokoknya. Bintang-bintang bergerak dan berpendar di langit malam. Lalu ayahnya berkata, “Aku tidak layak memarahimu, karena engkaupun tahu siapa dirimu. Setidak layaknya engkau meminta izin kepadaku yang bukan Ayahmu, meskipun sebenarnya engkau telah melukai hatiku. Aku tidak akan marah padamu melalui kata-kata yang kasar, yang akan tidak pantas aku ucapkan. Sejujurnya, aku tidak senang jika engkau mengulang permintaanmu untuk kedua kalinya.”
Ayahnya bangkit dengan pelan. Christian masih diam membisu dengan tangannya yang masih bersedekap.
“Mengapa engkau menunggu?” Tanya ayahnya.
“Ayah tahu mengapa.” Jawab Christian.
Ayahnya meninggalkan dirinya dengan tidak senang, lalu membaringkan diri di tempat tidur.
Dua jam telah berlalu, hatinya masih gelisah. Ia tidak bisa memejamkan matanya. Sang ayah bangkit, melangkah dan kemudian meninggalkan tempat tidurnya. Ia memandang melalui jendela kecil rumahnya, dan melihat Christian masih berdiri di tempatnya dengan tangan masih bersedekap, tanpa bergerak. Ia melihat pakaiannya pucat tertimpa cahaya bulan. Hatinya semakin kacau, ia kembali ke tempat tidurnya.
Ketika satu jam berikutnya berlalu, sang ayah tetap tidak bisa memejamkan matanya. Ia bangkit lagi dan meninggalkan tempat tidurnya. Bulan semakin bergeser, ia kembali melihat melalui jendela. Christian berdiri tanpa bergerak, tangannya masih bersedekap; sinar bulan menyinari tulang keringnya. Hatinya semakin risau, sang ayah kembali ke tempat tidur.
Sang ayah kembali lagi satu jam dan sesudah dua jam, melihat melalui jendela dan melihat Christian masih berdiri di sana, di bawah sinar rembulan, di bawah kemilau bintang-bintang, dalam gelap, tidak bergerak. Dan, ia datang lagi jam demi jam berikutnya, menyaksikan anaknya berdiri tanpa bergerak. Hatinya benar-benar menjadi marah, cemas, khawatir dan perlahan sedih.
Dan pada saat jam-jam terakhir malam itu, sebelum subuh menjelang, ia melihat anaknya masih berdiri disana tidak bergerak. Tubuhnya begitu tinggi, dan terlihat bagaikan orang asing bagi ayahnya.
“Miing” katanya, “mengapa engkau masih menunggu?”
“Ayah tahu mengapa.”
“Apa kamu akan terus menunggu, walau hari telah pagi, sore lalu menjadi malam kembali?”
“Saya akan terus berdiri dan menunggu.”
“Kamu akan kelelahan, putraku.”
“Ya Ayah, saya akan kelelahan.”
“Kamu juga pasti mengantuk lalu tertidur.”
“Saya akan mengantuk ayah, tapi saya tidak akan tertidur.”
“Kamu bisa mati, Ing.”
“Ya, saya pasti akan mati.”
“Dan, kamu merasa lebih baik mati daripada menuruti ayahmu?”
“Miing akan selalu menuruti ayahnya.”
“Jadi, kamu akan menghentikan usahamu?”
“Miing akan melakukan apa yang dikatakan ayahnya kepadanya.”
Sinar mentari menyeruak dari timur. Sang ayah menyadari lutut anaknya bergetar sedikit, tetapi raut wajahnya tidak gemetar; matanya menatap tajam dan jauh. Hingga akhirnya ayahnya menyadari, putranya tidak dapat lagi tinggal bersamanya di rumah ini – ia telah sadar bahwa putranya telah siap meninggalkannya.
Sang ayah menyentuh pundak putranya.
“Kamu akan pergi mencari yang engkau inginkan,” Katanya, “entah ke kota, desa, hutan, untuk menjadi seorang musafir. Jika engkau menemukan kebahagiaan dan apa yang engkau cari, kembalilah untuk mengajari dan berbagi denganku, dan jika engkau menemukan kekecewaan, kembalilah, dan kita akan melewati waktu bersama, hingga kekecewaan itu pergi. Kini pergilah, Nak. Cium dan peluklah ibumu dan katakanlah kemana engkau akan pergi. Namun, bagiku sekarang adalah waktunya bagiku untuk pergi bekerja meski aku tidak tahu lagi untuk siapa aku bekerja.”
Ia menurunkan tangannya dari pundak anaknya dan meninggalkan rumah. Christian limbung saat ia mencoba untuk berjalan. Ia berusaha menguasai dirinya, menyembah ke arah ayahnya, dan pergi ke tempat ibunya untuk menyampaikan apa-apa yang dipesankan ayahnya.
Saat ia berjalan pelan-pelan dengan kaki yang terasa kaku dan kedinginan, satu dua orang mulai beraktifitas mengusik subuh. Bayangan menunduk muncul dari gubuk terakhir dan bergabung dengan para musafir.
“Kau datang.” Kata Christian dan tersenyum
“Aku pasti datang.” Kata Angelina.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More