Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Dec 28, 2009

Menjadi Musafir

Saat malam menjelang, mereka telah berhasil menyusul para musafir dan meminta ijin untuk dapat bergabung dengan mereka. Para musafir itu menerima mereka dengan bahagia.
Christian memberikan pakaian terbaiknya kepada seorang fakir sebagai bukti kesungguhannya untuk menjadi musafir. Tertinggallah padanya pakaian dalam yang dikenakannya serta pakaian yang mebungkus tubuhnya. Beberapa hari kemudian dia mulai mengikuti para musafir untuk berpuasa. Awalnya hanya dua kali seminggu, lalu ia mencoba berpuasa selang sehari sekali. Ia hanya makan sekali dalam sehari, dan tidak pernah memakan sebelum dirinya lapar, serta berhenti sebelum dirinya merasa kekenyangan. Perlahan daging di tubuhnya mulai menyusut. Dari kaki lalu juga pipinya. Impian-impian yang tidak terbayangkan mulai terlukis di wajahnya serta pantulan matanya. Tubuhnya tidak lusuh seperti musafir lainnya. Hatinya selalu yakin Tuhan mencintai kesucian dan kebersihan. Hanya saja kulitnya semakin coklat kehitaman, serta jenggot mulai tumbuh panjang dan kaku di dagunya. Saat ia melewati kota-kota dimana penduduknya bergaya glamour dan senang berfoya-foya, dirinya merasa jengah. Pandangannya menjadi hambar saat melihat wanita, karena baginya tidak ada lagi yang menarik dari mereka. Dia mulai melihat banyak hal. Para pedagang, orang-orang berdasi, manusia-manusia yang berdukacita meratapi orang mati, para pelacur menjajakan diri mereka, para selebritis bangga dengan pacarnya lalu menikah, bertengkar kemudian bercerai, para dokter hanya mau dikunjungi orang-orang sakit yang mampu membayar, ibu-ibu meneriakkan anaknya agar diam, para muda-muda tertawa lalu bersenggama – baginya semua itu tidak berarti sama sekali, semuanya dusta, sesuatu yang akan hilang dalam sekejap, bau busuk dari segala kedustaan; semua hanyalah ilusi dari rasa, kebahagiaan dan keindahan. Semua itu merupakan musibah dan malapetaka yang akan hancur. Dunia mulai terasa pahit dan hidup terasa memusingkan.
Christian punya satu tujuan tunggal – menjadi Tunggal. Menjadi kosong dari kehausan, keinginan, impian, kepuasan dan kesedihan – membiarkan dirinya mati. Tidak lagi menjadi diri untuk mengalami kedamaian hati yang kosong, untuk mengalami pikiran-pikiran yang murni – itulah tujuannya. Bila seluruh keinginan diri dikalahkan dan mati, bila semua kesenangan dan hasrat menjadi diam, kemudian yang terakhir haruslah bangkit, dimana bagian paling dalam dari badan yang itu bukanlah lagi diri – itulah rahasia terbesar.
Dengan diamnya, Christian berdiri di bawah teriknya sinar mentari yang ganas, penuh dengan segala kesakitan dan kehausan, dan iapun terus berdiri hingga ia tidak lagi merasakan sakit dan haus. Di lain waktunya, ia berdiri dalam hujan, air mengalir dari rambutnya, menetes dari janggutnya, menyentuh pundaknya, jatuh ke pinggang dan kakinya yang membeku. Tetapi ia terus berdiri hingga tubuhnya tidak lagi terasa membeku, sampai saat dimana semuanya diam, saat dimana semuanya hening. Ia merangkak di atas kerikil-kerikil hingga darah mengalir dari kulit indahnya yang terluka, lalu borokpun timbul, namun Christian tetap kuat, tidak bergerak, sampai saat tidak ada lagi darah mengalir, saat dimana tidak ada lagi tusukan, sayatan dan gesekan, serta tidak ada lagi kejengkelan.
Christian duduk tegak dan belajar mengendalikan jiwanya, mengalahkan keinginan hatinya serta naluri terendah dari fikiran terburuknya. Mengatur tenang nafasnya agar tidak tersentuh emosi yang menjauhkan segala kedamaian. Menjauhkan segala prasangka, entah itu baik atau buruk, karena prasangka hanya akan menyakiti orang lain.
Diajar oleh para musafir yang lebih tua, Christian melatih penolakan diri dan keinginan duniawi yang dikatakan oleh mereka sebagai ilmu yang sangat berat. Mereka menyebut dirinya sebagai orang-orang zuhud. Saat diam untuk merasakan apa yang ada di sekitarnya, melihat seekor burung terbang di atas, di antara pohon-pohon bambu dan Christian menyatukan dirinya, jiwanya pada burung itu, terbang di atas awan, di atas hutan, di atas gunung-gunung, memakan cacing, menderita kelaparan seekor burung, lalu mati seperti matinya seekor burung. Seekor anjing mati di pinggir jalan, dan jiwanya menyelinanp dalam bangkai anjing itu; ia merasakan matinya anjing itu, berbaring di sana, membengkak, busuk, dan akhirnya hancur menjadi tulang-belulang, menjadi debu, bercampur dengan jutaan unsur di awan, langit, hingga atmosfer. Untuk semua itu, jiwa Christian kembali mati, hancur, berubah menjadi debu, utnuk kembali bangkit, mengalami jalan lurus yang sulit dalam lingkaran kehidupan. Dia lalu mencoba untuk menunggu dengan rasa haus baru, seperti seorang pemburu yang berada di tepi jurang dimana lingkaran kehidupan itu berakhir, tempat segala sebab dan kelenggangan berakhir. Christian lalu membunuh segala rasa, membunuh seluruh ingatan, dia lalu melepaskan dirinya ke dalam seribu bentuk yang beraneka dan berbeda. Dia lalu mencoba menjadi binatang, bangkai, kayu, batu, air hingga saat setiap kali dia akan bangkit lagi. Saat matahari ataupun bulan bersinar, dia lalu akan kembali menjadi dirinya, meloncat lalu berayun ke dalam lingkaran baru, untuk merasakan kehausan-kehausan yang baru.
Dia mempelajari banyak hal dalam jalan barunya bersama para musafir. Lalu Christian belajar mengenai cara penolakan diri melalui rasa sakit, kecewa dan kehilangan, melalui penderitaan secara sukarela untuk melawan rasa sakit, melalui setiap kelaparan, kehausan dan keletihannya. Dia melakukan segala penolakan diri melalui matinya, melalui kekosongan akan seluruh pencitraan diri. Melalui seluruh cara yang dilaluinya, ia merasa telah benar-benar menempuh sebuah kehidupan. Dia pernah merasakan kehilangan jati dirinya ribuan kali, lalu saat-saat terakhir ia akan menemui dirinya di dalam setiap benda-benda tidak berwujud. Meskipun awalnya, segala benda-benda itu akan menjauhkan dirinya dari keadaan tunggal, namun akhirnya segala benda itu akan mengantarkannya kembali pada keadaan tunggal. Meskipun ia akan terus mencoba untuk keluar dari dirinya seribu kali, lalu menyatu pada segala binatang, batu dan segala benda, saat ia bersembunyi dalam ketiadaan, kekuatannya untuk kembali tidak akan dapat dielakkan; suatu momentum waktu yang tidak akan dapat dielakkan, saat ia kembali menemukan diri-nya, dalam segala bentuknya, dalam sinar matahari ataupun sinar bulan, dalam setiap bayangan ataupun hujan, dan ia akan lagi-lagi merasakan setiap kesengsaraan dari lingkaran hidup yang berat.
Sedangkan di sisinya hiduplah Angelina, sahabat terkasihnya; dia akan berjalan di jalan yang sama, melakukan usaha-usaha yang sama. Mereka jarang berbicara satu sama lain, kecuali atas keperluan pelayanan. Terkadang mereka akan pergi bersama-sama ke setiap ruma-rumah, agar mereka dapat meminta sedikit makanan untuk mereka dan juga guru-guru mereka.
“Apa menurutmu kita telah bertambah maju?” Tanya Christian pada satu kalinya. “Sudahkah kita mencapai tujuan kita? Bagaimana menurutmu, Angelina?”
Lalu Angelina akan menjawab, “Kita sudah mencoba belajar, dan untuk itu kita akan terus belajar. Engkau akan menjadi seorang pemuka, seorang guru besar, Chrsitian. Anda mempelajari segala hal dengan cepat. Anda selalu mendapatkan pujian dari para musafir tua. Suatu hari nanti, engkau pasti akan menjadi orang suci, Christian.”
Christian lalu berkata, “Kukira tidak demikian, sahabat terkasihku. Apa yang telah kupelajari dari para musafir itu terlalu jauh. Aku ingin belajar hal lainnya dalam setiap perhentian kita, melawan segala keburukan yang tidak terhindarkan. Saat kita berada di pusat-pusat pelacuran, diantara para pemabuk dan pemain judi.
Lalu Angelina menjawabnya, “Engkau pasti bercanda, Christian. Apa yang telah engkau pelajari selama ini? Bagaimana segala kesakitan dan kelaparan yang engkau lewati? Segala pengosongan lalu kembali pada diri yang telah engkau lewati bersama orang-orang sial itu?
Christian menatap Angelina dengan lembut, lalu ia berkata padanya seolah berkata pada dirinya sendiri, “Apakah yang telah engkau pahami, Angelina? Apakah pengosongan fikiran itu? Apakah pelepasan jiwa dari diri itu? Apakah makna dari puasa itu? Apakah penahanan nafsu itu? Itu hanya sebuah bentuk pelepasan dari diri, sebuah bentuk pelepasan sementara dari sebuah bentuk kesengsaraan diri. Itu hanyalah sebuah perbedaan yang bersifat sementara, saat kita melawan segala sakit dengan kebodohan. Orang-orang sakit melakukan pelarian yang sama, menelan obat yang sifatnya hanya sementara. Para peminum akan meminum beberapa tenggak minuman keras, hingga dirinya tidak akan lagi merasakan sakitnya hidup, saat itulah dia akan mengalami pelarian sementara. Dia akan tertidur bersama botol-botol. Dia akan menemukan apa yang Christian dan Angelina alamai saat mereka melawan segala sakitnya, saat melepaskan jiwa dari diri, saat bersembunyi dalam segala bentuk tanpa diri.”
“Jadi menurutmu sahabatku,” Angelina berkata pada Christian, “Apakah engkau menjadi orang sakit? Apakah lalu engkau menjadi seorang pemabuk. Apa yang kita pelajari dari para musafir bukanlah ilmu yang dilakukan oleh seorang pemabuk. Memang benar setiap pemabuk akan melarikan dari dirinya, tetapi itu hanya sementara, lalu dia akan kembali menemui segala sesuatunya tetap seperti sebelumnya. Ia tidak akan menjadi lebih bijaksana, dia tidak juga memperoleh pengetahuan, sehingga dia tidak akan menjadi lebih tinggi.”
Dengan tersenyum Christian menjawab, “Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak pernah menjadi seorang pemabuk. Aku juga tidak pernah merasakan nikmatnya bercinta dengan seorang pelacur, ataukah sebuah kesenangan dari berjudi. Yang aku tahu saat ini adalah, aku menemukan perhentian sementara dari apa-apa yang telah aku jalani, dan aku tetap merasa sama jauhnya dari segala kebijaksanaan, dari sebuah penyelamatan untuk menjadi seperti bayi di dalam rahim. Itulah yang aku tahu, Angelina.”
Di lain kesempatan, tatkala Christian dan Angelina meninggalkan para musafir untuk mendapatkan makanan bagi saudara-saudara dan guru mereka, Christian bertanya pada Angelina, “Baiklah Angelina, apakah kita sudah pada jalan yang benar? Benarkah kita sudah memperoleh pengetahuan? Apakah benar kita mendekati keselamatan? Atau, barangkali kita hanya berputar-putar dalam lingkaran – dan kita mengira dapat keluar dari lingkaran itu?”
Angelina lalu menjawab, “Kita telah belajar banyak, Christianku sayang. Tetapi masih ada banyak lagi yang harus kita pelajari. Kita tidak akan berputar-putar dalam lingkaran, sahabatku terkasih, kita sedang menuju ke atas. Hanya saja jalannya berbentuk spiral, dan kita telah menaiki beberapa tahap.”
Christian kembali bertanya, “Menurutmu, berapa usia musafir tertua, guru kita yang sangat kita hormati?”
Angelina berkata, “Aku rasa yang tertua berusia sekitar enam puluh tahun.”
Dan kata Christian, “Dia berusia enam puluh tahun dan belum manunggal bersama Tuhan. Lalu, dia akan berusia tujuh puluh, lalu delapan puluh tahun, lalu kau dan aku juga akan menjadi setua dia, kita melakukan segala pengosongan, berpuasa, hingga kita tidak akan menjadi tunggal, tidak juga padanya atau kita. Angelina, aku yakin tidak ada satu musafirpun yang bisa menjadi tunggal. Kita hanyalah menemukan penghiburan. Kita belajar menipu, menipu diri kita sendiri, tetapi hal paling utama; jalan untuk menjadi tunggal, tidak akan pernah kita temukan.”
“Jangan engkau ucapkan kata-kata itu, Christian.” Kata Angelina. “Bagaimana mungkin diantara begitu banyak orang terpelajar, diantara para pendeta, pastur, biksu, kyai, di antara sekian banyak pencari, sekian manusia yang mengabdikan jalannya pada kehidupan batin, demikian banyak orang suci; tidak satupun dari mereka yang akhirnya menemukan jalan?”
Dengan segala kegundahannya, suaranya yang terasa seperti mengolok-olok, sedikit sedih dan sedikit senda gurau, Christian berkata, “Angelina, sahabatmu akan segera meninggalkan jalan yang ditempuh para musafir, jalan yang telah dilaluinya bersamamu sekian lama. Aku masih menderita kehausan, Angelina. Jalan panjang bersama para musafir ini tidak sedikitpun mengurangi kehausanku. Aku terus saja kehausan akan pengetahuan. Pagi, siang dan malamku terus saja dipenuhi pertanyaan. Tahun demi tahun aku telah bertanya pada ayahmu, guruku. Tahun demi tahun aku terus bertanya pada batinku. Barangkali akan sama baiknya dan sama pandainya saat aku bertanya pada seekor gajah ataupun kuda. Aku telah menghabiskan waktu sekian lama dan tetap belum selesai, untuk mempelajari bahwa seseorang dapat mempelajari sesuatu yang tidak ada. Dalam intinya, demikian yang aku yakini, ada sesuatu yang tidak dapat kita sebut sebagai belajar. Sahabatku, hanya ada sebuah intisari pengetahuan yang terdapat dimana-mana, yaitu hati, yang itu ada padaku dan padamu, juga pada setiap manusia. Saat ini aku mulai percaya, bahwa pengetahuan ini tidak mempunyai musuh yang lebih buruk daripada makhluk yang berpengetahuan, yakni diri sendiri.”
Angelina berdiri tegak menatap kedua mata Christian, lalu mengangkat telapak tangannya, “Christian, jangan engkau persulit sahabatmu ini dengan ucapan seperti itu, sesungguhnya, uncapanmu sangat menyulitkan saya. Renungkanlah sejenak, apa artinya yang para pendeta suci akan punyai, kesucian kaum musafir, jika, seperti yang engkau ucapkan. Tidak ada satu kegiatan belajar? Christian, lalu akan jadi apakah sesuatu, akan jadi apakah orang-orang suci di bumi, akan jadi apakah yang mulia dan suci itu?”
Angelina menyandungkan bait baginya, sebuah syair dalam baitnya:

“Ia yang percaya akan kasih Bapa, maka ia akan bisa merasakan cinta dari Bapa, sebagaimana kasih yang ada di Langit-Nya.”

Christian terpukau, ia lama terdiam oleh kata-kata yang dilontarkan Angelina.
Ya, fikirnya, sambil berjalan dengan kepala tertunduk. Apa yang tertinggal dari sesuatu yang tampak nyata oleh kita? Apa yang hilang, dan apa yang terpelihara? Dan iapun menggelengkan kepalanya.
Saat awal-awal bersama para musafir, mereka mendengar desas-desus tentang seseorang. Seseorang bernama Bahdarudin Syamawi, orang suci yang telah manunggal. Pada dirinya telah sampai pada titik mengalahkan segala kepedihan dan menghentikan proses untuk mati lalu lahir kembali. Dia melanglang ke banyak daerah sambil berdoa, dikerumuni banyak pengikutnya serta diciumi tangannya, tidak mempunya kekayaan apapun, tidak berumah, seorang pria suci. Para raja tunduk di hadapannya, lalu akan menjadi murid-muridnya.
Laporan ini sampai melalu bibir para musafir, cerita ini lalu berkembang di sana-sini. Nama Bahdarudin Syamawi, secara terus menerus sampai di telinga orang-orang, dibicarakn oleh yang sehat dan sakit, dengan segala bentuk pujian, meski terkadang ada cemohan.
Sama seperti halnya jika ada wabah penyakit di suatu daerah, lalu ada desas-desus tentang seorang bijaksana, seseorang yang dengan kata-katanya, nafasnya dan sentuhannya cukup untuk mendatangkan sebuah kesembuhan bagi orang-orang yang sakit itu, dan berita itu kemudian menyebar ke daerah lainnya dengan cepat dan setiap orang akan membicarakannya, banyak orang yang akan percaya dan juga meragukannya. Namun akan ada banyak orang yang dengan segera pergi mencari orang bijaksana itu dengan cara mereka masing-masing. Dengan cara itu pula desas-desus menegani Bahdarudin Syamawi, orang bijak yang telah mencapai tunggal sampai ke seluruh negeri. Dia yang memiliki pengetahuan luar biasa – kata orang-orang yang percaya – dia yang mampu mengingat kehidupan sebelumnya, dia yang telah menjadi tunggal dan tidak pernah kembali pada siklus, dan tercebur kembali pada lingkaran. Banyak hal-hal menakjubkan dan indah yang tersampaikan mengenai dirinya; dia yang telah mengalahkan keinginan duniawi, dia yang telah memperlihatkan keajaiban-keajaiban, menaklukkan setan, berbicara pada para malaikat layaknya Tuhan. Akan tetapi orang-orang yang membencinya akan mengatakan; bahwa orang ini hanya penipu, pria yang menghabiskan hidupnya dengan bermalas-malasan, melewatkan hari-harinya dengan gaya tinggi, serta mencemoohkan rakyat jelata. Dia tidak juga terpelajar dan tidak mengetahui baik cara maupun tata cara beribadah.
Desas-desus mengenai Tuhan ini terdengar menarik, ada daya tarik dalam kabar ini. Dunia ini pada dasarnya sakit. Kehidupan menjadi semakin sulit dan terus menanti adanya harapan baru. Di sana-sini terus muncul kabar, penghiburan, penyejukan, dan segudang janji-janji indah. Di mana-mana ada desas-desus tentang sang penyelamat. Pemuda-pemudi, seluruh lapisan, di seluruh negeri mendengarkan, merasakan sebuah kerinduan dan sebuah harapan. Dan di setiap sanubari rakyat, baik di kota maupun di desa, selalu menyambut baik jika ada kabar baik tentang sang penyelamat. Yang Maha Mulia, Sang Penebus Kesengsaraan.
Desas-desus itu sampai ke telinga para musafir, termasuk Christian dan Angelina, sebuah hal yang kecil namun penuh dengan harapan, juga keraguan. Mereka sedikit sekali membahas hal tersebut, karena musafir tertua bukanlah sahabat dari sebuah desas-desus. Dia hanya mengatakan bahwa sang penyelamat itu hanyalah seorang musafir, hanya saja kehidupannya telah diangkat derajatnya oleh Tuhan serta kesempatan untuk merasakan nikmat dunia, untuk itu dia tidak akan membela kepentingan Bahdarudin Syamawi.
“Christian,” Suatu kali Angelina berkata pada sahabat terkasihnya, “hari ini aku mendatangi rumah-rumah, lalu seseorang mengundangku masuk ke dalam rumahnya, dan di dalam rumah itu ada seorang anak yang masih sangat muda; dia telah bertemu sang penyelamat dengan mata kepalanya sendiri serta mendengarnya berkhutbah, bagaikan firman. Sungguh, sayapun sangat merindukannya dan saya berdoa; saya berharap, baik Christian maupun saya diberikan kesempatan hidup untuk dapat melihat hari di saat kami dapat mendengarkan pelajaran-pelajaran dari bibir Yang Maha Sempurna. Sahabatku terkasih, apa kita tidak akan melangkah ke sana, agar kita dapat mendengarkan pelajaran dari bibir sang penyelamat.”
Lalu Christian berkata, “Aku selalu berfikir bahwa engkau, Angelina, akan tetap megikuti para musafir. Aku sendiri, selalu percaya bahwa itu adalah tujuanmu, hingga berusia enam puluh atau bahkan delapan puluh tahun, engkau akan masih terus melatih diri berdasarkan cara-cara yang diajarkan para musafir. Tetapi sesungguhnya betapa kecil yang aku ketahui, Angelina! Betapa lemahnya diriku untuk dapat mengetahui apa-apa yang ada di dalam hatimu. Lalu sekarang sahabatku, engkau berharap dapat menempuh sebuah jalan baru dan pergi, hanya sekedar untuk mendapatkan ajaran-ajarannya.”
“Mengejekku sepertinya benar-benar memberikan kepuasan padamu. Biarlah jika memang demikian. Christian, tidakkah engaku juga merasakan kerinduan, keinginan untuk dapat mendengarkan ajaran-ajarannya? Dan bukankah engkau pernah mengatakan padaku bahwa engkau tidak akan menempuh jalan para musafir lebih lama lagi?”
Setelahnya Christian tertawa dengan suara yang membiaskan bayangan kesedihan dan kepalsuan, lalu ia berkata, “Kau telah mengatakan hal yang benar, Angelina. Kau mengingat segalanya dengn sangat baik. Tetapi apa engkau melupakan hal lain yang juga kukatakan kepadamu? Bahwa aku telah menjadi tidak percaya pada pelajaran-pelajaran, dan juga aku menjadi sedikit sekali percaya akan kata-kata yang datang pada kita dari seorang guru. Yah, tetapi baiklah, sahabatku, aku siap untuk mendengarkan ajaran baru itu, meskipun jauh di dalam hatiku aku percaya bahwa kita telah merasakan buah yang terbaik.”
Angelina menjawab, “Aku senang sekali kalau engkau setuju. Tetapi katakan padaku, bagaimana bisa ajaran-ajaran dari sang penyelamat menunjukkan pada kita buah yang paling berharga bahkan sebelum kita mendengarkan dia?”
Christian berkata, “Kita nikmati saja buah ini lalu tunggulah buah-buah berikutnya, Angelina. Buah ini, yang untuknya kita telah berutang pada Bahdarudin Syamawi, yang pada kenyataanya bahwa dia telah menarik kita keluar dari para musafir. Apakah masih ada buah lain dan lebih baik, untuk itulah mari kita tunggu dan lihat dengan sabar.”
Di hari yang sama, Christian lalu mengatakan pada musafir tertua mengenai niat untuk meninggalkannya. Ia mengatakan kepada orang tua itu dengan ramah dan kerendahan hati yang begitu cocok dengan orang muda dan seorang murid. Tetapi orang tua itu lalu marah saat mengetahui bahwa kedua orang muda itu berkeinginan untuk meninggalkannya, dan dia meninggikan suaranya serta mencaci maki mereka dengan kerasnya.
Angelina bergetar, kaget dan ketakutan, tetapi Christian mendekatkan bibirnya ke telinga Angelina lalu berbisik, “Kini akan aku tunjukkan kepada orang tua itu, bahwa aku telah mempelajari sesuatu dari dia.”
Dia berdiri di dekat musafir. Pikirannya terfokus. Lalu ia memandang tajam mata orang tua itu, mencoba mendorongnya dengan pandangan itu, membuatnya membisu, mengalahkan segala keinginannya, lalu memerintahkan kepadanya untuk melakukan seperti apa yang dikehendakinya. Orang tua itu terdiam, matanya berlinang dan berkaca-kaca, kemauannya lumpuh, tangannya terkulai, dia menjadi begitu tidak berdaya di bawah pesona Christian. Pikiran-pikiran Christian menuntun musafir tua itu untuk menyajikan apa yang diperintahkannya. Dan begitulah selanjutnya, musafir tua itu menunduk beberapa kali, menepuk pundak mereka berdua; memberikan berkatnya, dalam gagapnya, ia menyampaikan semoga keadaan selalu baik bagi mereka; dalam perjalanan dan kehidupan mereka. Kedua anak muda itu mengamini, mengucapkan terima kasih atas doa yang disampaikan untuk mereka, membals membungkuk dan pergi.
Di tengah jalan Angelina berkata, “Christian, kamu sudah belajar terlalu banyak dari para musafir melebihi yang aku kira. Sungguh sulit, bukan sebuah hal mudah untuk dapat menaklukkan pikiran seorang musafir tua. Sebenarnya jika saja engkau tinggal lebih lama lagi, pasti engkau akan mampu menjadi seorang guru bagi para musafir, atau mungkin engkau akan bisa berjalan di atas air.”
“Aku tidak berkeinginan untuk menjadi guru, ataupun berjalan di atas air.” Jawab Christian. “Biarkanlah musafir tua itu berpuas diri dengan hal-hal semacam itu.”

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More