Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Jan 16, 2010

Kyai Bahdarudin Syamawi

Di tanah tersuci setiap anak mengenal sang penyelamat yang terkenal itu, dan hampir setiap rumah akan dengan ikhlas mengisi mangkuk para peminta dalam diam, menyebar derma-derma bagi para jemaatnya yang meminta dengan diam-diam. Di salah satu sudut terdapat tempat kesenangan sang penyelamat, As-Salam, sepetak tanah yang diinfakkan oleh seorang dermawan kaya bernama Abdullah kepadanya juga pengikut-pengikutnya. Abdullah salah satu orang yang begitu taat kepada ajaran yang dibawakan sang penyelamat.
Dua orang musafir muda itu, dalam usahanya mencari kediaman sang penyelamat, telah sampai ke daerah ini dengan segala bentuk jawaban-jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Segala keramahan dan hidangan telah disajikan atas mereka dengan segera di rumah pertama saat mereka menginjakkan kaki di tanah tersuci, dan di depan ruamh itu untuk pertama kali mereka tidak kesulitan dengan meminta-minta. Mereka segera mengambil makanan, dan Christian lalu bertanya pada pria yang memberinya makanan, “Bapak yang budiman, kami sangat ingin tahu dimanakah sang penyelamat itu berada, dimanakah tempat tinggalnya? Kami adalah dua musafir yang telah datang dari jauh hanya untuk bertemu Yang Mulia Sang Penyelamat, dan kami begitu ingin mendengarkan ajaran-ajaran dari bibirnya.”
Pria itu lalu berkata, “Anda datang ke tempat yang benar, saudaraku. Akan tetapi, tidak ada sang penyelamat disini, jika itu yang engkau maksud. Kami mengenalnya dengan nama Kyai Bahdarudin Syamawi. Dan, beliau hanyalah seseorang yang telah membantu kami kembali pada jalan kebahagiaan. Beliau tinggal tepat di samping As-Salam, di sisi tanah Abdullah. Anda akan ditunjukkan tempat menginap jika anda seorang musafir, karena ada banyak ruang untuk bernaung bagi orang-orang yang mencari kebahagiaan.”
Dengan senang hati, berujarlah Angelina, “Ah, dengan demikian kita telah sampai pada tujuan kita dan perjalanan kitapun telah berakhir. Akan tetapi, katakanlah pada kami, apakah ia terlihat gemawa laksana seorang rasul, ataukah bercahaya bagaikan seorang Tuhan? Apa engkau selalu melihatnya setiap harimu.”
Pria itu lalu menjawab, “Ia tidak seperti apa yang terdengar di luar sana. Dia bukan seperti yang nona ucapkan. Dia hanyalah seorang manusia seperti kita adanya, hanya saja dia telah menjadi perpaduan kesempurnaan di kota ini. Seorang yang bertingkah seperti rasul, dan penuh kasih dalam setiap tindakannya.”
Angelina merasa senang dengan apa yang didengarkannya, ada begitu banyak hal lain yang ingin ditanyakannya, tetapi Christian mengingatkan sudah waktunya untuk pergi. Mereka mengucapkan terima kasih lalu meninggalkan pria itu. Sisanya mereka tidak perlu lagi menanyakan jalan, karena ada banyak musafir, peziarah juga pendatang yang berjalan seiring menuju As-Salam. Saat mereka tiba tatkala tangan malam mulai menyeruak, tetap saja begitu banyak orang yang datang mengalir. Banyak suara ribut terdengar saling bertanya juga meminta tempat. Christian dan Angelina yang terbiasa sebagai musafir, dalam tenangnya dengan cepat menemukan tempat berteduh bagi mereka untuk bermalam, hingga pagi.
Saat lembayung fajar merayap naik dari peraduannya, mereka terpukau menyaksikan lautan manusia yang menyeruak di sekitar As-Salam. Begitu banyak orang yang sangat ingin mendengarkan ajaran-ajaran sang penyelamat. Pria-pria dengan celana gantung di atas mata kaki, dengan jubah-jubah putih berjalan di sepanjang jalan di sisi taman yang indah sekali. Di sana-sini terlihat orang berdoa dalam khusyuk, atau terlibat dalam percakapan-percakapan spiritual. Taman teduh di sekitar As-Salam seperti gula yang dikerubuti semut. Kebanyakan pria muda datang membawakan mangkuk berisi makanan kepada para pendatang. Bahkan terdengar, sang penyelamat keluar di pagi hari untuk menyerahkan makanan dari tangannya sendiri.
Christian segera mengenali sang penyelamat, seakan-akan Tuhan menggerakkan pandangannya. Ia melihat sang penyelamat berjalan dengan tenang, senyumannya begitu teduh, wajahnya terlihat begitu bersinar, seorang pria sederhana dengan sorban melilit kepalanya.
“Lihatlah,” Kata Christian pada Angelina dengan lembut, “itu dia Sang Penyelamat.”
Angelina lalu mencari di antara para pria dengan sorban di kepalanya, yang dengan cara apa pun begitu sulit dibedakan dari ratusan jemaat lainnya. Kemudian Angelina segera mengenalinya. Meraka lalu mengikuti serta melihatnya.
Dirinya melangkah dengan begiitu tenang menuruti kakinya, seakan ia menghilangkan pikirannya. Wajahnya yang terasa sangat damai tidak memancarkan kedukaan sedikitpun. Dari tatapannya terlihat dalam hatinya ia tersenyum tulus dengan begitu lembutnya. Dengan senyum itu, yang laksanan seorang bayi yang sehat, ia terus berjalan dengan damai dan tenang. Dari pakaiannya ia tidak dapat dibedakan dari pria bersorban lainnya, tetapi muka dan langkahnya, pandangannya yang teduh terasa damai, tangannya yang terjulur mengalir kedamaian, dan setiap gerakan jarinya juga mengungkapkan kedamaian, mengutarakan segala bentuk kesempurnaan. Dirinya tidak mencari sesuatu, meminta sesuatu, tidak berusaha menirukan sesuatu, memantulkan bayangan ketenangan yang berkelanjutan, cahaya yang tidak pernah pudar, serta rasa damai yang tidak terkalahkan.
Seperti itulah adanya, pria itu memasuki setiap sudut daerah itu, dan kedua musafir muda itu mengenali dia hanya dengan tingkah lakunya yang penuh kedamaian itu, dengan segala ketepatan bentuknya, yang dengan ketepatan itu tidak ada pencarian, tidak ada keinginan, tidak ada kepalsuan, serta tidak ada upaya – hanyalah cahaya dan kedamaian.
“Hari ini, kita telah melihat ajaran-ajarannya melalui segala tingkahnya.” Kata Angelina
Christian tidak menjawabnya. Ia tidak terlalu ingin tahu pada ajaran-ajaran itu. Dia tidak berpendapat bahwa mereka akan mengajarkan sesuatu yang baru. Dia, seperti Angelina, telah mendengar hakikat ajarannya, jika hanya dari ucapan dan keterangan orang kedua atau ketiga. Tetapi, dia memperhatikan sekali kepala pria itu, pundaknya, kakinya, ketenangannya, tangannya yang terkulai, dan tampak padanya setiap ruas jarinya terdapat pengetahuan; mereka bernafas, berbicara dan memancarkan kebenaran. Orang ini, benar-benar seorang suci yang penuh akan pengetahuan. Tidak pernah sebelumnnya Christian menghargai seseorang demikian besar, tidak pernah sekalipun ia mencintai seseorang dengan begitu besar.
Mereka berdua mengikuti langkah pria itu melewati setiap sudut dan kembali dengan tenang. Mereka sendiri bermaksud untuk berpuasa hari itu. Mereka melihat pria itu kembali, melihatnya makan bersama-sama jemaatnya dalam sebuah lingkaran – dan yang dimakannya bahkan tidak akan mengenyangkan seekor burung pun.
Saat malam menyapa, saat gelap menggelayut, hinggap di dahan hari, saat setiap orang selesai berdoa dan berkumpul bersama, mereka mendengarkan pria itu berkhotbah. Mereka mendengarkan suaranya, dan suaranya pun sempurna, tenang dan penuh damai. Pria itu berbicara tentang penderitaan, asal penderitaan, serta cara melepaskan diri dari penderitaan. Hidup adalah sakit, dunia ini penuh dengan penderitaan, tetapi jalan untuk melepaskan penderitaan itu, adalah bagaimana sebuah benda dalam tubuh mengartikannya. Bagaimana daging kecil itu mampu menguatkan dan menghancurkan hidup seseorang. Daging yang kita kenal dengan hati. Hidup adalah sebuah transisi, dimana sebetulnya kita akan mati untuk dihidupkan kembali, dimana saat kehidupan itu datang saat itulah makna sebenarnya akan hidup dimulai. Sebuah penderitaan dari kekecewaan semu selama kehidupan ataukah kebahagiaan; terlepas dari segala penderitaan saat hati mampu menghadapi segala bentuk kehidupan semu. Akan ada keselamatan bagi mereka yang mampu menyerahkan hidup dan berserah diri atas segala yang telah menjadi ketetapan, serta segala kehendak-Nya.
Pria itu berbicara dengan suara lembut tetapi mantap, mengajarkan berbagai hal utama, mengajarkan jalan kebajikan; dengan sabar dia memberikan pengajaran dua arah, memberikan contoh-contoh dan pengulangan. Dengan jelas dan tenang suaranya sampai kepada pendengar-pendengarnya – seperti sebuah cahaya, seperti terangnnya bintang di langit.
Saat telah usai, dan hari pun telah larut malam, banyak pendatang menyalaminya dan memohon agar bisa menjadi pengikutnya, pria itu menyalaminya, lalu mengatakan dengan suara rendahnya; bahwa ia hanya penerus ajaran dari suri tauladan; Kekasih Tuhan yang paling mulia, Rasul terakhir. Jadilah pengikutnya dalam hati kalian, ikutilah amanah terakhirnya, maka engkau akan menemukan kebahagiaan dalam limpahan rahmat-Nya.
Angelina yang pemalu, melangkah maju dan berkata, “Saya juga ingin mencurahkan kesetiaan saya kepada anda, serta seluruh ajaran-ajaran anda.” Ia menanyakan apakah dapat dimasukkan ke dalam kelompok itu dan diterima.
Saat pria itu mengundurkan diri dari jemaatnya malam itu, Angelina kembali pada Christian, dan dengan senang hati berkata, “Christian aku tidak akan menyalahkan dirimu, kita berdua telah mendengarkan Yang Maha Mulia. Kita berdua telah mendengarkan ajarannya. Diriku telah mendengarkan ajaran-ajarannya, dan telah menerimanya, tetapi engkau, oh sahabatku terkasih, tidakkah engkau akan menapaki jalan keselamatan? Engkau hanya akan memperlambat, engkau akan terus menanti?”
Saat Christian mendengarkan kata-kata Angelina, dia seolah terjaga dari tidurnya. Dia menatap wajah Angelina untuk beberapa saat, dengan lembut lalu ia berkata, “Angelina, engkau telah menapaki jalanmu, engkau telah memilih langkahmu.” Dalam suaranya tidak lagi terdengar cemoohan, “Kau selalu menjadi sahabatku, Angelina. Kau selalu berada di dekatku. Seringkali aku berfikir, apakah engkau akan pernah mengambil langkah tanpa diriku? Memutuskan dengan keyakinanmu sendiri? Kini engkau telah menjadi dirimu sendiri, dan telah memilih jalanmu sendiri. Engkau boleh meneruskan hingga akhir, sahabatku terkasih. Engkau boleh memperoleh keselamatan.”
Angelina yang belum mengerti sepenuhnya, dengan tidak sabar menulangi pertanyaanny, “Katakanlah sahabatku, katakanlah bahwa engkau tidak dapat melakukan kecuali bersumpah setia pada ajaran Yang Maha Mulia.”
Christian memegang pundak Angelina. “Kau telah mendengar berkatku, Angelina. Aku ulangi, engkau boleh berjalan di jalanmu sampai akhir. Engkau boleh menemukan keselamatanmu.”
Pada saat itulah Angelina menyadari, bahwa sahabat terkasihnya telah meninggalkan dirinya, dan ia mulai menangis.
“Christian!” Teriaknya.
Christian berkata dengan ramah kepadanya, “Jangan lupa, Angelina, bahwa engkau sekarang adalah dirimu sendiri, engkau yang telah meninggalkan rumah dan orangtua. Engkau telah meninggalkan asal dan hartamu. Engkau telah meninggalkan keinginanmu sendiri. Itulah kehendak yang engkau inginkan dari dirimu. Besok pagi, Angelina, aku akan meninggalkan dirimu.”
Malam itu mereka berjalan meninggalkan daerah itu, berjalan di antara sawah-sawah, di antara pepohonan di atas bukit. Mereka merebahkan diri menatap bintang di langit, memejamkan mata tetapi tidak juga tertidur. Angelina terus mengulangi perkataanya, mencoba menekan sahabatnya berulang kali untuk mengatakan kepadanya; mengapa ia tidak mengikuti ajaran-ajaran Yang Maha Mulia? Cacat apakah yang ditemukannya di dalam ajaran-ajaran itu? Tetapi Christian hanya mengibaskan tangannya, “Damailah, Angelina. Ajaran-ajarannya itu baik. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan cacat di dalam ajaran-ajaran itu?”
Sisanya mereka saling membisu, menatap bintang dalam diam mereka. Berbicara dengan pikirannya masing-masing. Christian merenung dalam, menarik sebuah untaian benang yang tergulung dalam pikirannya. Jalurnya terhenti saat wajah Angelina berada tepat dihadapannya. Hidung mereka bersentuhan. Nafas mereka terasa dingin menyentuh wajah. Bibir mereka bertemu saat Angelina menutup kedua matanya. Malam itu mereka kembali menyatu di bawah gemerlap bintang langit, di antara pepohonan, di balik sembunyinya para ilalang.
Pagi-pagi sekali, Christian mengantarkan Angelina kembali ke tanah tersuci. Seorang wanita berkerudung menghampiri Angelina, memegang lembut pergelangan tangannya. Angelina merengutkan dirinya, memeluk teman dan sahabat terkasihnya, lalu melangkah pergi mengikuti langkah wanita berkerudung itu.
Christian melangkah melintasi As-Salam dengan pikiran yang mendalam.
Christian bertemu dengan sang penyelamat, dan ketika ia memberi hormat dengan sehormat-hormatnya, wajah pria itu penuh dengan kebaikan dan kedamaian. Orang muda itu memberanikan diri dan meminta izin untuk bisa berbicara kepadanya, dengan tenang pria itu mengangguk memberikannya izin.
Christian berkata, “Kemarin saya telah mendengarkan ajaran-ajaran anda yang begitu indah. Saya bersama teman saya datang dari jauh untuk mendengarkan ajaran-ajaran Yang Mulia, dan sekarang teman saya akan tinggal di tempat ini, ia telah bersumpah setia kepada Yang Mulia. Namun saya akan meneruskan untuk memperbarui perjalanan hidup saya.”
“Silakan.” Kata pria itu dengan sangat ramah.
“Ucapan saya mungkin terlalu berani,” Sambung Christian, “tetapi saya tidak meninggalkan anda, Yang Mulia, tanpa mengatakan pikiran-pikiran saya dengannya. Sudikah Yang Mulia mendengarkan saya barang sebentar?”
Dengan segala ketenangannya pria itu mengangguk mengizinkannya.
Christian berkata, “Di atas segalanya, satu hal saya mengagumi ajaran Yang Mulia. Semuanya benar-benar sangat jelas dan nyata. Yang Mulia menunjukkan kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh, mata rantai yang tak terputus, sebuah rantai abadi, dihubungkan satu dan lainnya dengan sebab dan akibat. Sebelum ini belum pernah ajaran itu disampaikan dengan sangat jelas. Belum pernah disampaikan seperti itu hingga orang mudah membantahnya. Sesungguhnya setiap jantung seolah berdetak kencang, dan lebih cepat, bila melalui jalan dan memahami setiap ajaran-ajaran itu dalam memandang dunia, benar-benar suatu kesatuan, tanpa satu celahpun, jelas seperti sebuah kristal, tidak selalu bergantung pada kesempatan, tidak bergantung pada hal lain selain Dzat Tunggal. Segala sesuatu yang baik dan buruk, apakah sesuatunya itu senang atau sakit, apakah sesuatu itu menjadi tidak menentu – hal itu boleh jadi mungkin tidak begitu penting – tetapi segala kesatuan dalam kehidupan ini, kepaduan segala rangkaian peristiwa, rangkulan dari yang besar dan kecil dari arus yang sama, dari hukum sebab akibat yang sama, dari hukum kejadian dan kematian; semua itu terpancar jelas dari ajaran-ajaran Yang Mulia. Namun menurut ajaran Yang Mulia, konsekuensi logis akan semua makhluk akan terpecah dalam satu tempat. Melalui sebuah jurang kecil di sana mengalir ke dalam sebuah bentuk yang asing, sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak ada di sana sebelumnya yang dapat dipertunjukkan dan dibuktikan; itulah ajaran Yang Mulia tentang kehidupan di atas dunia setelah kematian, tentang keselamatan. Dengan jurang kecil ini, betapapun, hukum tunggal dunia dan abadi menjadi terpecah-pecah lagi. Maafkanlah saya jika membangkitkan keberatan ini.”
Pria itu mendengarkan dengan tenang tanpa bergerak, mendengarkan keseluruhannya dengan sempurna. Lalu pria itu berkata dengan suara yang jelas, ramah dan baik hati. “Anda telah mendengarkan dengan baik seluruh ajaran itu anak muda. Dan sangat terpujilah engkau, karena engkau telah memikirkan ajaran itu dengan begitu dalamnya. Pikirkanlah sejenak hal itu baik-baik. Anda yang haus akan pengetahuan adalah baik, dan anda pasti sudah siap untuk menentang rimba pendapat dan segala pertentangan kata-kata. Anda juga akan selalu punya hak untuk menerima ataupun menolak segala pendapat yang anda terima akan ajaran-ajaran, baik itu indah atau buruk, pandai atau tidak, setiap orang selalu berhak menerima ataupun menolak ajaran-ajaran itu. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang saya beritakan melalui bibir saya, bukanlah pendapat saya, dan tujuannya hanyalah sebagai penyambung risalah dari Baginda Rasulullah, manusia mulia yang membawa pesan akan firman-firman-Nya. Jadi hal mendasar yang harus engkau pahami adalah, setiap ajaran akan mempunyai dasarnya masing-masing. Jika engkau ingin memahami ajaran ini, engkau harus terlebih dahulu memahami bahwa; engkau berhak untuk menerima atau menolak, karena tidak ada paksaan apapun dari ajaran ini.”
“Jangan marah kepada saya, Yang Mulia.” Kata Christian pada pria itu. “Saya tidak berbicara untuk bertengkar tentang kata-kata itu. Yang Mulia benar ketika mengatakan bahwa pendapat-pendapat itu tidak memaksakan. Tetapi perbolehkan saya mengatakan satu hal lagi. Saya tidak meragukan anda walau sekejap pun. Bahwa Yang Mulia telah mencapai tujuan tertinggi yang ribuan orang berusaha mencapainya. Anda telah melakukan pencarian anda sendiri, melalui cara anda sendiri, melalui pemikiran, perenungan, pengalaman, melalui pengetahuan, dan penerangan yang sempurna. Saya yakin anda tidak mempelajari sesuatu dari ajaran-ajaran, dan demikianlah saya, bahwa keselamatan bukan melalui ajaran-ajaran. Sesungguhnya anda tidak akan dapat menyampaikan kata-kata dan ajaran kepada siapa pun, tentang apa yang terjadi terhadap anda pada saat anda menemukan pengeahuan itu. Ajaran-ajaran yang mengetahui kebenaran sangat banyak. Ajaran-ajaran itu mengajarkan cara hidup yang benar, cara melenyapkan sisis jahat. Tetapi ada satu hal yang menjadi tidak jelas, contoh-contoh dan pengalaman tidak berisi rahasia yang dialami anda sendiri, di antara ratusan. Itulah yang terpikirkan dan saya sadari ketika mendengarkan ajaran-ajaran anda. Dan, juga menjadi penyebab saya meneruskan perjalanan saya – bukan untuk mencari ajaran yang lebih baik, tetapi untuk meninggalkan semua guru dan mencapai tujuan saya sendiri. Tetapi saya akan selalu mengenang hari ini, serta jam ini ketika kedua mata saya melihat seorang suci.”
Mata pria itu tertutup. Wajahnya yang tidak terduga memancarkan ketenangan hati yang penuh.
“Saya hanya bisa berharap, bahwa anda keliru mengutarakan alasan.” Katanya dengan pelan. “Tetapi, biarlah anda mencapai tujuan anda. Namun sebelumnya anda harus memahami beberapa hal yang ingin saya utarakan; ada pemahaman yang salah akan persepsi anda memandang sosok saya. Saya yakin anda memahami kodrat keberadaan manusia pada satu kitab yang mengajarkannya. Penyatuan antara manusia dan Tuhan sebagai satu kesatuan tunggal.” Pria itu terdiam sejenak menanti jawaban Christian yang segera dibalas dengan anggukan pelan. “Saya adalah makhluk. Manusia. Raga yang di dalamnya bersemayam ruh. Dan, sampai kapanpun, saya hanyalah sebuah ciptaan, untuk itu saya tidak akan bisa menjadi satu dengan Pencipta saya. Tuhan itu tunggal, tanpa definisi lainnya. Tidak ada penjabaran, dan tidak juga menjadi beraneka bentuk sebagai penjabaran itu. Sedangkan saya hanyalah orang yang menemukan sebuah bentuk – dalam daging di balik raga saya; yang kita sebut hati – jalan kesadaran akan hakikat makhluk; sebagai hamba, dalam hal ini kita sebut sebagai hidayah. Manusia dan Tuhan akan selalu berkorelasi sebagai Sang Pencipta dan hamba-Nya. Saya adalah sesuatu yang harus selalu mengikuti aturan, jadi tidak akan mungkin saya mencapai tahapan sebagai pencipta aturan. Untuk seluruh rangkaian itu, kata-kata Yang Mulia tidaklah tepat dilontarkan kepada saya. Saya bukanlah seorang raja, makhluk mulia ataupun orang suci. Jika engkau ataupun orang lainnya mencintai diriku, maka cinta itu akan mati apabila raga ini mati. Tetapi jika engkau ataupun yang lainnya mencintai Tuhan, Ia tidak akan pernah mati. Manusia mempunyai hakikat untuk terus bertaqwa dan bersyukur atas segala rahmat yang telah dicurahkan atas dirinya. Kegelisahan dalam hidup hanyalah satu bentuk dari ketidaktahuan manusia untuk terus bersyukur. Engkau tidak perlu mencari atau menjadi Tuhan, sesungguhnya Tuhan ada dalam diri setiap hamba-Nya. Dia yang mengetahui apa yang terjadi, apa yang engkau inginkan, apa yang engkau pikirkan, apa yang engkau lakukan. Dia mengetahui sebagaimana engkau mengetahuinya, tetapi tidak berarti engkau telah menjadi Tuhan.” Pria itu diam sejenak membiarkan Christian berfikir.
“Ada banyak hal yang bisa engkau pelajari dalam hidup sebagai tanda. Saya hanyalah sedikit contoh, tidak ada sesuatu yang istimewa sebagai pengingat untuk anda. Saya akan lebih baik mengatakan hal-hal yang mudah untuk difahami agar engkau dan yang lainnya lebih mudah memahaminya. Yang ingin saya tekankan hanyalah sebuah pilihan; apakah kalian ingin terus terbuai dalam kehidupan dunia dan nafsu, ataukah menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sedang menguji kehambaan kita di dunia fana ini.”
“Pikiran itu tidak pernah terlintas dalam benak saya.” Christian berkata setengah berteriak. “Biarlah mereka memilih jalan mereka. Biarlah mereka mencapai tujuan mereka. Saya sendiri akan menentukan untuk menerima atau menolak. Kami yang percaya pada kitab-Nya akan mencari cara sendiri untuk pelepasan dari diri. Jika saya memaksakan sebagi pengikut anda, saya khawatir itu hanyalah di permukaan saja, bahwa saya hanya akan menipu diri saya sendiri, bahwa saya seakan telah mencapai damai dan keselamatan, yang akan terus berlanjut dan tumbuh, karena saya berfikir itu akan diubah menjadi ajaran-ajaran anda, ke dalam kesetiaan dan cinta saya hanya kepada anda.”
Setengah tersenyum, pria itu menunjukkan air muka yang bersinar kecerahan penuh ketenangan dan persahabatan. Lalu dengan gerakan yang tidak terasa, dia mengijinkan orang asing itu menemukan langkahnya.
“Anda seorang yang pintar, anak muda. Anda tahu untuk bersikap, bertingkah laku dan berbicara dengan pandai. Engkau akan menemukan jalanmu selama engkau paham menggunakan kepintaranmu.”
Pria itu pergi setelah mengucapkan salam. Pandangan dan senyumnya akan selalu tercetak dalam benak Christian, selamanya.
Aku tidak pernah melihat seseorang melihat dan tersenyum, duduk dan berjalan seperti itu, pikirnya. Aku juha ingin memandang dan tersenyum, duduk dan berjalan seperti itu. Begitu bebas, begitu anggun, begitu terkendalikan, begitu apa adanya, bagaikan seorang kanak-kanak. Seseorang hanya akan berpandangan seperti itu bila dia telah mampu mengalahkan dirinya. Aku juga akan mengalahkan diri-ku.
Aku telah melihat seorang pria, pikir Christian, yang di depannya aku harus menunduk. Aku yang tidak akan menundukkan mukaku di depan orang lain. Tidak ada ajaran lain yang akan menarik untuk kupelajari lagi, karena ajaran orang ini saja tidak menarik bagiku.
Pria itu telah mencuri dariku, dia telah merampok diriku, karena aku telah kehilangan sesuatu yang nilainya lebih besar kepadaku. Dia merampas sahabat terkasihku, yang begitu percaya kepadaku dan sekarang lebih percaya kepadanya. Dia yang menjadi bayanganku dan sekarang akan menjadi bayangan pria itu. Tetapi dia telah memberikan sesuatu kepadaku sesuatu yang sangat berarti, diriku sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More