Sep 9, 2011
Chapter 2 : Dalam Kebun Kaylila
Christian terus belajar hal yang baru di setiap langkahnya, saat dia menemui dunia yang berubah, dia terpesona. Dia melihat saat mentari terbit melalui gunung-gunung, lalu di lain waktu dia melihatnya terbenam di sudut laut melalui kejauhan di atas pantai kelapa. Di malam harinya ia melihat bintang-bintang di langit serta bulan sabit yang mengambang bagai perahu di atas laut biru. Di melihat banyak bentuk pepohonan, binatang-binatang, pelangi, bebatuan, bunga, ganggang dan sungai. Biru pucatnya gunung tinggi di kejauhan, kemilaunya embun pagi tertimpa cahaya. Mendengar kicauan burung, lebah berdengung, serta suara angin yang lembut bertiup di atas sawah. Semua hal yang dialaminya begitu berwarna dan terwujud dalam seribu bentuk yang berbeda-beda, semuanya selalu ada di sana. Matahari dan bulan terus bersinar. Sungai-sungai akan selalu mengalir dan burung terus berkicau, serta lebah telah berdengung. Tetapi semua hal itu tidak berarti bagi Christian di waktu yang lampau. Semua hal hanyalah sebuah kabut yang dibuat-buat dan lewat begitu saja di depan matanya. Sesuatu yang dipandang dengan ketidakpercayaan, dikutuk untuk tidak perlu dihormati, serta diasingkan dari segala bentuk pikiran-pikiran; dikarenakan semua itu bukanlah kenyataan, karena segala bentuk kenyataan terdapat di sisi lain yang bisa terlihat. Akan tetapi, kini matanya tetap hidup di sisi ini. ia dapat melihat dan mengenal yang dilihantnya dan ia mencari tempatnya di dunia. Dia tidak berusaha mencari kenyataan. Tujuannya bukanlah pada sisi lain. Dunia akan menjadi indah bila dilihat dengan cara ini, tidak perlu pencarian, begitu sederhana dan semuanya menjadi sudut pandang kekanak-kanakan, apa adanya. Bulan dan bintang itu sangat indah. Sungai, hutan, gunung, pantai dan bebatuan, kambing dan lebah, bunga dan kupu-kupu, semuanya juga indah. Sungguh sangat indah dan menarik hati menjelajah dunia yang seperti ini. begitu sangat disadari, menjadi begitu diperhatikan; tanpa ketidakpercayaan. Di manapun, matahari akan selalu membakar dengan garangnya. Di manapun, di bayangan pepohonan akan selalu dingin. Ada hari dan malam. Setiap waktu akan berlalu dengan cepat. Dirinya melihat sekelompok kera di dalam hutan, bergelantungan di antara pepohonan pada cabang-cabangya, dan mendengarkan teriakan mereka yang buas serta begitu penuh akan keinginan. Christian memperhatikan seekor kambing jantan mengikuti domba dan pasangannya. Di beningnya danau ia melihat seekor ikan mengejar mangsanya dalam petang yang penuh kelaparan. Sekelompok ikan muda seolah kebingungan dan berkilauan, bergerak dengan ketakutannya terus berusaha menjauhi ikan-ikan besar. Kekuatan dan nafsu terpantul dalam putaran arus air yang berputar mengalun, terbentuk oleh pengejar yang marah.
Semua hal itu selalu ada, tetapi dia tidak pernah menyaksikannya. Dia tidak pernah hadir di situ. Namun, kini dia hadir dan menjadi milik semua itu. Melalui matanya ia telah melihat bentuk cahaya dan bayangan. Melalui pikirannya ia memperhatikan adanya bulan dan bintang.
Dalam perjalanannnya, Christian berusaha mengingat apa yang dialaminya di As-Salam, ajaran-ajaran yang telah dia dengar di sana, perpisahan dengan Angelina dan percakapan dengan pria suci. Ia mengingat setiap kata yang telah dikatakannya kepada pria suci, dan, dia sangat terpukau bahwa dia telah mengatakan hal-hal yang dia sendiri kemudian benar-benar tidak memahami. Apa yang telah diucapkannya – bahwa kebijaksanaan dan rahasianya tidak dapat diajarkan, bahwa ajaran itu tidak terkatakan dan tersampaikan – dan yang telah dialaminya dulu dalam satu jam penerangan adalah hanya apa yang dia miliki sekarang ini sebagai awal. Dia harus mengalaminya sendiri. Telah lama dia yakin bahwa dia dapat menjadi tunggal, dari sifat dasar yang sama dengan orang-orang suci. Hanya saja dia merasa tidak pernah menemukan diri yang sebenarnya, karena dia telah memerangkapkannya dalam jaring-jaring pikirannya sendiri. Badan bukanlah diri yang sebenarnya, bukan pula tempat untuk memainkan rasa, bukan pula pikiran, bukan pengertian, bukan pula menjadi sebuah kebijaksanaan yang begitu dibutuhkan, atau sebuah seni yang dapat disimpulkan; dan sesungguhnya dari pemikiran-pemikiran yang telah ada, dapat dikisarkan untuk pikiran-pikiran baru. Tidak, dunia pikiran sebenarnya masih berada pada satu sisi, dan itu tidak akan menuju pada satu titik tujuan bila seseorang menghancurkan perasaan-perasaan akan diri untuk memberinya pikiran dan pengetahuan. Baik keberadaan pikiran dan perasaan adalah hal-hal yang baik, di belakang keduanya tersembunyi makna yang mendalam. Sungguh menjadi sangat bernilai saat kita bermain menggunakan keduanya, untuk tidak memandang rendah atau menilai terlalu tinggi keduanya, tetapi cobalah untuk mendengarkan dengan penuh perhatian suara keduanya. Raga akan menjadi berusaha keras sesudah suara apapun di dalam memerintahkannya, dia tidak akan tinggal di mana pun melainkan di tempat di mana suara itu menyarankan sesuatu kepadanya.
Mengapa dulu Angelina duduk di atas pakaiannya saat mereka menerobos kesadaran duniawi? Dia mendengarkan sebuah suara, bahwa sesungguhnya dia mendengar suara dari dalam jantungnya sendiri yang memerintahkan untuk duduk di atas pakaiannya, dan dia tidak mengambil jalan lain hanya untuk mendera pikiran dan perasaannya; dia telah mendengar suara itu. Untuk menuruti perintah dari luar yang masuk ke dalam, bukan yang lain, hanya suara, untuk dipersiapkan – dan, itu baik, itu perlu. Tidaka ada hal lain yang lebih.
Saat malam-malam merayap di langit, saat Christian membaringkan dirinya di atas jerami kering, Christian telah bermimpi. Dia melihat Angelina menghampirinya, dia menggunakan sebentuk pakaian keindahan dan berbalut kerudung dan jubah. Angelina terlihat sedih dan bertanya pada dirinya, “Mengapa engkau meninggalkan diriku?” Setelah itu, Christian memeluk Angelina, menangkupkan kedua tangan kepadanya, meletakkan di dadanya, lalu menciumnya. Tetapi di hadapannya bukan lagi Angelina, melainkan seorang wanita lainnya. Dari gaun indah wanita itu keluar sepasang payudara padat dan sempurna, dan Christian berbaring di pelukan wanita itu lalu menghisap payudara itu. Manis dan lezatnya air susu yang keluar dari payudara itu. Serasa indahnya matahari menyinari hutan, lebah membuahi bunga, serasa beraneka rasa buah-buahan, serasa seetiap bentuk kelezatan. Air susu itu tiba-tiba terasa mencekat, air susu itu beracun. Christian terbangun. Ketika dirinya terbangun, kemilau pucatnya sungai di bawah temaram bulan membayang di matanya, dan di antara pepohonan terdengar lengkingan burung hantu, jelas dan nyaring.
Saat pagi merambat di sela-sela dedaunan, Christian meminta kepada pengayuh rakit, untuk menyebrangkannya. Pengayuh itu dengan senyuman membawanya menyebrangi sungai dengan rakit bambunya. Hamparan air itu berkilau merah jambu terkena cahaya pagi.
“Sungai yang indah.” Kata Christian.
“Ya,” jawab pengayuh itu. “Sungai yang sangat indah. Aku begitu mencintainya di atas segala-galanya. Aku sering mendengarkannya, menatapnya, dan dari dia aku selalu belajar sesuatu. Seseorang dapat belajar banyak dari sungai.”
“Terima kasih, Orang Baik,” Kata Christian saat tiba di sisi sungai yang lain. “Saya khawatir bahwa saya tidak dapat memberikan hadiah apapun kepada anda, atau bayaran untuk anda. Saya tidak berumah, seorang pengelana.”
“Saya bisa melihatnya.” Kata pengayuh rakit itu, “dan, saya tidak mengharapkan bayaran atau pemberian apapun dari anda. Anda akan memberikannya kepada saya di lain waktu.”
“Begitukah?” Tanya Christian dengan gembira.
“Tentu. Saya telah belajar begitu banyak dari sungai; bahwa segala sesuatu akan kembali. Begitu juga anda, pengelana, pasti akan kembali. Sekarang, selamat berpisah, mudah-mudahan persahabatan ini menjadi pembayaran bagi saya. Ingatlah saya bila anda kelak memanjatkan doa pada Tuhan.”
Tersenyum, lalu keduanya berpisah. Christian merasa begitu senang dengan persahabatan itu. Ia merasa melihat sosok Angelina, pikirnya dalam senyum. Semua hal yang ditemuinya menunjukkan sosok Angelina. Semua begitu berterima kasih, meskipun mereka sendiri pantas mendapatkan terima kasih. Semua seakan bersikap patuh. Seolah-olah semuanya ingin menjadi temanku, menurut dan berpikir sedikit saja. Orang-orang itu seperti anak-anak.
Saat tengah hari menyapa, Christian melewati sebuah desa. Anak-anak kecil menari di tengah jalan, di depan gubuk-gubuk mereka. Mereka bermain dengan pecahan buah kelapa dan batu-batu gundu kecil. Mereka berteriak dan saling bergelut, tetapi kemudian berlari dengan takut-takut saat pengelana asing itu muncul. Di ujung desa, jalan itu bertepian dengan kali, dan dari pinggir kali Christian melihat seorang wanita muda berlutut mencuci pakaian. Saat Christian menghampiri dan menyapanya, lalu menyalaminya, wanita itu mengangkat kepalanya dan menatap dirinya dengan senyuman, sehingga Christian bisa melihat putih mata wanita itu berkilauan. Christian menyampaikan salam, lalu menanyakan berapa jauh lagi jalan menuju kota. Setelahnya, wanita itu berdiri dan tegak di hadapan Christian. Bibirnya yang basah berkilau pada wajahnya yang muda itu, sungguh sangat menarik hati. Dia berbasa-basi pada Chrsitian, dan menanyakan apakah dirinya sudah makan, dan apakah seorang pengelana seperti dirinya tidur sendirian dalam malam-malamnya, tanpa kehangatan dari seorang wanita. Lalu, perempuan itu meletakkan kaki kirinya di atas kaki kananya dan membuat sebuah gerakan, seolah terlihat seperti wanita yang mengundang laki-laki untuk melakukan kenikmatan cinta yang disebut dengan istilah “mendaki bukit”. Christian merasakan darahnya bergelegak, dan ketika dia mengingat kembali impiannya saat itu, ia membungkukkan tubuhnya sedikit ke arah wanita itu, mendekatkan penciumannya pada puting payudaranya yang tertutup kain batik cokelat. Ketika menengadah, ia melihat wanita itu tersenyum penuh gairah, dan sorot matanya yang setengah tertutup memohon dengan penuh kerinduan dan nafsu.
Christian juga merasakan kerinduan dan gejolak birahi dalam dirinya. Oleh karena dirinya belum pernah menyentuh perempuan asing, dirinya merasa gugup sebentar, meskipun kedua tangannya telah siap untuk memeluk perempuan itu. Pada saat itulah dirinya mendengar suara dari dalam, dan suara itu berkata, “Jangan!” Kemudian semua keajaiban itu lenyap dari wajah tersenyum wanita muda itu. Dia tidak melihat sesuatu selain dari pandangan yang bergairah dari seorang wanita muda yang penuh nafsu. Dengan lembut Christian mengusap pipi perempuan itu dan dengan cepat menghindar dari wanita yang kecewa itu, dan menghilang di antara balik pepohonan.
Sebelum sore menjemput, langkah Christian telah menghantarkannya hingga kota dan diapun merasa gembira, karena dia mempunyai keinginan untuk bersama dengan orang banyak. Dia telah tinggal di alam, dan untuk waktu yang lama dia merasa sendirian, tidur di atas jerami di malam-malam sebelumnya, hingga ia merasa lupa akan rasanya bernaung di bawah sebuah atap.
Di pinggir kota, di tepi sebuah kebun yang tidak berpagar, pengembara itu bertemu dengan sekelompok pelayan wanita dan pria yang diantaranya membawa keranjang. Di tengah kebun, di bawah teduhnya pohon mangga, di atas kursi berukir yang berbantal, duduklah seorang wanita. Christian berdiri tegak tepat di pintu masuk, dan matanya menatap lekat pada wanita itu. Di balik rambutnya yang terurai dan berwarna hitam, Christian melihat seraut wajah cerdas, begitu cantik dan berkilau, bibir cerah dan berkilat basah, alis yang di cat dengan lengkungan tinggi, matanya yang kecoklatan terasa cerdik dan menyelidik, serta leher jenjangnya berdiri di atas gaun putih bersulam benang emas. Tangannya begitu kukuh dan lembut, panjang dan semampai, dengan beberapa gelang emas melingkari pergelangannya.
Christian melihat begitu cantiknya wanita itu, dan hatinya merasa begitu bahagia. Dia membungkuk rendah sekali saat tatapan wanita itu mengarah pada dirinya, lalu ia mengangkat kembali dirinya. Untuk beberapa saat memandang ke dalam mata cekungnya. Wanita itu perlahan mendekatinya, Chrsitian menghirup harum wewangian yang asing namun menggodanya. Untuk sesaat wanita cantik itu mengangguk dan tersenyum, kemudian dirinya berbalik, menghilang ke dalam rumah. Lalu Chrsitian berpikir kalau dirinya telah memasuki kota dengan bermandikan cahaya bintang keberuntungan. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk memasuki kebun dengan segera, tetapi berulang kali ia tertahan dan berpikir, karena dia segera melihat betapa para pelayan itu begitu lekat menatap pada dirinya, tatapan mereka sungguh menghina, sangat menaruh ketidakpercayaan, dan dari gerakan mereka sungguh terlihat begitu menolak.
Aku hanyalah seorang pengembara lusuh, demikian pikirnya, masih seorang yang sendirian dan tidak mempunyai suatu apa pun. Aku tidak dapat terus seperti ini. Aku tidak bisa tetap seperti ini. Aku tidak dapat memasuki kebun seperti ini. Dan, dia tertawa.
Lalu dia kembali melangkah, dia bertanya segera pada orang pertama yang ditemuinya, milik siapakah kebun itu dan siapakah nama wanita itu. Lalu dirinya mengetahui kebun itu milik Kaylila, seorang pelacur terkenal. Dan, selain kebun itu, Kaylila mempunyai sebuah rumah lainnya di tengah kota.
Kemudian Christian melanjutkan langkahnya memasuki kota. Dalam hatinya ia memiliki satu tujuan. Untuk menggapai tujuannya itu, ia melihat kota, berjalan-jalan di sepanjang kota, berdiri tegak di penjuru dan tempat-tempat, dan beristirahat di anak tangga. Saat malam mendekati hari, ia berkenalan dengan seorang tukang cukur. Dia berjumpa dengannya di depan sebuah masjid, saat pria itu selesai beribadah. Pada malam harinya, ia tidur di antara tumpukan bangku, di bawah tenda warung pinggir jalan, dan pagi-pagi sekali saat tukang cukur itu selesai beribadah, Christian menghampirinya. Ia minta dicukurkan jenggotnya, dan dirapikan rambutnya, ia meminta agar rambutnya disisir rapi dan diberi minyak terbaik yang dimilikinya, setelah sebelumnya ia mandi di masjid.
Saat Kaylila yang cantik itu duduk di kebunnya pada sore hari, Christian berdiri tegak di pintu masuk. Dia membungkuk dan menerima balasan salam dari pelacur itu. Dia memberikan isyarat pada pelayan yang berada di dekat pintu masuk, dan meminta kepadanya untuk menyampaikan pada nyonyanya, bahwa seorang pria ingin berbicara kepadanya. Setelah beberapa saat, pelayan itu kembali pada Christian dan memintanya agar mengikuti pelayan itu. Christian dengan diam-diam diantarkan ke salah satu paviliun, di dalamnya terlihat Khumara sedang tiduran di atas sofa putih panjang, dengan setumpuk bantal menahan punggungnya yang bersandar, lalu pelayan itu meninggalkannya.
“Bukankah anda yang kemarin berdiri di depan kebunku?” Tanya Kaylila.
“Ya, begitu adanya. Aku melihatmu, dan engkau tersenyum padaku.”
“Tetapi, bukankah anda masih berjenggot dan berambut panjang kemarin, dengan debu di atasnya?”
“Engkau mengingatku dengan cukup baik. Anda melihat dan dengan baik segalanya. Aku adalah putra seorang kuli, lahir dari rahim seorang pelacur, dan telah menjadi seorang musafir, selama hampir tiga tahun. Namun, saat ini saya telah meninggalkan jalan itu dan langkah saya mengantarkan saya ke kota ini, dan orang pertama yang saya temui sebelum memasuki kota adalah anda. Dan, saya datang kemari untuk mengatakan pada anda, bahwa andalah wanita pertama yang mampu membuat diriku berbicara tanpa menurunkan pelupuk mataku. Aku tidak pernah sekalipun menunduk saat bertemu seorang wanita cantik.”
Kaylila tersenyum hangat, tangannya memainkan kipas dari bulu, lalu bertanya, “Semua itukah yang telah menyebabkan langkahmu mengantarkan kembali engkau kemari?”
“Aku telah datang untuk mengatakan hal tersebut kepada anda, dan setulus hatiku menghaturkan terima kasih karena anda begitu cantik. Dan, sekiranya hal ini memberatkan hati anda, sehingga tidak menyenangkan anda, Kaylila, aku hanya ingin engkau menjadi teman dan guruku, karena sedikitpun aku tidak mengetahui seni yang membuat anda memilih menjadi seorang pelacur.”
Kaylila menatap dalam kedua mata Christian, lalu dia tertawa terbahak-bahak.
“Tidak pernah sekalipun dalam hidupku seorang pengembara datang kepadaku dan ingin belajar dari aku. Belum pernah ada seorang pengembara dengan pakaian lusuh dan robek datang kepadaku. Banyak orang muda datang kepadaku, termasuk pria paruh baya, tetapi mereka datang berpakaian indah, bersepatu bagus. Ada harum wewangian dari tubuh dan rambut mereka, serta uang di kantung mereka. Itulah cara mereka datang kepadaku.”
Christian lalu berkata, “Aku telah siap untuk memulai belajar dari anda. Aku sesungguhnya telah belajar sesuatu kemarin. Aku telah menghilangkan jenggotku, dan menyisir rapi rambutku serta meminyakinya. Tidak ada lagi yang kurang, wahai wanita yang paling cantik; kuupayakan baju bagus, sepatu bagus dan uang di kantungku. Aku telah mengupayakan hal-hal yang lebih sulit daripada barang-barang sepele itu dan telah memperoleh barang-barang itu. Mengapa aku tidak boleh mencapai apa yang telah aku putuskan untuk melakukannya kemarin – untuk dapat menjadi teman anda dan mempelajari kenikmatan cinta dari anda? Kau akan menemukan aku sebagai murid yang cepat pandai, Kaylila. Sesungguhny aku telah mempelajari hal-hal yang lebih sulit daripada apa yang harus anda ajarkan padaku. Sehingga bagimu, apakah diriku kurang baik seperti adanya, dengan minyak di rambutku, meski tanpa pakaian, sepatu dan uang.”
Kaylila kembali tertawa dan berkata, “Tidak, ia belumlah cukup baik. Dia tetap harus memiliki pakaian, pakaian yang sangat bagus, juga sepatu, sepatu yang bagus, serta uang banyak di dalam kantungnya, juga hadiah yang dibawanya untuk Kaylila. Tahukah anda sekarang, pengembara? Mengertikah anda?”
“Aku sangat mengerti,” Ujar Christian setengah berteriak. “Bagaimana aku dapat gagal untuk bisa memahami jika ucapan itu keluar dari mulut seperti itu? Mulut anda merah dan berkilat. Bibirku juga merah dan segar, saya yakin bibir ini akan cocok sekali dengan bibir anda. Lihat sajalah nanti. Tetapi, katakanlah kepadaku, Kaylila yang cantik, tidak takutkah engkau kepada pengembara yang datang untuk mempelajari cinta dan engkau menolaknya?”
“Mengapa aku harus takut kepada seorang pengembara, seorang pengembara dari hutan, yang pernah melewati pepohonan, menaklukkan gunung, menapaki pantai. Tidur di atas jerami, datang dari sekumpulan serigala, namun tidak memahami tentang wanita?”
“Kami para pengembara sangat kuat dan tidak takut pada apapun. Dia dapat memaksa kemauannya pada anda, Kaylila. Sesungguhnya dia dapat mencuri anda, dia dapat menyakiti anda.”
“Tidak. Aku tidak takut. Pernahkah seorang pengembara takut pada seseorang yang setiap saatnya dapat datang dan memukulnya, serta merampok segala pengetahuannya, kesalehannya, kekuatannya untuk dapat berpikir dalam-dalam? Tidak! Karena mereka adalah milik mereka sendiri, dan ia hanya dapat memberikan apa yang diinginkan dan jika mereka ingin. Itulah sesungguhnya yang terjadi pada Kaylila serta kenikmatan cintanya. Cantik dan merekahnya bibir Kaylila, tetapi cobalah engkau mencium bibir-bibir itu melawan kehendak Kaylila, maka tidak ada satu kemanisanpun yang akan diperoleh dari bibir itu – meskipun sesungguhnya bibir itu tahu cara memberi kemanisan itu. Anda tentunya adalah seorang murid yang gampang menangkap pelajaran, Christian. Karena itu, pelajarilah juga hal penting ini. setiap orang dapat mengemis, membeli, dihadiahi dengan dan mendapatkan cinta di jalanan, tetapi sesungguhnya cinta itu tidak akan pernah dapat dicuri. Anda telah sepenuhnya salah mengerti. Sebuah hal yang sepantasnya sangat perlu dikasihani, jika pria muda dan gagah seperti anda telah gagal untuk bisa mengerti.”
Christian membungkuk dan tersenyum. “Anda benar, Kaylila. Sungguh kasihan. Sungguh teramat kasihan. Tidak! Tidak kuinginkan setetes kemanisan pun harus hilang dari bibir anda, juga tidak dari saya. Karena itu, aku akan datang lagi bila diri ini telah mempunyai apa yang masih kurang bagiku dalam pakaian, sepatu, dan uang. Tetapi katakan kepadaku, Kaylila yang cantik, tidak dapatkah anda memberiku sedikit saran?”
“Saran? Mengapa tidak? Siapakah yang tidak akan dengan senang hati memberikan saran kepada seorang pengembara yang miskin juga dungu, yang datang dari sekumpulan serigala?”
“Kaylila sayang, ke manakah saya harus pergi untuk bisa mendapatkan ketiga hal tersebut secepat mungkin?”
“Wahai pengembara, banyak sekali orang yang ingin mengetahui hal itu, anda harus melakukan apa yang telah anda pelajari untuk mendapatkan uang, pakaian, dan sepatu. Sebaliknya, seseorang yang miskin akan pengetahuan tidak akan mampu memperoleh uang.”
“Aku dapat berpikir. Aku mampu menunggu, berpuasa, serta aku juga dapat bersabar dan berdoa.”
“Hanya itu? Tidak ada lagi?”
“Tidak. Oh ya, aku dapat mengarang sebuah puisi. Apakah engkau mau menciumku untuk sebuah puisi?”
“Baiklah, akan kulakukan jika puisi itu bisa menyenangkan hatiku. Apakah namanya?”
Sesudah berpikir sejenak, lalu Christian bersyair
“Dalam kebun yang bertabur bunga
Ada satu kuntum cantik, dialah Kaylila
Sedangkan di gerbangnya, ada si lusuh
Saat terpaut pandangnya
Dengan dalam ia membungkuk kagum
Tersenyum, terpikatlah si pengembara
Lebih baik bagiku, pikirnya
Berkorban untuk si cantik Kaylila
Daripada menyerahkan kurban pada Tuhan.”
Senyum mengambang di wajah cantik Kaylila, dengan kagum ia bertepuk tangan kuat-kuat, sehingga gelang emas di pergelangannya berdentingan.
“Puisi anda sangat memikat, wahai pengembara, dan sesungguhnya tidaklah percuma jika saya memberikan ciuman pada anda.”
Kaylila menarik pengembara itu dengan matanya. Christian mendekatkan wajahnya ke muka Kaylila, melekatkan bibir ke bibirnya, yang merah merekah dan berkilau. Kaylila menciumnya lama sekali, dan dalam keterpukauan yang sebegitu besar, Christian merasakan begitu banyak yang Kaylila ajarkan kepada dirinya, sungguh betapa pandainya wanita itu, bagaimana ia mampu menguasai seorang pria, mengalahkannya, menariknya, dan bagaimana dari satu ciuman yang lama itu, sebuah rangkaian panjang ciuman lain yang kesemuanya akan berbeda-beda telah menanti dirinya. Christian berdiri tegak dan menarik napas dalam-dalam. Pada detik itu, dia merasa bagaikan seorang anak kecil yang melihat suatu keajaiban dengan datangnya suatu pengetahuan dan pelajaran yang tidak terlipatkan di depan kedua matanya.
“Puisi anda begitu indah.” Kata Kaylila. “Jika aku kaya, aku akan membayar puisi itu. Tetapi sulit bagimu untuk memperoleh uang sebanyak yang anda inginkan jika hanya dari puisi. Karena anda akan butuh banyak sekali uang jika ingin berteman dengan Kaylila.”
“Betapa hebat ciumanmu, Kaylila.” Christian tergagap.
“Sudah tentu, itulah sebabnya aku tidak akan kekurangan dalam pakaian, sepatu, gelang, serta segala bentuk dan jenis benda indah. Tetapi apakah yang akan engkau lakukan? Tidakkah engkau mampu melakukan hal lainnya selain berpikir, berdoa atau membuat puisi?”
“Aku tahu nyanyian-nyanyian,” Kata Christian. “Tetapi aku tidak ingin menyanyikan lagu-lagu. Aku mengetahui doa-doa dan mantra-mantra, tetapi aku tidak ingin mengucapkannya. Aku telah membaca banyak buku dan alkitab ....”
“Tunggu,” Sela Kaylila. “Engkau bisa membaca dan menulis?”
“Tentu saja aku bisa. Banyak orang dapat melakukannya.”
“Tidak bagi kebanyakan orang miskin, apalagi seorang pengembara. Sangat baik jika engkau dapat membaca dan menulis. Bahkan kelak engkau pasti akan membutuhkan mantra-mantra itu.”
Saat bersamaan seorang pelayan mengetuk pintu, masuk dan membisikkan sesuatu pada nyonya rumah.
“Aku kedatangan tamu,” Kata Kaylila. “Temui aku besok hari di kota. Sekarang cepatlah pergi dari sini, tidak seorangpun boleh mengetahui bahwa engkau ada di sini.”
Lalu, Kaylila memerintahkan kepada pelayan untuk memberi baju putih dan celana yang bersih kepada Christian. Tanpa sedikit pun mengetahui apa yang terjadi, Christian diantarkan pelayan itu meninggalkan rumah, mengitari kebun, diberi pakaian, lalu dibiarkannya memasuki hutan di sisi kebun. Dengan burur-buru diperintahkannya agar meninggalkan kebun tanpa dilihat orang.
Dengan penuh kegembiraan ia melakukan semua itu. Hutan bukan hal baru baginya, ia berjalan dengan sangat tenang ke luar kebun. Dengan senyum ia kembali ke kota dengan pakaian yang sudah dilipatnya.
Sesampainya di kota, di salah satu warung makan, ia berdiri di pintunya. Dengan diam dia meminta makanan, dan dengan diam pula diterimanya sepotong roti kering. Barangkali besok pagi, pikirnya, aku tidak perlu lagi mengemis makanan.
Tiba-tiba persaan bangga merasuki jiwa dan pikirannya. Ia merasa bukan lagi seorang pengembara. Dia tidak perlu lagi mengemis-ngemis. Lalu, ia memberikan sepotong kue kering itu kepada seekor anjing dan melewatkan malam itu tetap tanpa makanan.
Kehidupan pada dasarnya berjalan dengan sangat sederhana, pikir Christian. Tidak mengalami sebentuk kesulitan apapun. Ketika aku menjadi seorang musafir, semuanya serba sulit, menjengkelkan dan akhirnya tanpa harapan. Kini segalanya serba mudah, semudah petunjuk dari ciuman yang diberikan Kaylila. Aku memerlukan pakaian dan uang. Itu saja. Ini semua tujuan yang gampang yang tidak akan mengganggu tidur seseorang.
Sejak itu ia mulai menanyakan rumah Kaylila yang ada di kota, dan mengunjunginya keesokan hari.
***
“Segalanya berjalan lancar.” Kaylila berbicara kepadanya. “Yohanes mengharapkan kedatanganmu. Dia merupakan pedagang terkaya di kota ini. jika engkau bisa menyenangkan hatinya, engkau bisa bekerja dengannya. Pandai-pandailah, tampan! Telah aku sampaikan namamu melalui orang lain. Baik-baiklah kepadanya, karena dia terlalu berkuasa. Tetapi jangan juga engkau menjadi terlalu rendah hati. Saya tidak ingin jika engkau menjadi pelayannya. Melainkan menjadi sama derajatnya. Kalau tidak, saya tidak akan senang kepadamu. Yohanes mulai menjadi tua dan lamban. Jika engkau bisa menyenangkan hatinya, dia akan menaruh kepercayaan yang besar kepada anda.”
Christian berterima kasih lalu tersenyum. Dan saat Kaylila mengetahui Christian belum makan hari ini dan sebelumnya, Kaylila segera memerintahkan pelayan untuk membawakannya roti dan buah-buahan, serta semangkuk kari untuk diberikan pada Christian.
“Engkau beruntung.” Kata Kaylila kepadanya ketika berpamitan. “Satu pintu dan lainnya terbuka dengan cepat bagimu. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apakah engkau mempunyai pesona?”
Christian berkata, “Kemarin aku mengatakan kepadamu tentang berpikir, menunggu, puasa, bersabar dan berdoa, tetapi bagimu itu menjadi hal yang tidak berguna. Engkau akan melihat bahwa semuanya sangat berguna, Kaylila. Anda akan melihat bahwa pengembara dungu di dalam diri ini telah belajar dan mengetahui banyak hal yang berguna. Sebelum bertemu denganmu, aku adalah seorang pengemis yang tidaklah terpelihara. Tetapi kemarin, aku telah mencium bibir seorang Kaylila yang kecantikannya begitu menggetarkan, dan segera aku juga akan menjadi pedagang kaya yang mempunyai uang, serta seluruh barang yang engkau hargai.”
“Baiklah.” Kaylila menyetujuinya, “Tetapi bagaimana engkau akan memperoleh makanan tanpa diriku? Dimanakah engkau akan tinggal bila Kaylila tidak menolongmu?”
“Kamala, cintaku,” Kata Christian, “saat aku datang dan berdiri di gerbang kebunmu, sesungguhnya saat itu aku telah membuat langkah pertama. Telah sepenuhnya menjadi keinginanku untuk mempelajari cinta dari seorang wanita paling cantik. Sejak aku membuat ketetapan dalam hatiku, aku juga harus mengetahui bahwa aku akan melaksanakannya. Aku segera mengetahui bahwa engkau akan membantuku. Aku tahu dari pandangan pertamamu saat aku di pintu masuk itu.”
“Jika aku tidak menyukaimu?”
“Tetapi engkau suka, bukan? Dengarkan, Kaylila, cara tercepat untuk sampai ke dasar air adalah menjadi batu yang terlempar ke dalamnya. Sama saja dengan saat engkau menyatakan sebuah niat, tujuan, atau maksud. Engkau harus berpikir, menunggu, berpuasa, bersabar dan berdoa. Engkau perlu mengkaji masalah-masalah dunia seperti batu menembus air, tidak perlu melawan, dan biarkan orang lain yang melakukannya. Batu itu membiarkan dirinya ditarik dan jatuh. Dia akan ditarik oleh tujuannya, karena sepenuhnya dia tidak akan membiarkan segala bentuk hal yang menentang tujuannya memasuki pikirannya. Itulah aku pelajari saat aku menjadi musafir. Lalu oleh orang-orang tolol hal seperti itu akan disebut sebagai sihir, pemikat, pelet, dan seolah mereka anggap itulah keajaiban. Tidak ada keajaiban. Setiap orang mampu menampilkan sihir itu. Setiap orang mampu mencapai tujuannya, jika ia mampu berpikir, menunggu, bersabar dan berdoa.”
Kaylila mendengarkan setiap kata dari bibirnya. Dia mencintai suara Christian. Dia mencintai bagaimana Christian melepaskan pandangan matanya.
“Mungkin saja semua itu terjadi sebagaimana yang engkau katakan,” Ujar Kaylila dengan lembut, “dan, barangkali itu juga disebabkan oleh Christian, seorang pria yang begitu gagah, yang pandangannya mampu menyenangkan hati setiap wanita. Engkau benar-benar beruntung.”
Christian menatap hangat Kaylila dan bibirnya. Mereka berciuman beberapa saat. “Mudah-mudahan demikian, guruku. Mudah-mudahan pandanganku mampu menyenangkan hatimu. Mudah-mudahan akan ada banyak keberuntungan datang padaku melalui dirimu.” Sekali lagi dirinya merasakan manisnya bibir Kaylila, lalu mereka berpisah.
0 comments:
Post a Comment