Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 2, 2009

Ujung Jalan Kebahagiaan

‘Selamat siang bu. Bagaimana kabarnya hari ini? Boleh saya minta waktunya sebentar? Saya ingin menawarkan panic serba guna. Cukup satu untuk semua. Menggoreng, merebus dengan cepat atau merebus sayur tanpa air.’
Itu hanya sepenggal kalimat yang harus diucapkan Layung. Sederet kata-kata yang terus dilontarkannya demi sesuap nasi. Bahkan disaat penolakan semakin kuat menekannya. Layung tidak berkecil hati. Bagai seekor semut yang akan terus menghampiri gula, meskipun kehadirannya terasa begitu mengganggu.
Beberapa ibu terkadang tergetar pada rayuan Layung. Terusik ucapan hangat, lembut, dan sabar dari bibir kering yang menahan dahaga. Hati yang tergoda hasrat untuk bisa memiliki, atau rasa iba menatap rupa Layung yang lusuh tersiram terik mentari. Berjalan di atas sepatu hitam dari kulit murahan. Dengan tubuh letih yang tidak terisi sarapan, selain segelas air putih dari keran.
Setitik cahaya merasuk pelan ke relung Layung, saat para ibu bertanya barang dagangannya. Menanyakan fungsinya, cara pakainya, atau iseng bertanya soal bahannya. Layung mulai mengitung untung. Setidaknya akan cukup untuk makan beberapa hari. Tapi.. pecah sudah harapan Layung. Kristal indah yang baru akan terbentuk, terbanting keras dan terburai. Layung harus memendam kembali asanya. Barang dagangannya gagal terjual saat nominal disebutkan. Rp.435.000,-. Harga yang dianggap tidak masuk akal. Setidaknya ketika dibawa oleh seorang pedagang keliling. Meski bergelar sales, dengan dandanan berdasi.
Apa salahnya seorang sales? Jika mereka menipu untuk mejadi kaya, lalu dimana mobil mereka hingga mereka harus berjalan kaki? Kalau memang terlalu mahal, kenapa harga itu bisa diterima saat diletakkan di etalase sebuah toko mewah?
Tidak ada yang salah. Hidup ini keras. Layung punya hak untuk menjual sesuatu. Tapi setiap orang juga punya hak untuk menolak membelinya.

Sudah hampir dua kali matahari terbenam. Untuk dua kali itu, Layung baru memasok bahan bakar berupa nasi sekali. Itu juga hanya dibumbui bening bayam. Kertas rupiah yang dimilikinya hanya lembar seribuan. Tidak lebih dari jumlah jari satu tangannya.
Langkah kakinya terhenti di bibir pintu. Amplop coklat kecil menjadi penyambut kepulangan Layung. Alamat kost Layung tertulis di satu sisi. Di sisi lainnya tertanda pengirim dari kampung halaman. Suprapti. Sang kekasih yang selalu merindukan. Dengan lemah dan gontai, Layung masuk dalam ruang pengap berukuran 2x3. Cahaya lampu pijar seketika menerangi saat Layung memutar bolanya. Ruangan temaram itu bernuansa seperti tempat pengeraman telur. Tidak beda jauh dengan kandang ayam bapak di kampung. Sedikit air tersisa disatu-satunya gelas milik Layung. Satu tenggakan mengeringi isinya. Berpindah melalui rongga dalam leher Layung. Sedikit menebus rasa bersalah, karena membiarkan tubuhnya mengering.
Layung merebahkan tubuhnya di atas selembar tikar yang terbentang. Meletakkan kepalanya yang terasa gamang di atas bantal kapuk yang semakin menipis. Mata Layung terpejam. Dia tida terlelap. Bayangan kehidupannya melintas dalam lamunan. Layung masih mengingat jelas tangisan ibunya. Mengiba pada anak semata wayangnya untuk tidak pergi. Penuh keegoisan, Layung memutuskan menitipkan ibunya pada Suprapti. ABapak udah lama mati. Meski sebelumnya sempat kawin lagi. Harta bapak habis sama istri mudanya. Layung dan ibunya hanya ditinggali rumah kecil-yang tadinya untuk istri muda bapak-, ditambah satu petak sawah yang hampir tidak punya harapan. Kering dan jauh dari pengairan.
Sehari-hari ibu harus jadi buruh anyaman. Sesekali dapat tambahan beras kalau ada panenan, karena ibu membantu memanen dan mengeringkan padi. Hidup enak tinggal impian. Status berada jadi tiada. Angin sejuk berhenti bertiup. Hidup nyaman yang pernah dilalui Layung dan ibunya seakan hanya sebagai bunga tidur. Lenyap bersamaan datangnya fajar.
Ayam jantan berkokok, alu mulai dihentakkan. Setelah menyiapkan sarapan seadanya, ibu mulai mencari sedikit rupiah. Sedang Layung? Dia tidak siap hidup susah. Terpukul kehilangan harta bapak, setiap hari Cuma makan, tidur dan meliarkan pikirannya dalam pandangan kosong.
Satu petang kala matahari nyaris lengser ke peraduan. Saat lantunan ayat suci mulai mengalun dari surau. Wajah Layung cerah berbinar. Sorot matanya terang bersinar. Kontras dengan langit memerah yang hamper gelap. Seorang kawan datang membawa kabar. Kehidupan yang jauh lebih baik. Gaya mentereng. Tempat yang semua hal bisa jadi uang. Mobil mewah menyesaki jalan. Tempat yang seperti hutan, dimana pohonnya digantikan gedung bertingkat dan apartemen mewah. Wanita seksi dan kerlip lampu disko menjadi penghias kehidupan malam. Tanah harapan. Jakarta.
Lewat sudah dua kali lebaran. Impian saat Layung berangkat dengan kereta ekonomi dari Stasiun Lempuyangan, tinggal impian. Jakarta tidak seramah harapan Layung. Sarapan jadi sesuatu yang mahal. Pulang ke kampung mulai dilupakan. Terkubur, terhias batu nisan seiring naiknya ongkos kereta. Selama di Jakarta, baru sekali Layung mengirim kabar. Surat yang berhasil terkirim dengan bayaran dua hari puasa.

Perlahan mata Layung terbuka. Apartemen mewah sirna. Petak kecil dengan dinding mengelupas, mengelilingi Layung. Tatapannya begitu lelah. Pilihannya menjadi pekerja berdasi memang terwujud. Sayangnya bukan di dalam ruang ber-ac. Tapi di jalanan yang bercuaca labil. Satu hari panas bisa membakar. Lain hari hujan deras berangin menghiasi. Penolakan, penghinaan dan cibiran jadi pengganti wanita dan lampu disko.
Tangan kurus Layung merobek ujung amplop coklat. Sedikit gemetar Layung mengeluarkan surat di dalamnya. Selembar kertas terlipat berpindah ke tangan Layung. Sehelai daun padi yang mongering jatuh dari dalam lipatan. Lemah Layung menegakkan badannya yang semain kurus. Di luar sesekali terdengar kentungan, suara panggilan dari penjual bakmi keliling. Maghrib lewat sudah. Di kampung biasanya sudah mulai sepi. Terasa lebih tenang tanpa emosi.

Created by Robby Syahputra
Yogyakarta, November 17th, 2007

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More