Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Angelina

Pernah Angelina bersama-sama jemaah lain singgah di kebun menyenangkan milik Kaylila dulu, sang pelacur, yang telah dihadiahkan pada para yatim dan piatu. Dia mendengarkan pembicaraan tentang seorang pengayuh rakit tua yang tinggal di tepi sungai, satu hari perjalanan jauhnya. Banyak orang mengatakan orang tua itu adalah seorang filsuf. Ketika Angelina berjalan, dia memilih jalan menuju sungai itu, begitu inginnya dia melihat sang pengayuh rakit itu, karena meskipun dirinya telah memilih untuk menjalani kehidupan sesuai aturan dan juga dipandang terhormat oleh para santri muda karena usia dan kerendahan hatinya, tetap masih terdapat ketidaktenangan dalam hatinya dan segala bentuk pencariannya tidak memuaskan hatinya.
Dia tiba di sungai dan meminta kepada orang tua itu untuk menyeberangkannya. Ketika mereka sampai di tepi yang lain dan keluar dari rakit, Angelina berkata kepada orang tua itu. “Anda banyak memperlihatkan kebaikan kepada para penumpang dan orang yang melewati tempat ini. anda telah banyak menyeberangkan orang-orang suci dan baik. Bukankah anda juga seorang pencari jalan kebenaran.
Senyum mengembang dalam mata tua Christian ketika dia berkata, “Anda menyebut diri anda seorang pencari, hai orang yang pantas dihormati? Anda yang telah lanjut usia dan berbalut pakaian kehormatan?”
“Benar saya ini tua.” Kata Angelina. “Tetapi, saya tidak pernah berhenti mencari. Sepertinya begitulah nasib saya. Menurut penglihatan saya, anda pun telah mencari. Maukah anda menceeritakan sedikit tentang hal ini, saudaraku?”
Christian berkata. “Apa yang bisa saya katakan untuk anda dan akan berharga, kecuali mungkin saja anda telah mencari terlalu banyak, dan sebagai hasilnya, anda tidak menemukan.”
“Bagaimana yang anda maksud?” Tanya Angelina.
“Bila seseorang sedang mencari,” Jawab Christian, “Terjadi dengan sangat mudahnya bahwa dia hanya akan melihat hal yang sedang dia cari; bahwa dia tidak dapat memperoleh sesuatu, tidak dapat menyerap sesuatu, karena dia hanya memikirkan hal yang sedang dia cari, karena dia mempunyai tujuan, dan dia dihantui oleh tujuannya. Mencari berarti memiliki tujuan, tetapi menemukan berarti menjadi bebas, menjadi mau menerima, menjadi tidak mempunyai tujuan. Anda seorang yang terhormat, barangkali benar seorang pencari, karena dalam berusaha keras mencapai tujuan anda, anda seringkali tidak melihat banyak hal yang ada di bawah hidung anda.”
“Saya masih belum mengerti.” Kata Angelina. “Bagaimana maksud anda?”
Christian berkata. “Dulu, seorang yang terhormat, bertahun-tahun yang lalu, datang ke sungai ini dan menjumpai seorang pria sedang tidur di sana.” Tangannya menunjuk dengan gemulai pada sebatang pohon. “Orang itu duduk di sisinya dan menjaganya ketika dia sedang tertidur, tetapi orang itu tidak mengenali orang yang sedang tidur itu, Angelina.”
Terheran-heran dan seperti orang yang terpesona, wanita itu memandang sang pengayuh.
“Apakah anda, Christian?” Tanya Angelina dengan suara malu-malu. “Aku tidak mengenal engkau sekarang ini juga. Aku sangat senang melihat engkau lagi, Christian, sangat senang. Engkau telah banyak berubah, sahabatku. Dan, sudahkah engkau menjadi seorang pengayuh sekarang?”
Christian tertawa hangat. “Ya, aku sudah menjadi seorang pengayuh. Banyak orang telah banyak berubah dan mengenakan berbagai macam pakaian. Aku salah satu dari mereka, sahabatku. Selamat datang, Angelina, dan aku mengundangmu untuk bermalam di gubukku.”
Angelina bermalam di gubuk itu dan tidur di tempat tidur yang dulu digunakan Ahmad. Dia banyak bertanya kepada teman masa mudanya, dan Christian banyak sekali menuturkan perihal kehidupannya.
Ketika tiba waktunya bagi Angelina untuk berangkat pada keesokan harinya, dia berkata dengan agak ragu-ragu. “Sebelum aku melanjutkan perjalananku, Christian, aku ingin menanyakan satu pertanyaan lagi kepadamu. Apakah engkau mempunyai ajaran keyakinan atau pengetahuan yang engkau junjung tinggi, yang membantu engkau untuk hidup dan berbuat benar? Atau, mungkin engkau berkehendak untuk mengikutiku menjadi muslim dan memeluk Islam. Namaku kini adalah Aisyah.”
Christian tersenyum dengan lembut. “Engkau tahu, sahabatku, bahwa sebagai orang muda sekalipun, ketika kita hidup bersama dengan para musafir, aku tidak mempercayai ajaran dan guru, dan aku berpaling dari ajaran guru-guru itu. Aku masih terus memiliki pikiran yang bertolak belakang, meskipun sejak waktu itu aku telah memiliki banyak guru. Lama sekali seorang pelacur yang cantik menjadi guruku, seperti halnya seorang pedagang dan juga pemain dadu. Pada satu kesempatan seorang muslim yang berjalan juga adalah guruku. Dia dalam perjalanannya, berhenti dan duduk di sisiku ketika aku tertidur di tepi sungai. Aku juga belajar sesuatu dari dirinya dan aku sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi dari semua itu, aku telah belajar dari sungai ini dan dari pendahuluku, Ahmad. Dia seorang yang sederhana, dia bukanlah pemikir, tetapi dia menyadari sifat-sifat dasar sebaik Kyai Bahdarudin Syamawi. Bagiku dia adalah seorang yang suci.”
Aisyah berkata. “Kelihatannya, Christian, engkau masih suka berolok-olok sedikit. Aku percaya dan yakin bahwa engkau tidak mengikuti guru siapa pun, tetapi seandainya bukan suatu ajaran atau pikiran-pikiran tertentu, bukankah itu berarti anda mengikuti diri anda sendiri? Bukankah berarti engkau telah menemukan pengetahuan-pengetahuan tertentu? Aku akan sangat senang seandainya engkau mau mengatakan sesuatu tentang hal ini.”
Christian menjawab. “Mengapa keyakinan yang engkau pegang dinamakan Islam? Sama halnya dengan Kristen, Budha, Hindu ataupun Paganisme. Itu hanyalah bentuk-bentuk penamaan dari suatu kepercayaan. Apakah inti dari seluruh kepercayaan itu? Menyadari hakikat manusia sebagai hamba dan adanya Tuhan sebagai pencipta. Sama halnya dengan engkau Angelina. Apa yang berubah ketika engkau menjadi Aisyah? Apakah tertulis dalam firman-firman Tuhanmu, atau dalam hukum-hukum agamamu yang melarang engkau menjadi muslim dengan nama Angelina? Apa yang engkau cari dengan menjadi seorang muslim? Apa yang engkau dapatkan setelah menjadi seorang muslim? Hingga hari ini engkau yang masih terus gelisah dan merasa belum menemukan yang engkau cari, sahabatku. Ya, aku telah memiliki pikiran-pikiran dan pengetahuan. Terkadang selama satu jam atau satu hari, aku telah menerima sebentuk pengetahuan, sama seperti halnya orang yang merasakan hidup dengan hatinya. Aku telah memiliki banyak sekali pemikiran, tetapi akan sulit bagiku menuturkan kepadamu tentang pikiran-pikiran itu. Tetapi, inilah salah satu pikiran yang mengesankanku, Aisyah. Kebijaksanaan tidaklah dapat dikomunikasikan. Kebijaksanaan yang oleh orang bijak berusaha untuk dikomunikasikan selalu kedengaran tolol.”
“Apakah engkau sedang menghinaku, Christian?”
“Tidak. Aku mengatakan apa yang aku ketahui. Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tetapi tidak sama halnya dengan kebijaksanaan. Seseorang dapat menemukan, hidup dengannya, dibentengi olehnya, dan melakukan pikiran-pikiran indah dengannya, tetapi mereka tidak dapat mengkomunikasikan dan mengajarkannya. Aku yang telah mencurigai hal ini ketika aku masih muda, mendorong diriku untuk meninggalkan guru-guru itu. Ada satu pikiran yang aku miliki, Aisyah, yang akan engkau anggap sebagai olokan atau ketololan; yakni di dalam setiap kebenaran, lawannya adalah kebenaran yang sama. Misalnya, sebuah kebenaran hanya akan dapat dibungkus dan dinyatakan dalam kata-kata seandainya kebenaran itu hanya satu sisi. Sesuatu yang hanya dipikirkan dan dinyatakan dalam kata-kata adalah satu sisi, hanya setengah kebenaran saja; kebenaran itu sendiri menjadi kekurangan keseluruhan, kelengkapan, kesatuan. Bagaimana dengan Kyai Bhadarudin Syamawi, atau Rasul yang engkau kenal dengan nama Muhammad, mereka juga pasti mengalami kesengsaraan dan keadaan terburuk, menyelam ke dalam bentuk-bentukan kebenaran, mengetahui pendeeritaan sehingga mengerti keselamatan. Orang tidak dapat berbuat sebaliknya, karena memang tidak ada metode lainnya untuk mengajar. Tetapi, dunia itu sendiri tidak pernah menjadi satu sisi, karena tidak pernah sepenuhnya seseorang mengalami penderitaan atau sepenuhnya kebahagiaan. Tidak pernah seseorang itu sepenuhnya suci dan sepenuhnya pendosa. Hanya kelihatannya saja seperti itu, karena kita telah menderita oleh khayalan yang menganggap waktu itu adalah nyata. Waktu itu tidaklah nyata, Aisyah. Waktu itu adalah saat ini bukan kemarin atau nanti. Waktu itu tidak nyata, Aisyah. Aku telah menyadarinya berulang kali. Dan jika waktu itu tidaklah nyata, maka garis pemisah yang tampaknya terbentang antara dunia ini dan keabadian, antara penderitaan dan kebahagiaan, atau di antara baik dan jahat, juga tidaklah nyata.”
“Bagaimanakah itu?” Tanya Aisyah penuh kebingungan.
“Dengarlah, sahabatku. Apakah engkau menjadi baik jika engkau berbuat baik kemarin, lalu hari ini mati saat menjadi pendosa? Apakah engkau menjadi jahat jika engkau sekarang berbuat baik, lalu kemudian mati, padahal engkau berencana membunuh nanti?” Tanya Christian, lalu meneruskan tanpa menunggu jawaban sahabatnya. “Aku adalah orang berdosa, dan engkau pun orang berdosa. Tetapi suatu hari orang berdosa ini bisa menjadi orang suci lagi, suatu hari akan masuk surga, suatu hari akan menjadi penghuni Surga bersama para malaikat. Sekarang, “suatu hari” itu adalah khayalan; karena itu hanya sebuah perbandingan. Sang pendosa tidak sedang berada pada jalan yang berlimpah cahaya Tuhan, dia tidak sedang berusaha bertobat, meskipun sebenarnya pikiran kita tidak dapat memahami hal-hal sebaliknya. Tidak! Tuhan telah ada dalam diri setiap manusia, telah ada dalam diri para pendosa, masa depannya telah ada di sana. Tuhan yang berada dalam diri itu harus dikenali, dalam dirimu, dalam setiap orang. Dunia ini bukanlah tidak sempurna, atau sedang berjalan secara bertahap menuju kesempurnaan. Tidak! Dunia ini sempurna di setiap saatnya, dan setiap dosa telah membentuk keanggunan di dalamnya. Bagaimana engkau akan mempelajari sesuatu itu baik dan berlimpah pahala, jika tidak ada bentukan dosa yang akan menggugurkannya. Semua anak akan mempunyai potensi menjadi orang tua, semua orang sekarat atau pun sehat memiliki kematian di dalam diri mereka. Tidaklah memungkinkan bagi satu orang untuk melihat berapa jauh orang lain telah berjalan. Tuhan ada dalam setiap orang, ada dalam orang suci, dalam diri perampok, penjudi. Dalam hati setiap diri, selama meyakini dengan sungguh-sungguh, manusia akan dapat menghalau waktu, melihat segala kesalahan dan kebaikan masa lalu secara serentak, dan bagaimana menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik, segala sesuatu menjadi lebih sempurna, dan segala sesuatu berdasarkan cinta pada Tuhan. Aku yang telah belajar melalui tubuhku dan jiwaku, bahwa dosa yang telah kuperbuat, melalui air pahit, perjudian dan segala bentuk percabulan. Aku yang telah berusaha keras untuk mendapatkan kekayaan, dan mengalami kemuakan dan keuputusasaan luar biasa supaya dapat belajar untuk dapat melawan semua itu, supaya aku dapat belajar mencintai Tuhan dan tidak lagi tenggelam dalam dunia khayalan. Tidak sekedar sedikit membayangkannya, tetapi meninggalkannya seperti apa adanya. Tidak merubahnya dan membiarkannya berlalu, karena itu adalah bentukan dari hidup yang tidak akan kekal. Sesuatu yang diciptakan akan binasa. Semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan. Mencintai sesuatu yang ada di dunia secara berlebihan akan berakhir dengan kebinasaan. Aisyah, itu semua adalah beberapa gagasan yang ada di dalam benakku.”
Christian membungkuk, mengambil sebuah batu dari tanah dan menggenggamnya.
“Ini.” Katanya dengan menggenggam batu itu. “Adalah sebutir batu, dalam waktu tertentu, batu ini mungkin akan menjadi tanah, dan dari tanah akan menjadi tanaman. Sebelumnya aku akan mengatakan bahwa batu ini adalah batu, hanyalah batu. Batu ini tidak berharga, batu ini adalah milik dunia ketidakabadian, tetapi karena dalam waktu batu ini dapat menjadi sesuatu yang lain, hal itu menjadi penting. Itulah yang seharusnya dipikirkan. Tetapi, sekarang cobalah berpikir seperti ini; batu adalah batu, batu juga adalah tanaman. Batu adalah satu benda yang akan menjadi sesuatu yang lain, hingga suatu saat batu akan menjadi sesuatu dan selalu adalah sesuatu. Aku tidak mencintainya dan aku tidak menghormatinya. Aku hanyalah sekedar menyukainya, karena hari ini dan sekarang batu itu muncul di depanku hanya sebagai batu, dan jika suatu hari kelak dia berubah, belum menjadi suatu kepastian aku akan menyukainya. Aku hanya melihat nilai dan arti di dalam tiap-tiap benda, dari tanda-tandanya dan rongganya yang bagus, kuning, biru, abu-abu, kekerasan atau pun kelembutan permukaannya. Ada banyak benda yang terasa lembut atau pun kasar, yang terasa seperti pasir ataupun daun, dan setiap benda itu akan terus bertasbih untuk Tuhan. Namun, pada waktu yang sama, batu tetaplah batu, meskipun ia akan terasa seperti pasir atau pun daun, itulah yang terasa menyenangkan diri dan tampaknya indah dan berharga untuk dipuja. Cukup, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang batu. Kata-kata sepenuhnya tidak akan dapat menggambarkan pikiran dengan baik. Kata-kata itu selalu mejadi sedikit berbeda segera setelah dinyatakan, menjadi sedikit berubah, sedikit bodoh. Dan, itulah yang menjadi sifat setiap benda di dunia, sesuatu yang menyenangkan hatiku, sesuatu yang terlihat berharga dan bijaksana bagiku, bisa saja menjadi omong kosong bagi orang lain.”
Aisyah mendengarkan dengan diam.
“Mengapa engkau menuturkan tentang batu pada diriku?” Tanya Aisyah dengan ragu-ragu setelah beberapa saat.
“Aku menuturkannya begitu saja, tanpa disengaja. Lihatlah bagaimana setiap orang begitu mencintai batu, sungai dan benda-benda yang terlihat. Aku dapat mencintai batu, Aisyah, dan juga sebatang pohon atau seorang wanita. Semua itu adalah benda, Aisyah, dan orang-orang selalu mencintai benda-benda. Tetapi orang tidak dapat mencintai sesuatu yang tidak terlihat. Sesuatu yang tidak terlihat itu tidak memiliki apa-apa selain kata-kata. Dan, orang-orang tidak bisa mencintai kata-kata dengan sepenuh hati. Kata-kata tidak memiliki kekerasan, tidak memiliki kelembutan, tidak memiliki warna, tidak memiliki sudut, tidak berasa dan tidak berbau. Itulah yang menghalangi dirimu dari menemukan kedamaian, seperti engkau memahami ajaran Tuhan hanya melalui kata-kata. Terlalu banyak kata dalam benakmu, sehingga menghalangi dirimu dari menemukan Tuhan dalam dirimu. Tuhan dan kedamaian adalah bentuk dari kata-kata bagimu Aisyah. Surga bukanlah benda. Hanya ada kata Surga.”
Aisyah membantah, “Surga bukan hanya kata, sahabatku. Surga adalah sebuah kenyataan.”
Christian melanjutkan, “Mungkin itu merupakan kenyataan, tetapi bagaimana engkau membuktikan kenyataan jika hanya dari kata-kata? Secara jujur, engkau tidak bisa mengikat diri pada kepentingan kenyataan itu. Engkau akan lebih bisa menyatakan kenyataan pada apa yang engkau lihat daripada yang engkau dengar. Misalnya engkau mendengar ada seorang pengayuh rakit tua di sungai ini, yang katanya bijaksana dan arif. Lalu, engkau mendengar ada seorang nabi di atas langit yang akan menyelamatkan dirimu dari siksaan neraka. Manakah yang akan engkau percayai?”
Christian melihat wajah Aisyah yang berpikir, lalu melanjutkan. “Ada seorang pria yang dulu menjadi guruku. Seorang pengayuh rakit yang begitu bijaksana. Dia yang belajar dari sungai, mendengarkan suara sungai yang berbicara kepadanya. Baginya sungai adalah guru baginya, dan selama itu dia tidak mengetahui bahwa setiap angin, setiap awan, setiap burung, sama hebatnya dan mengetahui dan bisa mengajarkannya seperti sungai. Tetapi, sesungguhnya saat dirinya menutup matanya dengan tenang, aku menyadari sepenuhnya bahwa dirinya telah mengetahui lebih banyak hal dari diriku mau pun dirimu, tanpa guru, tanpa buku, hanya karena dia yakin Tuhan telah memberikan ajaran terbaik baginya melalui sungai.”
Aisyah berkata, “Tetapi apakah yang engkau sebut benda itu sesuatu yang nyata, sesuatu yang hakiki? Itu bukanlah bayangan maya, hanya citra dan penampilan? Batumu, pohonmu, apakah semua itu nyata?”
“Itu juga tidak menyusahkan diriku.” Jawab Christian. “Jika semua itu hanyalah bayangan, lalu aku pun adalah bayangan. Semua itu akan selalu bersifat sama dengan diriku. Itulah yang membuat diriku hanya akan menyukainya. Sesuatu yang tidak pantas untuk begitu dicintai atau pun dimuliakan. Dan itulah pemahaman yang seharusnya tidak ditertawakan. Terlihat dalam di mataku, Aisyah, bahwa cinta adalah hal terpenting di dunia ini. cinta yang bagi kebanyakan orang hanya menjadi alat penguji, untuk menerangkan dan menghinakan. Yang terpenting adalah bentuk pemahamannnya untuk bisa menghargai segala kehidupan di dunia dan kita sendiri, dan semua makhluk dan benda dengan cinta, dan hormat.”
“Aku mengerti itu. “ Kata Aisyah. “Tetapi, itulah yang dikatakan oleh Kyai Bahdarudin Syamawi sebagai bayangan. Dia mengajarkan tentang kebajikan, cara menahan nafsu, simpati dan kesabaran, tetapi bukan cinta.”
“Aku tahu hal itu, Aisyah.” Kata Christian dengan senyum berseri-seri dan hangat. “Aku tahu itu, dan di sini kita telah menemukan diri kita berada dalam jaringan makna yang terlilit rumit, berada dalam pertikaian kata-kata, karena aku tidak akan menolak bahwa kata-kataku tentang cinta dalam kontradiksi yang nyata terhadap ajaran Kyai Bhadarudin Syamawi. Itulah yang menjadi sebab aku tidak terlalu banyak mempercayai kata-kata bahwa kontradiksi ini adalah sebuah bayangan. Aku tahu pada suatu kali aku bersama Kyai Bahdarudin Syamawi. Tentu saja, bagaimana dia tidak akan mengatakan tentang cinta, dia yang telah mengenal segala kesia-siaan manusia dan kefanaannya. Manusia yang begitu mencintai manusia dan kebendaan karena Tuhan hingga mengabdikan seluruh hayatnya semata-mata untuk kecintaannya itu. Bersama guru besar ini, engkau lebih melihat kata-kata ketimbang apa yang diperbuatnya. Bagiku, perbuatan dan kehidupannya lebih penting daripada segala ucapannya. Gerakannya lebih penting bagiku ketimbang pendapat-pendapatnya. Aku tidak melihatnya sebagai orang besar melalui pembicaraan maupun pemikirannya, tetapi dalam perbuatan dan hidupnya.”
Dua orang itu terdiam cukup lama. Kemudian ketika Aisyah bersiap-siap untuk pergi, ia berkata. “Terima kasih Christian, atas penuturanmu tentang sesuatu yang terkandung dalam pikiran-pikiranmu. Beberapa di antaranya merupakan pikiran-pikiran baru. Aku tidak dapat menangkap gagasan itu dengan segera, namun aku berterima kasih, dan kudoakan semoga engkau lewatkan hari-hari penuh damai.”
Namun, dalam batinya yang terdalam dia berpikir, Christian adalah orang aneh, dan menyatakan pikiran-pikiran aneh. Gagasan-gagasannya rasanya gila. Betapa bedanya dengan yang telah diajarkan oleh Kyai Bahdarudin Syamawi; ajaran-ajaran yang jelas, terus terang, dapat dipahami, ajaran-ajaran yang tidak mengandung sesuatu yang aneh, liar dan dapat ditertawakan. Tetapi, tangan dan kaki Christian, matanya, alisnya, napasnya, senyumnya, hormatnya, dan gaya berjalannya berbeda dengan dampak dari pemahaman pikiran-pikirannya. Sejak meninggalnya Kyai Bahdarudin Syamawi, belum pernah aku bertemu dengan yang memiliki kekecualian seperti Christian. Inilah orang suci. Gagasan-gagasannya boleh saja terdengar aneh, kata-katanya boleh saja terdengar tolol, tetapi pandangan dan tangannya, kulit dan rambutnya, semua memancarkan kelembutan dan kesucian yang murni, damai dan tenang yang belum pernah kulihat pada orang lain semenjak kematian guru yang terkenal itu.
Ketika Aisyah sedang memikirkan hal itu, timbul konflik dalam hatinya. Dia membungkuk kembali pada Christian, penuh kecintaan kepadanya. Dia membungkuk rendah sekali di depan pria yang duduk dengan tenangnya.
“Christian.” Katanya. “Kini kita adalah orang-orang tua. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi dalam hidup ini. aku dapat melihat, sahabatku terkasih, bahwa engkau telah menemukan kedamaian. Aku sadar belum menemukannya. Katakan sepatah kata lagi padaku, temanku yang mulia, katakan sesuatu yang bisa kupahami, sesuatu yang dapat kumengerti. Berilah aku sesuatu untuk menolongku meneruskan perjalanan ini, Christian. Jalanku sering terasa gelap dan keras.”
Christian melihatnya dan tersenyum.
“Tunduklah di dekatku.” Dia berbisik pada Aisyah. “Mari, lebih dekatlah, lebih dekat lagi. Tataplah dalam-dalam mataku, Aisyah.”
Meskipun terperanjat, Aisyah didorong oleh cinta dan firasat yang besar untuk mengikutinya. Dia menunduk dekat sekali kepadanya dan menatap dalam kedua mata Christian. Ketika dia melakukannya, sesuatu yang indah terjadi padanya. Selagi dia masih merasa bingung dengan kata-kata Christian yang aneh itu, selagi dia berusaha keras tetapi sia-sia untuk menghalau gambaran waktu, untuk membayangkan tentang menyatukan kebahagiaan dan kesengsaraan, sesuatu bergejolak dalam dirinya terhadap kata-kata sahabatnya dengan cinta yang sangat besar dan penghargaan kepadanya, semua hal ini terjadi padanya.
Dia tidak lagi melihat wajah Christian. Sebaliknya dia melihat wajah-wajah lain, banyak wajah, suatu rangkaian panjang, suatu aliran wajah terus-menerus – ratusan, ribuan, kesemuanya datang dan menghilang dan semuanya terlihat berbeda pada saat yang bersamaan. Semuanya berubah secara terus-menerus, dan kesemuanya adalah satu. Dia melihat wajah bayi yang baru lahir, merah dan penuh dengan kerut merut, siap untuk menangis. Dia melihat tubuh-tubuh telanjang wanita dan seorang pria dalam posisi yang menggairahkan. Dia melihat dirinya dan pria. Dia melihat semua bentuk dan wajah itu saling mengait dalam seribu hubungan, semua saling mencinta, membenci, dan saling menghancurkan. Masing-masing adalah makhluk hidup, dan bernafsu. Contoh yang menyakitkan dari semua kefanaan. Tidak ada rasa dan kebijaksanaan. Mereka semua berubah, terus-menerus menjadi wajah baru. Hanya waktu saja berdiri di antara satu wajah dan wajah lainnya. Dan, semua wajah serta bentuk ini beristirahat, mengalir, merenangi masa lalu dan melebur satu dengan lainnya. Di atas mereka semua ada sesuatu yang secara terus-menerus kurus, tidak nyata namun ada, terbentang seperti kaca atau es, seperti kulit yang tembus pandang, seperti bentuk topeng air, dan topeng itu adalah wajah tersenyum Christian yang dilihat dalam mata Christian. Dan, Aisyah melihat senyum seperti topeng itu, senyum kesatuan atas bentuk-bentuk yang mengalir, senyum kesatuan di atas ribuan kelahiran dan kematian, senyum milik Christian, benar-benar terlihat sama seperti senyum Kyai Bahdarudin Syamawi yang tenang dan lembut. Yang tidak dapat ditelusuri. Bijaksana, dan lipat seribu. Seakan dia merasakannya dengan perasaan terpesona ribuan kali.
Dalam sikap itulah Aisyah menyadari, bahwa sahabat terkasihnya tidak lagi mengetahui apakah waktu itu ada. Ada keinginan yang kuat mendorongnya lebih mendekat, keinginannya untuk merasakan senyuman sahabatnya dengan bibirnya. Dirinya terlukai dalam-dalam oleh panah ketuhanan yang memberikan kesenangan padanya, terpesona dalam-dalam. Dia merasa sahabatnya telah dimuliakan, kesadaran akan hal ini membuatnya mengurungkan niat dan memundurkan dirinya. Aisyah berdiri sejenak dan membungkuk di hadapan wajah Christian yang damai, yang baru saja terlihat seperti panggung semua bentuk masa lalu dan masa kini. Wajahnya tidak berubah sesudah kaca seribu bentuk itu lenyap dari permukaan. Dengan damai dan lembut dia tersenyum, mungkin dengan sangat ramah, persis seperti senyum yang telah menemukan penerangan sempurna dalam dirinya.
Aisyah membungkuk rendah sekali. Air mata yang tidak dapat dikuasainya bergulir di wajah tuanya. Dia dikuasai oleh perasaan cinta agung, pemujaan yang paling sederhana. Dia rendah membungkuk, tepat di atas tanah, hingga bersujud, di depan pria yang sedang duduk tanpa bergerak, yang senyumannya mengingatkannya pada segala sesuatua yang pernah dia cintai dalam hidupnya, pada segala sesuatu yang sangat berharga dan suci di dalam hidupnya. Hingga pada kesadaran terdalamnya bahwa selama ini dia hanya mencari makna kedamaian, hingga dia melupakan tentang Tuhan yang selalu bersama dirinya.

Rumah kontrakan
11 Mei 2009, 23:30 WIB
Alhamdulillah

Syair Cinta Putra Pelacur
Roby Syahputra

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More