Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Angelina

Pernah Angelina bersama-sama jemaah lain singgah di kebun menyenangkan milik Kaylila dulu, sang pelacur, yang telah dihadiahkan pada para yatim dan piatu. Dia mendengarkan pembicaraan tentang seorang pengayuh rakit tua yang tinggal di tepi sungai, satu hari perjalanan jauhnya. Banyak orang mengatakan orang tua itu adalah seorang filsuf. Ketika Angelina berjalan, dia memilih jalan menuju sungai itu, begitu inginnya dia melihat sang pengayuh rakit itu, karena meskipun dirinya telah memilih untuk menjalani kehidupan sesuai aturan dan juga dipandang terhormat oleh para santri muda karena usia dan kerendahan hatinya, tetap masih terdapat ketidaktenangan dalam hatinya dan segala bentuk pencariannya tidak memuaskan hatinya.
Dia tiba di sungai dan meminta kepada orang tua itu untuk menyeberangkannya. Ketika mereka sampai di tepi yang lain dan keluar dari rakit, Angelina berkata kepada orang tua itu. “Anda banyak memperlihatkan kebaikan kepada para penumpang dan orang yang melewati tempat ini. anda telah banyak menyeberangkan orang-orang suci dan baik. Bukankah anda juga seorang pencari jalan kebenaran.
Senyum mengembang dalam mata tua Christian ketika dia berkata, “Anda menyebut diri anda seorang pencari, hai orang yang pantas dihormati? Anda yang telah lanjut usia dan berbalut pakaian kehormatan?”
“Benar saya ini tua.” Kata Angelina. “Tetapi, saya tidak pernah berhenti mencari. Sepertinya begitulah nasib saya. Menurut penglihatan saya, anda pun telah mencari. Maukah anda menceeritakan sedikit tentang hal ini, saudaraku?”
Christian berkata. “Apa yang bisa saya katakan untuk anda dan akan berharga, kecuali mungkin saja anda telah mencari terlalu banyak, dan sebagai hasilnya, anda tidak menemukan.”
“Bagaimana yang anda maksud?” Tanya Angelina.
“Bila seseorang sedang mencari,” Jawab Christian, “Terjadi dengan sangat mudahnya bahwa dia hanya akan melihat hal yang sedang dia cari; bahwa dia tidak dapat memperoleh sesuatu, tidak dapat menyerap sesuatu, karena dia hanya memikirkan hal yang sedang dia cari, karena dia mempunyai tujuan, dan dia dihantui oleh tujuannya. Mencari berarti memiliki tujuan, tetapi menemukan berarti menjadi bebas, menjadi mau menerima, menjadi tidak mempunyai tujuan. Anda seorang yang terhormat, barangkali benar seorang pencari, karena dalam berusaha keras mencapai tujuan anda, anda seringkali tidak melihat banyak hal yang ada di bawah hidung anda.”
“Saya masih belum mengerti.” Kata Angelina. “Bagaimana maksud anda?”
Christian berkata. “Dulu, seorang yang terhormat, bertahun-tahun yang lalu, datang ke sungai ini dan menjumpai seorang pria sedang tidur di sana.” Tangannya menunjuk dengan gemulai pada sebatang pohon. “Orang itu duduk di sisinya dan menjaganya ketika dia sedang tertidur, tetapi orang itu tidak mengenali orang yang sedang tidur itu, Angelina.”
Terheran-heran dan seperti orang yang terpesona, wanita itu memandang sang pengayuh.
“Apakah anda, Christian?” Tanya Angelina dengan suara malu-malu. “Aku tidak mengenal engkau sekarang ini juga. Aku sangat senang melihat engkau lagi, Christian, sangat senang. Engkau telah banyak berubah, sahabatku. Dan, sudahkah engkau menjadi seorang pengayuh sekarang?”
Christian tertawa hangat. “Ya, aku sudah menjadi seorang pengayuh. Banyak orang telah banyak berubah dan mengenakan berbagai macam pakaian. Aku salah satu dari mereka, sahabatku. Selamat datang, Angelina, dan aku mengundangmu untuk bermalam di gubukku.”
Angelina bermalam di gubuk itu dan tidur di tempat tidur yang dulu digunakan Ahmad. Dia banyak bertanya kepada teman masa mudanya, dan Christian banyak sekali menuturkan perihal kehidupannya.
Ketika tiba waktunya bagi Angelina untuk berangkat pada keesokan harinya, dia berkata dengan agak ragu-ragu. “Sebelum aku melanjutkan perjalananku, Christian, aku ingin menanyakan satu pertanyaan lagi kepadamu. Apakah engkau mempunyai ajaran keyakinan atau pengetahuan yang engkau junjung tinggi, yang membantu engkau untuk hidup dan berbuat benar? Atau, mungkin engkau berkehendak untuk mengikutiku menjadi muslim dan memeluk Islam. Namaku kini adalah Aisyah.”
Christian tersenyum dengan lembut. “Engkau tahu, sahabatku, bahwa sebagai orang muda sekalipun, ketika kita hidup bersama dengan para musafir, aku tidak mempercayai ajaran dan guru, dan aku berpaling dari ajaran guru-guru itu. Aku masih terus memiliki pikiran yang bertolak belakang, meskipun sejak waktu itu aku telah memiliki banyak guru. Lama sekali seorang pelacur yang cantik menjadi guruku, seperti halnya seorang pedagang dan juga pemain dadu. Pada satu kesempatan seorang muslim yang berjalan juga adalah guruku. Dia dalam perjalanannya, berhenti dan duduk di sisiku ketika aku tertidur di tepi sungai. Aku juga belajar sesuatu dari dirinya dan aku sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi dari semua itu, aku telah belajar dari sungai ini dan dari pendahuluku, Ahmad. Dia seorang yang sederhana, dia bukanlah pemikir, tetapi dia menyadari sifat-sifat dasar sebaik Kyai Bahdarudin Syamawi. Bagiku dia adalah seorang yang suci.”
Aisyah berkata. “Kelihatannya, Christian, engkau masih suka berolok-olok sedikit. Aku percaya dan yakin bahwa engkau tidak mengikuti guru siapa pun, tetapi seandainya bukan suatu ajaran atau pikiran-pikiran tertentu, bukankah itu berarti anda mengikuti diri anda sendiri? Bukankah berarti engkau telah menemukan pengetahuan-pengetahuan tertentu? Aku akan sangat senang seandainya engkau mau mengatakan sesuatu tentang hal ini.”
Christian menjawab. “Mengapa keyakinan yang engkau pegang dinamakan Islam? Sama halnya dengan Kristen, Budha, Hindu ataupun Paganisme. Itu hanyalah bentuk-bentuk penamaan dari suatu kepercayaan. Apakah inti dari seluruh kepercayaan itu? Menyadari hakikat manusia sebagai hamba dan adanya Tuhan sebagai pencipta. Sama halnya dengan engkau Angelina. Apa yang berubah ketika engkau menjadi Aisyah? Apakah tertulis dalam firman-firman Tuhanmu, atau dalam hukum-hukum agamamu yang melarang engkau menjadi muslim dengan nama Angelina? Apa yang engkau cari dengan menjadi seorang muslim? Apa yang engkau dapatkan setelah menjadi seorang muslim? Hingga hari ini engkau yang masih terus gelisah dan merasa belum menemukan yang engkau cari, sahabatku. Ya, aku telah memiliki pikiran-pikiran dan pengetahuan. Terkadang selama satu jam atau satu hari, aku telah menerima sebentuk pengetahuan, sama seperti halnya orang yang merasakan hidup dengan hatinya. Aku telah memiliki banyak sekali pemikiran, tetapi akan sulit bagiku menuturkan kepadamu tentang pikiran-pikiran itu. Tetapi, inilah salah satu pikiran yang mengesankanku, Aisyah. Kebijaksanaan tidaklah dapat dikomunikasikan. Kebijaksanaan yang oleh orang bijak berusaha untuk dikomunikasikan selalu kedengaran tolol.”
“Apakah engkau sedang menghinaku, Christian?”
“Tidak. Aku mengatakan apa yang aku ketahui. Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tetapi tidak sama halnya dengan kebijaksanaan. Seseorang dapat menemukan, hidup dengannya, dibentengi olehnya, dan melakukan pikiran-pikiran indah dengannya, tetapi mereka tidak dapat mengkomunikasikan dan mengajarkannya. Aku yang telah mencurigai hal ini ketika aku masih muda, mendorong diriku untuk meninggalkan guru-guru itu. Ada satu pikiran yang aku miliki, Aisyah, yang akan engkau anggap sebagai olokan atau ketololan; yakni di dalam setiap kebenaran, lawannya adalah kebenaran yang sama. Misalnya, sebuah kebenaran hanya akan dapat dibungkus dan dinyatakan dalam kata-kata seandainya kebenaran itu hanya satu sisi. Sesuatu yang hanya dipikirkan dan dinyatakan dalam kata-kata adalah satu sisi, hanya setengah kebenaran saja; kebenaran itu sendiri menjadi kekurangan keseluruhan, kelengkapan, kesatuan. Bagaimana dengan Kyai Bhadarudin Syamawi, atau Rasul yang engkau kenal dengan nama Muhammad, mereka juga pasti mengalami kesengsaraan dan keadaan terburuk, menyelam ke dalam bentuk-bentukan kebenaran, mengetahui pendeeritaan sehingga mengerti keselamatan. Orang tidak dapat berbuat sebaliknya, karena memang tidak ada metode lainnya untuk mengajar. Tetapi, dunia itu sendiri tidak pernah menjadi satu sisi, karena tidak pernah sepenuhnya seseorang mengalami penderitaan atau sepenuhnya kebahagiaan. Tidak pernah seseorang itu sepenuhnya suci dan sepenuhnya pendosa. Hanya kelihatannya saja seperti itu, karena kita telah menderita oleh khayalan yang menganggap waktu itu adalah nyata. Waktu itu tidaklah nyata, Aisyah. Waktu itu adalah saat ini bukan kemarin atau nanti. Waktu itu tidak nyata, Aisyah. Aku telah menyadarinya berulang kali. Dan jika waktu itu tidaklah nyata, maka garis pemisah yang tampaknya terbentang antara dunia ini dan keabadian, antara penderitaan dan kebahagiaan, atau di antara baik dan jahat, juga tidaklah nyata.”
“Bagaimanakah itu?” Tanya Aisyah penuh kebingungan.
“Dengarlah, sahabatku. Apakah engkau menjadi baik jika engkau berbuat baik kemarin, lalu hari ini mati saat menjadi pendosa? Apakah engkau menjadi jahat jika engkau sekarang berbuat baik, lalu kemudian mati, padahal engkau berencana membunuh nanti?” Tanya Christian, lalu meneruskan tanpa menunggu jawaban sahabatnya. “Aku adalah orang berdosa, dan engkau pun orang berdosa. Tetapi suatu hari orang berdosa ini bisa menjadi orang suci lagi, suatu hari akan masuk surga, suatu hari akan menjadi penghuni Surga bersama para malaikat. Sekarang, “suatu hari” itu adalah khayalan; karena itu hanya sebuah perbandingan. Sang pendosa tidak sedang berada pada jalan yang berlimpah cahaya Tuhan, dia tidak sedang berusaha bertobat, meskipun sebenarnya pikiran kita tidak dapat memahami hal-hal sebaliknya. Tidak! Tuhan telah ada dalam diri setiap manusia, telah ada dalam diri para pendosa, masa depannya telah ada di sana. Tuhan yang berada dalam diri itu harus dikenali, dalam dirimu, dalam setiap orang. Dunia ini bukanlah tidak sempurna, atau sedang berjalan secara bertahap menuju kesempurnaan. Tidak! Dunia ini sempurna di setiap saatnya, dan setiap dosa telah membentuk keanggunan di dalamnya. Bagaimana engkau akan mempelajari sesuatu itu baik dan berlimpah pahala, jika tidak ada bentukan dosa yang akan menggugurkannya. Semua anak akan mempunyai potensi menjadi orang tua, semua orang sekarat atau pun sehat memiliki kematian di dalam diri mereka. Tidaklah memungkinkan bagi satu orang untuk melihat berapa jauh orang lain telah berjalan. Tuhan ada dalam setiap orang, ada dalam orang suci, dalam diri perampok, penjudi. Dalam hati setiap diri, selama meyakini dengan sungguh-sungguh, manusia akan dapat menghalau waktu, melihat segala kesalahan dan kebaikan masa lalu secara serentak, dan bagaimana menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik, segala sesuatu menjadi lebih sempurna, dan segala sesuatu berdasarkan cinta pada Tuhan. Aku yang telah belajar melalui tubuhku dan jiwaku, bahwa dosa yang telah kuperbuat, melalui air pahit, perjudian dan segala bentuk percabulan. Aku yang telah berusaha keras untuk mendapatkan kekayaan, dan mengalami kemuakan dan keuputusasaan luar biasa supaya dapat belajar untuk dapat melawan semua itu, supaya aku dapat belajar mencintai Tuhan dan tidak lagi tenggelam dalam dunia khayalan. Tidak sekedar sedikit membayangkannya, tetapi meninggalkannya seperti apa adanya. Tidak merubahnya dan membiarkannya berlalu, karena itu adalah bentukan dari hidup yang tidak akan kekal. Sesuatu yang diciptakan akan binasa. Semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan. Mencintai sesuatu yang ada di dunia secara berlebihan akan berakhir dengan kebinasaan. Aisyah, itu semua adalah beberapa gagasan yang ada di dalam benakku.”
Christian membungkuk, mengambil sebuah batu dari tanah dan menggenggamnya.
“Ini.” Katanya dengan menggenggam batu itu. “Adalah sebutir batu, dalam waktu tertentu, batu ini mungkin akan menjadi tanah, dan dari tanah akan menjadi tanaman. Sebelumnya aku akan mengatakan bahwa batu ini adalah batu, hanyalah batu. Batu ini tidak berharga, batu ini adalah milik dunia ketidakabadian, tetapi karena dalam waktu batu ini dapat menjadi sesuatu yang lain, hal itu menjadi penting. Itulah yang seharusnya dipikirkan. Tetapi, sekarang cobalah berpikir seperti ini; batu adalah batu, batu juga adalah tanaman. Batu adalah satu benda yang akan menjadi sesuatu yang lain, hingga suatu saat batu akan menjadi sesuatu dan selalu adalah sesuatu. Aku tidak mencintainya dan aku tidak menghormatinya. Aku hanyalah sekedar menyukainya, karena hari ini dan sekarang batu itu muncul di depanku hanya sebagai batu, dan jika suatu hari kelak dia berubah, belum menjadi suatu kepastian aku akan menyukainya. Aku hanya melihat nilai dan arti di dalam tiap-tiap benda, dari tanda-tandanya dan rongganya yang bagus, kuning, biru, abu-abu, kekerasan atau pun kelembutan permukaannya. Ada banyak benda yang terasa lembut atau pun kasar, yang terasa seperti pasir ataupun daun, dan setiap benda itu akan terus bertasbih untuk Tuhan. Namun, pada waktu yang sama, batu tetaplah batu, meskipun ia akan terasa seperti pasir atau pun daun, itulah yang terasa menyenangkan diri dan tampaknya indah dan berharga untuk dipuja. Cukup, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang batu. Kata-kata sepenuhnya tidak akan dapat menggambarkan pikiran dengan baik. Kata-kata itu selalu mejadi sedikit berbeda segera setelah dinyatakan, menjadi sedikit berubah, sedikit bodoh. Dan, itulah yang menjadi sifat setiap benda di dunia, sesuatu yang menyenangkan hatiku, sesuatu yang terlihat berharga dan bijaksana bagiku, bisa saja menjadi omong kosong bagi orang lain.”
Aisyah mendengarkan dengan diam.
“Mengapa engkau menuturkan tentang batu pada diriku?” Tanya Aisyah dengan ragu-ragu setelah beberapa saat.
“Aku menuturkannya begitu saja, tanpa disengaja. Lihatlah bagaimana setiap orang begitu mencintai batu, sungai dan benda-benda yang terlihat. Aku dapat mencintai batu, Aisyah, dan juga sebatang pohon atau seorang wanita. Semua itu adalah benda, Aisyah, dan orang-orang selalu mencintai benda-benda. Tetapi orang tidak dapat mencintai sesuatu yang tidak terlihat. Sesuatu yang tidak terlihat itu tidak memiliki apa-apa selain kata-kata. Dan, orang-orang tidak bisa mencintai kata-kata dengan sepenuh hati. Kata-kata tidak memiliki kekerasan, tidak memiliki kelembutan, tidak memiliki warna, tidak memiliki sudut, tidak berasa dan tidak berbau. Itulah yang menghalangi dirimu dari menemukan kedamaian, seperti engkau memahami ajaran Tuhan hanya melalui kata-kata. Terlalu banyak kata dalam benakmu, sehingga menghalangi dirimu dari menemukan Tuhan dalam dirimu. Tuhan dan kedamaian adalah bentuk dari kata-kata bagimu Aisyah. Surga bukanlah benda. Hanya ada kata Surga.”
Aisyah membantah, “Surga bukan hanya kata, sahabatku. Surga adalah sebuah kenyataan.”
Christian melanjutkan, “Mungkin itu merupakan kenyataan, tetapi bagaimana engkau membuktikan kenyataan jika hanya dari kata-kata? Secara jujur, engkau tidak bisa mengikat diri pada kepentingan kenyataan itu. Engkau akan lebih bisa menyatakan kenyataan pada apa yang engkau lihat daripada yang engkau dengar. Misalnya engkau mendengar ada seorang pengayuh rakit tua di sungai ini, yang katanya bijaksana dan arif. Lalu, engkau mendengar ada seorang nabi di atas langit yang akan menyelamatkan dirimu dari siksaan neraka. Manakah yang akan engkau percayai?”
Christian melihat wajah Aisyah yang berpikir, lalu melanjutkan. “Ada seorang pria yang dulu menjadi guruku. Seorang pengayuh rakit yang begitu bijaksana. Dia yang belajar dari sungai, mendengarkan suara sungai yang berbicara kepadanya. Baginya sungai adalah guru baginya, dan selama itu dia tidak mengetahui bahwa setiap angin, setiap awan, setiap burung, sama hebatnya dan mengetahui dan bisa mengajarkannya seperti sungai. Tetapi, sesungguhnya saat dirinya menutup matanya dengan tenang, aku menyadari sepenuhnya bahwa dirinya telah mengetahui lebih banyak hal dari diriku mau pun dirimu, tanpa guru, tanpa buku, hanya karena dia yakin Tuhan telah memberikan ajaran terbaik baginya melalui sungai.”
Aisyah berkata, “Tetapi apakah yang engkau sebut benda itu sesuatu yang nyata, sesuatu yang hakiki? Itu bukanlah bayangan maya, hanya citra dan penampilan? Batumu, pohonmu, apakah semua itu nyata?”
“Itu juga tidak menyusahkan diriku.” Jawab Christian. “Jika semua itu hanyalah bayangan, lalu aku pun adalah bayangan. Semua itu akan selalu bersifat sama dengan diriku. Itulah yang membuat diriku hanya akan menyukainya. Sesuatu yang tidak pantas untuk begitu dicintai atau pun dimuliakan. Dan itulah pemahaman yang seharusnya tidak ditertawakan. Terlihat dalam di mataku, Aisyah, bahwa cinta adalah hal terpenting di dunia ini. cinta yang bagi kebanyakan orang hanya menjadi alat penguji, untuk menerangkan dan menghinakan. Yang terpenting adalah bentuk pemahamannnya untuk bisa menghargai segala kehidupan di dunia dan kita sendiri, dan semua makhluk dan benda dengan cinta, dan hormat.”
“Aku mengerti itu. “ Kata Aisyah. “Tetapi, itulah yang dikatakan oleh Kyai Bahdarudin Syamawi sebagai bayangan. Dia mengajarkan tentang kebajikan, cara menahan nafsu, simpati dan kesabaran, tetapi bukan cinta.”
“Aku tahu hal itu, Aisyah.” Kata Christian dengan senyum berseri-seri dan hangat. “Aku tahu itu, dan di sini kita telah menemukan diri kita berada dalam jaringan makna yang terlilit rumit, berada dalam pertikaian kata-kata, karena aku tidak akan menolak bahwa kata-kataku tentang cinta dalam kontradiksi yang nyata terhadap ajaran Kyai Bhadarudin Syamawi. Itulah yang menjadi sebab aku tidak terlalu banyak mempercayai kata-kata bahwa kontradiksi ini adalah sebuah bayangan. Aku tahu pada suatu kali aku bersama Kyai Bahdarudin Syamawi. Tentu saja, bagaimana dia tidak akan mengatakan tentang cinta, dia yang telah mengenal segala kesia-siaan manusia dan kefanaannya. Manusia yang begitu mencintai manusia dan kebendaan karena Tuhan hingga mengabdikan seluruh hayatnya semata-mata untuk kecintaannya itu. Bersama guru besar ini, engkau lebih melihat kata-kata ketimbang apa yang diperbuatnya. Bagiku, perbuatan dan kehidupannya lebih penting daripada segala ucapannya. Gerakannya lebih penting bagiku ketimbang pendapat-pendapatnya. Aku tidak melihatnya sebagai orang besar melalui pembicaraan maupun pemikirannya, tetapi dalam perbuatan dan hidupnya.”
Dua orang itu terdiam cukup lama. Kemudian ketika Aisyah bersiap-siap untuk pergi, ia berkata. “Terima kasih Christian, atas penuturanmu tentang sesuatu yang terkandung dalam pikiran-pikiranmu. Beberapa di antaranya merupakan pikiran-pikiran baru. Aku tidak dapat menangkap gagasan itu dengan segera, namun aku berterima kasih, dan kudoakan semoga engkau lewatkan hari-hari penuh damai.”
Namun, dalam batinya yang terdalam dia berpikir, Christian adalah orang aneh, dan menyatakan pikiran-pikiran aneh. Gagasan-gagasannya rasanya gila. Betapa bedanya dengan yang telah diajarkan oleh Kyai Bahdarudin Syamawi; ajaran-ajaran yang jelas, terus terang, dapat dipahami, ajaran-ajaran yang tidak mengandung sesuatu yang aneh, liar dan dapat ditertawakan. Tetapi, tangan dan kaki Christian, matanya, alisnya, napasnya, senyumnya, hormatnya, dan gaya berjalannya berbeda dengan dampak dari pemahaman pikiran-pikirannya. Sejak meninggalnya Kyai Bahdarudin Syamawi, belum pernah aku bertemu dengan yang memiliki kekecualian seperti Christian. Inilah orang suci. Gagasan-gagasannya boleh saja terdengar aneh, kata-katanya boleh saja terdengar tolol, tetapi pandangan dan tangannya, kulit dan rambutnya, semua memancarkan kelembutan dan kesucian yang murni, damai dan tenang yang belum pernah kulihat pada orang lain semenjak kematian guru yang terkenal itu.
Ketika Aisyah sedang memikirkan hal itu, timbul konflik dalam hatinya. Dia membungkuk kembali pada Christian, penuh kecintaan kepadanya. Dia membungkuk rendah sekali di depan pria yang duduk dengan tenangnya.
“Christian.” Katanya. “Kini kita adalah orang-orang tua. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi dalam hidup ini. aku dapat melihat, sahabatku terkasih, bahwa engkau telah menemukan kedamaian. Aku sadar belum menemukannya. Katakan sepatah kata lagi padaku, temanku yang mulia, katakan sesuatu yang bisa kupahami, sesuatu yang dapat kumengerti. Berilah aku sesuatu untuk menolongku meneruskan perjalanan ini, Christian. Jalanku sering terasa gelap dan keras.”
Christian melihatnya dan tersenyum.
“Tunduklah di dekatku.” Dia berbisik pada Aisyah. “Mari, lebih dekatlah, lebih dekat lagi. Tataplah dalam-dalam mataku, Aisyah.”
Meskipun terperanjat, Aisyah didorong oleh cinta dan firasat yang besar untuk mengikutinya. Dia menunduk dekat sekali kepadanya dan menatap dalam kedua mata Christian. Ketika dia melakukannya, sesuatu yang indah terjadi padanya. Selagi dia masih merasa bingung dengan kata-kata Christian yang aneh itu, selagi dia berusaha keras tetapi sia-sia untuk menghalau gambaran waktu, untuk membayangkan tentang menyatukan kebahagiaan dan kesengsaraan, sesuatu bergejolak dalam dirinya terhadap kata-kata sahabatnya dengan cinta yang sangat besar dan penghargaan kepadanya, semua hal ini terjadi padanya.
Dia tidak lagi melihat wajah Christian. Sebaliknya dia melihat wajah-wajah lain, banyak wajah, suatu rangkaian panjang, suatu aliran wajah terus-menerus – ratusan, ribuan, kesemuanya datang dan menghilang dan semuanya terlihat berbeda pada saat yang bersamaan. Semuanya berubah secara terus-menerus, dan kesemuanya adalah satu. Dia melihat wajah bayi yang baru lahir, merah dan penuh dengan kerut merut, siap untuk menangis. Dia melihat tubuh-tubuh telanjang wanita dan seorang pria dalam posisi yang menggairahkan. Dia melihat dirinya dan pria. Dia melihat semua bentuk dan wajah itu saling mengait dalam seribu hubungan, semua saling mencinta, membenci, dan saling menghancurkan. Masing-masing adalah makhluk hidup, dan bernafsu. Contoh yang menyakitkan dari semua kefanaan. Tidak ada rasa dan kebijaksanaan. Mereka semua berubah, terus-menerus menjadi wajah baru. Hanya waktu saja berdiri di antara satu wajah dan wajah lainnya. Dan, semua wajah serta bentuk ini beristirahat, mengalir, merenangi masa lalu dan melebur satu dengan lainnya. Di atas mereka semua ada sesuatu yang secara terus-menerus kurus, tidak nyata namun ada, terbentang seperti kaca atau es, seperti kulit yang tembus pandang, seperti bentuk topeng air, dan topeng itu adalah wajah tersenyum Christian yang dilihat dalam mata Christian. Dan, Aisyah melihat senyum seperti topeng itu, senyum kesatuan atas bentuk-bentuk yang mengalir, senyum kesatuan di atas ribuan kelahiran dan kematian, senyum milik Christian, benar-benar terlihat sama seperti senyum Kyai Bahdarudin Syamawi yang tenang dan lembut. Yang tidak dapat ditelusuri. Bijaksana, dan lipat seribu. Seakan dia merasakannya dengan perasaan terpesona ribuan kali.
Dalam sikap itulah Aisyah menyadari, bahwa sahabat terkasihnya tidak lagi mengetahui apakah waktu itu ada. Ada keinginan yang kuat mendorongnya lebih mendekat, keinginannya untuk merasakan senyuman sahabatnya dengan bibirnya. Dirinya terlukai dalam-dalam oleh panah ketuhanan yang memberikan kesenangan padanya, terpesona dalam-dalam. Dia merasa sahabatnya telah dimuliakan, kesadaran akan hal ini membuatnya mengurungkan niat dan memundurkan dirinya. Aisyah berdiri sejenak dan membungkuk di hadapan wajah Christian yang damai, yang baru saja terlihat seperti panggung semua bentuk masa lalu dan masa kini. Wajahnya tidak berubah sesudah kaca seribu bentuk itu lenyap dari permukaan. Dengan damai dan lembut dia tersenyum, mungkin dengan sangat ramah, persis seperti senyum yang telah menemukan penerangan sempurna dalam dirinya.
Aisyah membungkuk rendah sekali. Air mata yang tidak dapat dikuasainya bergulir di wajah tuanya. Dia dikuasai oleh perasaan cinta agung, pemujaan yang paling sederhana. Dia rendah membungkuk, tepat di atas tanah, hingga bersujud, di depan pria yang sedang duduk tanpa bergerak, yang senyumannya mengingatkannya pada segala sesuatua yang pernah dia cintai dalam hidupnya, pada segala sesuatu yang sangat berharga dan suci di dalam hidupnya. Hingga pada kesadaran terdalamnya bahwa selama ini dia hanya mencari makna kedamaian, hingga dia melupakan tentang Tuhan yang selalu bersama dirinya.

Rumah kontrakan
11 Mei 2009, 23:30 WIB
Alhamdulillah

Syair Cinta Putra Pelacur
Roby Syahputra

Bersatu Bersama Tuhan

Lama luka itu terasa nyeri. Christian menyeberangkan banyak orang. Mereka memiliki anak lelaki atau anak perempuan, dan dirinya tidak dapat melihat mereka tanpa merasakan cemburu, hingga terkadang dirinya berpikir; ada banyak orang yang memiliki kebahagiaan yang sangat besar, mengapa aku tidak? Bahkan seorang yang jahat, pencuri, dan perampok mempunya anak, mencintai anak-anak itu dan dicintai oleh anak-anak itu, kecuali aku. Dengan begitu kekanak-kanakan alasan yang tidak logis telah tercetus dari benaknya, dia yang telah memiliki demikian banyak kemiripan dengan orang kebanyakan.
Kini dia memandang orang dalam sudut cahaya yang berbeda dibandingkan sebelumnya. Dia yang menjadi tidak sangat pintar, tidak sangat bangga; dan disebabkan hal itu dia terus menjadi lebih hangat, lebih ingin tahu, dan lebih simpatik.
Saat waktu berlalu, dia tidak lagi melihat orang-orang yang diseberangkannya sebagai sesuatu yang asing seperti sebelumnya. Dia yang tidak lagi sekedar membagi pikiran dan pandangan dengan mereka, tetapi dia lebih banyak berbagi dorongan dan hasrat hidup.
Meskipun dirinya telah mencapai tingkatan tinggi akan pengendalian diri, dan telah menghadapi luka terakhirnya dengan baik, namun dirinya kini lebih bisa menganggap orang-orang yang ditemuinya sebagai saudara. Kesombongan, keinginan dan keremehan mereka tidak lagi menjadi hal aneh baginya, itu semua menjadi bentuk dasar dari orang-orang. Sifat-sifat itu lebih bisa dimengerti olehnya, dapat dipahami dan dicintainya, dan bahkan patut dihormati. Baginya sifat-sifat itu akan membawa seseorang dalam bentukan yang lebih baik, sebagaimana seseorang mengendalikannya dengan segala keinginan baiknya.
Ada cinta buta seorang ibu terhadap anaknya, kebanggaan bodoh seorang ayah yang memuja anak lelaki satu-satunya, atau usaha-usaha keras penuh keinginan seorang wanita yang membuta dan sia-sia kepada perhiasan dan pria yang dikagumi. Semua kebodohan-kebodohan sederhana yang kecil – tetapi merupakan dorongan dan hasrat penuh gairah, hidup dan sangat kuat. Kesombongan untuk mempertahankan keyakinannya, keinginan menggila untuk mencintai Tuhannya, keremehan mereka terhadap hal-hal yang membawa kesengsaraan. Semua sifat itu tidak lagi diremehkan oleh Christian. Semua bentuk hasrat dan keinginan itu telah menjadi dorongan bagi orang-orang untuk terus hidup dan melakukan berbagai hal, melakukan perjalanan, memimpin negara, menderita dan menanggung dengan sangat, dan dia menyukai tindakan-tindakan itu. Dia bisa melihat kehidupan, semangat, dan gairah yang tidak dapat dihancurkan, ada tujuan di dalam semua keinginan dan kebutuhan mereka. Orang-orang ini patut dicintai dan dikagumi dalam kesetiaan mereka yang membuta, dan di dalam kekuatan dan keuletan mereka yang membuta. Mereka menjadi begitu berbahagia dengan memiliki kekurangan atas satu hal kecil, satu hal paling kecil; mereka yang memiliki kekurangan yang dimiliki oleh para pemikir dan filsuf, yakni kesadaran akan kesatuan semua kehidupan. Namun, seringkali Christian merasakan sesuatu mengusik benaknya tentang hal ini, dirinya kemudian menjadi ragu-ragu tentang pengetahuan ini, apakah ini sesuatu yang sangat berharga atau hanya bujukan untuk bertindak seperti anak-anak. Orang-orang yang luas pergaulan mempunyai perbedaan yang hampir tidak terlihat dengan pemikir, dan terkadang mereka menjadi lebih unggul terhadap para pemikir. Seperti halnya seekor binatang terkadang menjadi lebih unggul atas manusia dalam hal keteguhan mereka untuk tidak bertindak menyimpang dalam menghadapi keadaan memaksa.
Dalam diri Christian secara pelan-pelan tumbuh pengetahuan kebijaksanaan yang sesungguhnya dan tujuan pencariannya yang lama. Sebuah persiapan, seni berpikir, berasa dan bernapas dalam gagasan-gagasan kesatuan setiap kehidupan. Dengan pelan pikiran ini menjadi matang di dalam dirinya, dan pikiran itu telah lebih dulu tercermin dalam wajah tua Ahmad yang kekanak-kanakan; harmoni, pengetahuan kesempurnaan dunia, kesatuan, bersyukur, dan menghargai setiap bentuk kehidupan dunia.
Tetapi saat dirinya mulai merasakan hal-hal itu meresap dalam dirinya, luka di hatinya kembali terasa sakit. Christian memikirkan anaknya dengan penuh kerinduan dan pahit. Begitu ingin memberikan cinta dan perasaan kelembutan kepada anaknya. Dia terus membiarkan kesakitan menggerogoti dirinya, dan mengalami kebodohan cinta. Api itu tidak akan mati dengan sendirinya.
Suatu hari saat luka itu terasa sakit sekali, Christian mendayung menyeberangi sungai, dimakan oleh kerinduan. Dia meninggalkan rakit dengan tujuan pergi ke kota untuk mencari anaknya. Sungai itu mengalir halus dan lembut. Pada musim kemarau, saat air terasa hening, tetapi suara sungai itu terasa berdesau dengan aneh. Sungai itu sedang tertawa; tertawa dengan jelas dan gembira kepada pengayuh tua itu. Christian berdiri tegak. Perlahan dia menunduk di atas air supaya mendengar dengan lebih baik. Dia melihat wajahnya memantul pada air yang mengalir dengan tenangnya, dan ada sesuatu dalam pantulan itu yang mengingatkannya pada sesuatu yang telah dilupakannya, dan ketika membayangkannya, ingatlah dia. Tatapannya mirip tatapan orang lain, yang dulu pernah dikenalnya dan dicintainya. Dia seolah menatap ayahnya. Dia ingat dulu saat masih seorang pemuda dia telah memaksa ayahnya untuk mengizinkan dia pergi, dan bergabung dengan para musafir. Betapa dia merasa telah meninggalkannya, dia yang telah pergi dan tidak pernah kembali. Bukankah ayahnya juga telah merasakan kesakitan yang kini dia derita akan anaknya? Mungkin ayahnya telah lama meninggal dunia, sendirian tanpa bisa melihat anaknya lagi. Tidakkah dia telah mengharapkan keadaan yang sama? Bukankah ini merupakan suatu hal yang bodoh, aneh dan lucu? Pengulangan ini, jalan-jalan peristiwa yang berada dalam lingkaran yang setia.
Sungai itu tertawa. Ya, itulah caranya. Segala sesuatu yang tidak menderita hingga akhir, dan akhirnya berakhir. Lagi-lagi timbul, dan kesedihan yang sama kini telah berlalu. Christian menaiki kembali rakitnya dan mendayung, kembali ke gubuk. Dia memikirkan ayahnya, memikirkan anakanya. Dia tertawa di pinggir sungai, menentang dirinya sendiri, berada pada ambang keputusasaan dan kecenderungan untuk menertawakan keras-keras dirinya dan seluruh dunia. Luka itu masih terasa sakit. Dia masih terus menentang nasibnya. Masih tidak ada ketenangan dan penaklukan atas penderitaan yang dirasakannya. Dia hanya menyisakan pengharapan, dan ketika dia kembali ke gubuk, dia dipenuhi oleh hasrat yang tidak dapat ditundukkan, dia mengaku pada Ahmad, mencoba untuk menyingkap segala sesuatu, untuk menceritakan segalanya kepada lelaki yang mengerti seni mendengarkan itu.
Ahmad sedang duduk di dalam gubuk sambil menganyam keranjang. Dia yang tidak lagi bekerja di penyeberangan; matanya telah menjadi lemah, juga tangan dan lengannya, tetapi kebahagiaannya tidaklah berubah dan wajahnya tetap berseri-seri dalam keadaan tenang.
Christian duduk di samping orang tua itu, dan dengan pelan mulai berbicara. Kini dia menuturkan kepadanya apa yang belum pernah diungkapkan sebelum ini. Bagaimana dia telah pergi ke kota, tentang lukanya yang terasa sakit, tentang kecemburuannya kepada para ayah yang bahagia, tentang pengetahuannya`atas kebodohan perasaan-perasaan seperti itu. Tentang perjuangannya terhadap dirinya yang sia-sia. Dia mengungkapkan segalanya. Dia terus menuturkan segalanya kepada Ahmad, bahkan hal-hal paling menyakitkan. Dia dapat mengungkapkan segalanya. Dia memperlihatkan lukanya, menuturkan kepadanya perjalanan dirinya hari itu, bagaimana dia menyeberangi sungai dengan tujuan berjalan ke kota, dan bagaimana sungai telah menertawakannya.
Ketika dia meneruskan berbicara dan Ahmad mendengarkan dengan wajah tenang, Christian menjadi lebih waspada ketimbang sebelumnya atas perhatian Ahmad. Dia merasakan kesulitan-kesulitannya, kecemasan-kecemasannya, dan harapan-harapan rahasianya mengalir dari dalam dirinya dan kemudian kembali lagi. Menuturkan lukanya kepada pendengar seperti Ahmad sama saja seperti memandikannya di sungai, membuat luka itu menjadi dingin dan menyatu dengan sungai.ketika meneruskan pembicaraan dan penuturannya, Christian semakin lama semakin merasakan bahwa laki-laki tua di depannya bukan lagi Ahmad, buka lagi pria yang sedang mendengarkannya. Dia merasakan bahwa pendengar yang tidak bergerak itu sedang menyerap pengakuannya seperti pohon menyerap hujan. Bahwa pria yang tidak bergerak itu telah menjadi sungai itu sendiri, bahwa dia telah menjadi Tuhan atas dirinya sendiri, bahwa dia adalah bentuk keabadian itu sendiri. Ketika Christian berhenti berpikir tentang dirinya sendiri dan lukanya, pengenalan bentuk perubahan dalam diri Ahmad merasuk ke dalam dirinya, dan semakin dia mengenalinya, semakin berkurang keanehan yang ditemukannya. Hal itu pun semakin membuatnya sadar bahwa segala sesuatu adalah wajar dan teratur, yang telah lama dimiliki Ahmad, dan hampir selalu seperti itu, hanya saja dia tidak pernah mengenalnya dengan benar. Dia merasa Ahmad bukan bentuk yang mencoba menjadi Tuhan, melainkan sebagai orang yang menyatu dengan Tuhan, sebagai orang yang begitu mencintai Tuhannya melebihi apa pun, dan hal ini tidak akan pernah dapat berakhir. Di dalam batinnya, dia mulai meninggalkan Ahmad. Sementara itu, dia terus berbicara.
Ketika dia telah berhenti berbicara, Ahmad mengarahkan pandangannya yang terasa lembut kepadanya. Ahmad tidak berbicara, tetapi dengan tenang wajahnya menyinarkan kasih dan ketenangannya, pengertian dan pengetahuannya. Dia memegang tangan Christian, mengajaknya duduk di tepi sungai, duduk di sampingnya dan tersenyum kepada sungai.
“Engaku telah mendengar sungai itu tertawa.” Katanya. “Tetapi, engkau tidak mendengarkan sesuatu. Mari kita dengarkan. Engkau akan lebih mendengarkan.”
Mereka mendengarkan. Nyanyian yang banyak suara sungai itu bergema dengan lembut. Christian mengamati sungai dan melihat banyak gambar di dalam air yang mengalir itu. Dia melihat ayahnya, sendirian, berdukacita bagi anaknya. Dia melihat dirinya, sendirian, juga dengan pertalian kerinduan kepada anaknya yang jauh. Dia melihat anaknya, juga sendirian, anak itu dengan penuh keinginan melangkahi jalan berapi hasrat hidupnya. Masing-masing dari mereka memusatkan tujuannya, masing-masing tergoda dengan tujuannya, dan masing-masing menderita. Suara sungai itu sedih. Sungai itu bernyanyi untuk kerinduan dan kesedihan, mengalir menuju tujuannya.
“Engkau dengarkah?” Tanya Ahmad dengan pandangan membisu. Christian mengangguk.
“Dengarkanlah lebih baik.” Bisik Ahmad.
Christian mencoba mendengarkan lebih baik. Gambar ayahnya, gambar dirinya, dan gambar anaknya. Semua mengalir ke dalam satu dengan lainnya. Gambar Kaylila juga muncul dan mengalir, juga gambar Angelina dan yang lain muncul dan lewat. Semuanya menjadi bagian dari sungai itu. Menjadi tujuan mereka semua, merindukan, berhasrat dan menderita; dan, suara sungai penuh dengan kerinduan, penuh dengan kesengsaraan yang terasa sakit, penuh dengan keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Tetapi sungai itu terus mengalir menuju tujuannya. Christian melihat sungai itu mempercepat alirannya, menghanyutkan dirinya dan keluarganya, serta semua orang yang pernah dilihatnya. Semua gelombang dan air semakin cepat, menderita, menuju tujuannya, banyak tujuan, air terjun, menuju laut, menjadi arus, menuju samudera, dan semua tujuan itu tercapai, dan setiap kalinya tujuan itu akan tergantikan dengan yang lainnya. Air akan berubah menjadi uap dan naik, menjadi hujan dan turun lagi, menjadi mata air, dan sungai, berubah baru, mengalirlah yang baru. Tetapi suara yang merindu telah berubah. Suara itu masih melantunkan kesedihan, dan pencarian. Namun, suara-suara lain menggiringnya, suara-suara kesenangan dan kesedihan, suara-suara baik dan jahat, suara-suara tertawaan dan ratapan. Ratusan suara, ribuan suara.
Christian mendengarkan dengan penuh perhatian. Benar-benar terserap, benar-benar kosong, hingga dirinya mengerti sesuatu. Dia merasakan bahwa sekarang dia telah benar-benar mempelajari seni mendengarkan. Dia telah sering mendengar semua ini sebelumnya, berbagai suara di sungai ini, tetapi hari ini suara-suara itu lain. Dia tidak dapat lagi mendengarkan suara-suara yang berbeda. Suara senang dari suara tangis, suara anak-anak dari suara orang dewasa. Suara-suara itu menjadi milik satu dengan lainnya. Ratapan mereka yang rindu, tertawaan orang-orang bijak, jeritan orang-orang marah, dan erangan orang yang sedang sekarat. Suara-suara itu semua berjalin dan dipersambungkan satu dengan lainnya, terlilit dalam seribu cara. Dan semua suara ini, semua tujuan, semua kerinduan, semua kesedihan, semua kesenangan, semua baik dan jahat, semua itu bersama adalah dunia. Semua itu bersama adalah arus peristiwa, musik kehidupan. Ketika Christian mendengarkan dengan penuh perhatian kepada sungai itu, kepada nyanyian ribuan suara; ketika dia tidak hanya mendengarkan kesedihan atau tertawaan, ketika dia tidak mengikatkan jiwanya kepada salah satu suara khusus dan menyerapnya ke dalam dirinya; ketika dia mendengarkan suara-suara itu semua, keseluruhan, kesatuan, kemudian nyanyian agung seribu suara terdiri dari satu kata: Subhanallah – Maha Suci Allah.
“Kau dengarkah?” Ahmad bertanya lagi.
Senyum Ahmad berseri-seri. Senyum itu bermain dengan ceria di dalam semua kerutan-kerutan wajahnya yang tua. Ketika kebesaran Tuhan bermain di atas semua suara sungai. Senyumnya berseri-seri ketika dia memandang sahabatnya, dan kini senyum yang sama muncul pada wajah Christian. Lukanya terobati, kesakitannya lenyap; dirinya melebur ke dalam kesatuan.
“Tuhan ada dalam dirimu, engkau tidak perlu mencarinya.” Kata Ahmad dengan penuh kelembutan. “Apapun yang engkau pikirkan, dan rasakan, Dia mengetahuinya sebaik engkau mengetahuinya, karena Dia ada dalam dirimu, meskipun tidak berarti engkau menjadi Tuhan. Jika dalam hidupmu engkau mencintai dan memuja sesuatu yang sama dengan dirimu – yang merupakan ciptaan-Nya, maka engkau akan terluka dan berada dalam kesengsaraan. Akan tetapi, jika engkau mencintai Tuhan melebihi apa pun, maka tidak akan ada kesedihan dan kehilangan, yang engkau lihat hanyalah keabadian.”
Semenjak saat itu Christian menghentikan perlawanannya kepada takdir. Memancarlah pada wajahnya ketenangan, ketenangan yang tidak lagi berhadapan dengan keinginannya, yang berada dalam keharmonian dengan arus-arus peritiwa, dengan arus kehidupan, penuh simpati dan keharuan, dan mengalahkan dirinya untuk terseret ke dalam arus.
Ketika Ahmad mengamati tatapan Christian dan melihat ketenangan memancar dalam matanya, Ahmad menyentuh pundak Christian dengan lembut, dengan cara melindungi dan penuh kasih.
Christian membungkuk rendah di depan pria itu. Saat dia mengangkak kepalanya dengan pelan, dia melihat pria tua, sahabatnya, telah menutup matanya dengan tenang dan diam. Wajah sahabatnya yang tua seakan dipenuhi cahaya yang menenangkan, senyum lembut tergaris tipis di wajahnya. Seakan sudah tiba saatnya dia untuk kembali, setelah dia merasa bisa meninggalkan sahabatnya dengan tenang.
Dan, begitulah Ahmad pergi. Christian hanya memandanginya. Dengan kegembiraan yang besar dan berat hati dia memandanginya, melihat wajahnya yang penuh kedamaian bersinar, penuh dengan cahaya.

Putra Sang Pelacur

Takut dan menangis, anak lelaki itu menghadiri pemakaman ibunya. Takut dan sedih, anak lelaki itu mendengarkan penuturan dari Christian, dan juga doa-doa dari Ahmad. Hingga saat terakhir dia melihat tubuh ibunya hilang di balik timbunan tanah. Christian mengatakan pada anak lelakinya bahwa dia akan merawatnya, dan menerimanya dengan baik di gubuk Ahmad. Beberapa hari sesudahnya, anak lelaki itu hanya terduduk dengan muka pucat memandang kosong kejauhan, mengunci hatinya, berperang dan berusaha keras melawan nasibnya.
Christian mengurus anak itu dengan penuh pertimbangan dan membiarkannya sendirian, karena dia dengan penuh kasih menghormati kesedihannya. Christian mengerti sepenuhnya bahwa anak lelakinya tidak mengenal dirinya, bahwa anak itu tidak dapat mencintainya sebagai seorang ayah. Dengan pelan, dia juga melihat dan menyadari bahwa anak berusia dua belas tahun itu adalah anak yang dimanja ibunya dan telah dibesarkan dalam kebiasaan mewah, bahwa dia terbiasa dengan makanan enak dan tempat tidur yang empuk. Dan, dalam tersiratnya dia juga melihat sepertinya anak itu juga telah terbiasa memerintah pelayan. Christian mengerti sepenuhnya, bahwa anak manja dan sedang berduka tidak dapat dengan mudah, dan tiba-tiba dipuaskan dalam tempat asing dan miskin. Christian juga tidak berusaha menekan anak lelakinya itu. Dia hanya mencoba berbuat banyak hal untuk anak itu, dan menyimpan potongan roti terbaik untuknya. Dengan pelan, dengan kesabaran yang bersahabat, dia hanya berusaha dengan sabar untuk meluluhkan hatinya.
Christian sendiri telah menganggap dirinya lebih kaya dan bahagia ketika anak lelaki itu datang kepada dirinya. Tetapi, ketika waktu teru berlalu dan anak lelaki itu tetap tidak bersahabat dan menyebalkan, ketika terbukti dirinya ternyata sombong dan menentang, ketika dia tidak mau melakukan pekerjaan apa pun, ketika dia mulai memperlihatkan tidak ada rasa hormat kepada orang tua, ketika dia mulai mencuri buah-buahan dari pohon milik Ahmad dan orang-orang desa, Christian mulai menyadari bahwa tidak ada kebahagiaan dan kedamaian yang datang kepadanya dengan kedatangan anak lelakinya itu, melainkan hanyalah kesedihan dan kesulitan. Tetapi, dia tetap mencintai anak itu dan merasa lebih baik bersedih dan sulit karena cintanya, dibandingkan merasa bahagia dan senang tanpa anak lelakinya itu.
Semenjak kehadiran Christian muda di gubuk, kedua orang tua itu telah membagi pekerjaan mereka. Ahmad mengambil alih seluruh pekerjaan di sawah dan kebun, sedangkan Christian dan anaknya bekerja di gubuk dan penyeberangan.
Selama beberapa bulan Christian terus sabar menunggu, dengan harapan anaknya akan mengerti kepadanya, bahwa dia akan menerima cintanya dan bahwa dia barangkali akan mengembalikan cintanya itu. Selama berbulan-bulan Ahmad memperhatikan hal itu, menunggu dan berdiam. Satu hari, ketika Christian muda menyakiti hati ayahnya dengan pemberontakan dan kemarahannya, dan memecahakan beberapa mangkuk nasi, Ahmad mengajak sahabatnya untuk berandai-andai pada petang harinya.
“Maafkan diriku, sahabatku.” Kata Ahmad. “Aku akan berbicara berbicara padamu sebagai teman. Saya dapat melihat betapa engkau khawatir dan tidak berbahagia. Anakmu, dia yang membuatmu susah dan juga menyusahkan saya. Burung muda terbiasa dengan kehidupan yang berbeda, dan juga pada sarang yang berbeda. Anakmu tidak bisa jauh dari kemewahan dan kota yang engkau lihat dalam pandangan muak dan jijik. Dia terpaksa meninggalkan semua hal itu tanpa kehendaknya, berbeda dengan dirimu, sahabatku. Aku telah mempelajari begitu banyak hal tentang kehidupan dari sungai, sahabatku. Dan, jika dia bisa berbicara, dia akan menertawakan kita. Sungai itu akan tergelak-gelak menertawakan kebodohan kita. Air mengalir kepada air, pemuda ke pemuda. Anakmu tidak akan merasa bahagia di tempat ini. tanyakan pada sungai, dan dengarkanlah jawabannya.”
Merasa sulit, Christian menatap wajah yang penuh kasih di hadapannya, yang menyimpan begitu banyak guratan sifat-sifat baik itu.
“Bagaimana aku bisa berpisah dengan dirinya?” Tanya Christian dengan lembut. “Berilah aku waktu, sahabatku. Aku berjuang untuknya, aku sedang mencoba mengetuk pintu hatinya. Aku akan memenangkannya dengan cinta dan kesabaran. Sungai itu juga akan berbicara kepadanya suatu hari nanti. Dia juga akan dipanggil.”
Senyum Ahmad menjadi lebih hangat. “Ya.” Katanya. “Dia juga akan dipanggil. Dia juga milik dari kehidupan yang abadi. Tetapi, tahukah engkau dan aku kemanakah dia akan dipanggil, ke jalan mana, perbuatan apa, kesedihan mana? Kepedihan hatinya tidaklah sedikit. Hatinya penuh kebanggaan dan keras. Dia mungkin akan banyak menderita, membuat banyak kesalahan, melakukan banyak ketidakadilan, dan melakukan banyak dosa. Katakan, sahabatku, apakah engkau mendidik anakmu? Apakah dia menurut kepada dirimu? Apakah engkau telah memukul atau menghukum dirinya?”
“Tidak, Ahmad, aku tidak melakukan satu pun hal itu.”
“Aku tahu. Engkau tidak terlalu keras kepadanya. Engkau tidak juga menghukum dirinya. Engkau yang tidak memerintah kepadanya, karena engkau tahu bahwa kelembutan akan lebih kuat bila dibandingkan dengan kekerasan. Air itu lebih kuat dibandingkan batu. Cinta lebih kuat dibandingkan paksaan. Sangat baik. Aku memuji engkau, Christian, sahabatku. Tetapi, barangkali di situlah letak kesalahanmu. Engkau yang tidak bersikap keras kepadanya, engkau yang tidak mampu menghukum dirinya. Idakkah sesungguhnya engkau telah merantai anak lelakimu itu dengan cintamu? Tidakkah engkau menyadari, bahwa sesungguhnya engkau telah mempermalukan dia setiap hari dengan kebaikan dan kesabaranmu, dan semua itu justru semakin mempersulit dirinya? Tidakkah sesungguhnya engkau telah memaksakan anak lelakimu untuk tinggal di gubuk dengan dua orang tua pemakan ubi dan buah-buahan dari kebun, yang bagi mereka bahkan nasi adalah kemewahan? Dua orang yang pikiran-pikiran mereka tidak sama dengan pikirannya, yang hatinya merasa tua dan tenang? Yang jantung mereka berdetak berbeda dengan jantungnya? Tidakkah sebenarnya dia telah dipaksa dan dihukum dengan semua ini?”
Christian memandang tanah dengan bingung.
“Menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Christian dengan lembut dan pelan.
“Bawalah dia ke kota.” Jawab Ahmad. “Bawalah dia ke rumah ibunya. Masih ada pelayan-pelayan di sana. Bawalah dirinya kepada mereka. Dan, jika mereka tidak lagi di sana, bawalah dia kepada seorang guru, bukan hanya demi pendidikan, tetapi agar dia dapat bertemu dengan anak-anak lain dan berada di dunia tempat dia menjadi miliknya. Tidakkah engkau pernah memikirkan hal itu?”
“Engaku dapat melihat isi hatiku.” Jawab Christian dengan sedih. “Aku sering sekali memikirkan hal itu. Tetapi bagaimana dengan dirinya, yang begitu keras hati, akan bisa meneruskan hidup di dunia ini? Tidakkah nanti dia akan menganggap dirinya tinggi? Tidak akankah dia kelak tenggelam dalam kenikmatan dan kekuasaan? Tidak akankah nanti dia akan mengulangi kesalahan-kesalahan ayahnya? Tidakkah nanti dia akan tenggelam dalam kesengsaraan?”
Sang pengayuh itu tersenyum kembali. Dia menyentuh pundak Christian dengan lembut dan berkata. “Tanyakan pada hati terkecilmu, pada sanubarimu. Dengarkanlah suara yang berbicara dalam diri. Dengarkanlah, tertawakanlah! Lalu, tanyakan pada dirimu, benarkah engkau mengira bahwa engkau telah melakukan kebodohan-kebodohan itu supaya engkau bisa berbagi ketololan dengan anakmu? Kemudian apakah engkau dapat melindungi anakmu dari kesengsaraan? Bagaimana caranya? Apakah melalui perintah, melalui doa-doa, melalui nasihat? Sahabatku, lupakah engkau dengan ceritamu mengenai Christian putra seorang pelacur yang telah mendapatkan petunjuk, cerita yang engkau ceritakan di sini? Siapakah sesungguhnya yang telah menyelamatkan Christian, sang pengembara dari kesengsaraan, dari dosa, ketamakan dan kebodohan? Dapatkah ayahnya, nasihat gurunya, pengetahuannya sendiri, ataukah pencariannya sendiri, dapat melindungi dirinya? Ayah mana, guru mana yang dapat mencegah dirinya menjalani hidup yang dikehendakinya, dari pengotoran dirinya dengan kehidupan, dari pemenuhan dirinya oleh dosa, dari menelan minuman pahit bagi dirinya, atau penemuan jalannya sendiri? Apakah engkau mengira, sahabatku, bahwa setiap orang bisa terhindar dari jalan ini? Mungkin menurutmu anakmu yang kecil, karena engkau hanya ingin melihat dia terhindar dari kesedihan dan kesakitan serta kekecawaan. Tetapi seandainya engkau pun harus mati sepuluh kali baginya, engkau tidak akan bisa mengubah nasibnya sekecil apa pun. Percayakah engkau, bahwa selembar daun jatuh pun itu sudah ditetapkan?”
Belum pernah Ahmad berbicara demikian banyak. Christian berterima kasih padanya dengan cara bersahabat, lalu dia pergi dengan sedih ke gubuknya, tetapi malam itu dia tidak tertidur. Ahmad tidak mengatakan apa-apa lagi kepadanya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu berpikir dan mengerti tentang dirinya. Tetapi, lebih kuat daripada pengetahuannya adalah cinta Christian kepada anaknya, cinta kasihnya, kekhawatirannya akan kehilangan anak itu. Pernahkah sebelumnya dia kehilangan hatinya pada seseorang dengan sungguh-sungguh, pernahkah dia mencintai seseorang dengan demikian besar, demikian membuta, demikian menyakitkan, demikian tidak berpengharapan, dan demikian membahagiakan?
Christian tidak dapat menelan langsung saran dari sahabatnya. Dia tidak dapat berpisah dari anaknya. Hingga akhirnya dia membiarkan anaknya memerintah dirinya, dengan tidak menghormati dirinya. Dia terus berdiam dan menunggu. Setiap hari dia terus berperang dengan persahabatan dan kesabaran. Ahmad juga terus diam dan menunggu, dengan bersahabat, penuh pengertian serta menahan diri. Keduanya adalah orang yang menguasai kesabaran.
Pernah satu kali saat wajah anak lelaki itu mengingatkan Christian akan Kaylila, Christian tiba-tiba teringat sesuatu yang dikatakan kekasihnya itu. “Kau tidak dapat mencinta.” Kata Kaylila kepada Christian, dan dia setuju. Dia telah membandingkan dirinya dengan orang lain, dengan bintang, dengan daun-daun jatuh, dan sesungguhnya dia merasakan celaan dalam kata-kata Kaylila. Benar memang dirinya tidak pernah sungguh-sungguh kehilangan dirinya bagi orang lain, sehingga dia melupakan dirinya. Dia yang juga tidak pernah dapat melakukan hal ini, sehingga dia merasa betapa besar perbedaan dirinya dengan orang-orang biasa. Tetapi, kini sejak anaknya berada di sisinya, Christian telah benar-benar menjadi seperti orang lain yang mengalami kesedihan dalam percintaan. Dia benar-benar mabuk akan cinta, dan tolol oleh cinta. Kini, meskipun terlambat, pernah di dalam hidupnya dia mengalami dan merasakan nafsu yang paling kuat dan aneh. Dia menjadi sangat menderita dengan nafsu itu dan dalam beberapa cara dia merasa ditinggikan, diperbaharui, serta menjadi lebih kaya.
Dia benar-benar merasakan bahwa cinta ini, cinta buta bagi anaknya, meruapakan bentuk nafsu yang sangat manusiawi, yang membuat penderitaan, sumber kesengsaraan. Pada saat yang sama dia merasakan bahwa nafsu itu bukanlah tidak berharga, bahwa nafsu itu perlu, karena ia datang dari sifatnya sendiri. Perasaan ini, kesakitan ini, kebodohan-kebodohan ini, kini telah dialaminya.
Sementara itu, anaknya terus membiarkan Christian melakukan segala bentuk dari kebodohan-kebodohan, membiarkan dia bekerja keras, dan terus direndahkan oleh perasaannya. Tidak apa-apa dari diri ayahnya yang menarik hati anak itu, dan tidak ada yang ditakutinya, atau hanya sedikit rasa untuk bisa menghormatinya. Ayah ini adalah orang baik, orang yang dipenuhi kelembutan dan cinta kasih, mungkin saja dia seorang yang saleh, atau mngkin seorang yang suci – tetapi semua itu bukanlah sifat-sifat yang dapat menaklukkan si anak. Ayah yang menahan anaknya dalam gubuk sialan ternyata baginya lebih membosankannya. Dan, ketika dia membalas kekasaran anaknya dengan senyuman, setiap penghinaan dengan persahabatan, atau setiap kenakalan dengan kelembutan, hanya menjadi sebentuk keadaan yang terus menyakitkan orangtua. Anak itu lebih senang mengancam, dan menyakiti dirinya.
Hari puncak tiba ketika Christian muda mengatakan apa yang ada dalam benaknya dan secara terbuka menentang ayahnya. Ayahnya memerintahkan kepadanya untuk mengumpulkan ranting-ranting, tetapi anak itu beranjak dari gubuk itu. Dia berdiri di sana, menentang dan marah. Berdiri tegak di atas tanah, mengepalkan tinjunya dan dengan amarah mengungkapkan kebencian dan kejijikannya melihat muka ayahnya.
“Bawa ranting-ranting itu sendiri.” Teriak anak itu dengan amarah. “Aku bukan pelayanmu. Aku tahu kau tidak akan memukul aku. Kau tidak berani! Tapi, aku tahu kau terus-menerus menghukum aku dan membuatku seperti anak kecil dengan kesalehan dan kesenanganmu. Kau hanya ingin aku menjadi seperti kau, begitu alim, begitu lembut, begitu bijaksana. Tetapi, untuk segala kebencianku pada kau, aku lebih senang menjadi seorang pencuri atau pembunuh dan pergi ke neraka, ketimbang aku harus menjadi seperti kau. Aku benci kau. Kau bukan ayahku, meskipun engkau telah menjadi kekasih ibuku selusin kali.”
Penuh kegusaran dan kesedihan, dia akhirnya menemukan tempat untuk memuntahkan kata-kata kasar dan marah kepada ayahnya. Kemudian ank itu lari dan baru kembali pada larut malam.
Pagi berikutnya dia telah menghilang. Wadah bambu dengan anyaman di sekelilingnya, tempat kedua pengayuh itu menyimpan uang yang mereka terima sebagai upah, juga telah menghilang. Rakit mereka juga hilang. Christian melihat rakit itu di pinggir sungai yang lain. Anak itu telah pergi.
“Aku harus mengikutinya.” Kata Christian yang menjadi sangat sedih semenjak anak itu melontarkan kata-kata kasar padanya, pada hari sebelumnya. “Seorang anak tidak dapat berjalan sendiri melewati hutan. Dia akan mendapatkan celaka. Kita harus membuat rakit, Ahmad, supaya kita bisa menyeberangi sungai.”
“Kita akan membuat rakit.” Balas Ahmad. “Untuk mengambil rakit yang dilarikan anak itu. Tetapi, biarlah dia pergi, sahabatku. Dia bukan lagi anak-anak, dia sudah tahu cara mengurus dirinya sendiri. Dia sedang mencari jalan menuju kota, dan dia melakukan hal benar. Jangan lupakan itu. Dia hanya sedang melakukan sesuatu, yang engkau sendiri telah mengabaikan untuk melakukannya. Dia sedang mengurus dirinya sendiri. Dia sedang berusaha mencari jalannya sendiri. Christian, aku bisa melihatmu menderita, menderita kesakitan. Seharusnya engkau menertawakan dirimu sendiri.”
Christian tidak menjawab. Dia telah menggenggam kapak dan mulai membangun rakit dari bambu. Ahmad membantunya mengikat batang bambu sekedarnya dengan tali. Kemudian mereka menyeberangi sungai dengan rakit kecil itu, terbawa arus, tetapi rakit itu mengarah ke hulu menuju pinggir lain sungai itu.
“Mengapa engkau membawa kapak?” Tanya Christian.
“Mungkin dayung rakit kita hilang.”
Christian tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. Mungkin anaknya telah melemparkan dayung itu jauh-jauh atau mematahkannya sebagai pembalasan. Dan, memang tidak ada lagi dayung di rakit itu. Ahmad menghampiri rakit dan tersenyum kepada sahabatnya seakan mengatakan, Tidak tahukah engkau apa yang ingin dikatakan anakmu? Tidak tahukah engkau bahwa dia tidak ingin diikuti? Tetapi dia tidak mengatakan dengan kata-kata, dan Ahmad mulai membuat dayung. Christian berlari meninggalkan Ahmad untuk mencari anak lelakinya. Ahmad tidak sedikit pun berusaha menghalang-halanginya.
Christian sudah lama berada di dalam hutan ketika pikirannya mengatakan, percuma saja mencari anak itu. Atau, pikirnya, anak itu telah lama sekali meninggalkan hutan dan sudah mencapai kota, atau jika dia masih di jalan, dia akan bersembunyi menghindari pengejarnya. Dan, ketika dia membayangkan lebih jauh, dia merasakan dalam dirinya bahwa dia tidak lagi dipersulit oleh anaknya. Dalam hatinya dia hanya meyakini anaknya tidak mendapat kecelakaan atau diancam bahaya di hutan. Namun, dia tetap meneruskan perjalanannya dengan mantap, tetapi bukan lagi untuk menyelamatkan anaknya, melainkan dengan keinginannya untuk dapat bertemu anak itu sekali lagi. Christian terus berjalan hingga menuju pinggiran kota.
Ketika tiba di jalan besar dekat kota, dia berdiri tegak di gerbang menuju kebun indah yang menyenangkan, yang dulu pernah menjadi milik Kaylila. Tempat dulu dia pernah melihatnya duduk di bawah pohon untuk pertama kalinya. Masa lalu muncul di depan matanya. Sekali lagi dia melihat dirinya berada di sana, seorang pengembara muda, berjenggot dengan pakaian lusuh dan rambut penuh debu. Christian lama berdiri di sana dan memandang melalui gerbang terbuka ke dalam kebun. Dia melihat anak-anak kecil berlarian di antara bunga-bunga yang indah.
Dia merasakan gambaran sejarah hidupnya melintas dalam pandangannya. Dia lama berdiri di sana menatap keceriaan anak-anak itu, merasakan bayangan saat Christian muda dan Kaylila berjalan di bawah pohon tinggi. Dengan rasa yang jelas dia melihat dirinya dihampiri oleh Kaylila, dan menerima ciuman pertamanya. Dia melihat betapa dia dengan sombong dan memandang rendah melihat ke masa-masa pengembaraannya, betapa dia dengan bangga dan penuh dengan keinginan memulai kehidupan duniawinya. Dia melihat Yohanes, pelayan-pelayan, pemain-pemain dadu, musisi, dan wanita yang diajaknya bercinta. Dia melihat burung penyanyi Kaylila di sangkarnya. Sekali lagi dia merasa hidup kembali, menghirup napas kesengsaraan, lalu perlahan dia kembali ke masa tua dan letih, dan merasa muak dan ingin mati. Sekali lagi dia mendengarkan dari dalam diri panggilan kembali pada Tuhan.
Sesudah lama sekali dia berdiri tegak di gerbang kebun itu, Christian menyadari bahwa hasrat yang telah mendorongnya ke ini adalah bodoh. Bahwa dia tidak akan dapat menolong anaknya. Bahwa dia tidak akan dapat memaksakan diri pada anaknya. Dia memang merasakan telah menaruh cinta yang dalam kepada anak yang pergi itu, seperti luka, dan pada saat yang sama juga merasakan bahwa luka ini tidak untuk dibiarkan membusuk dalam dirinya, tetapi luka itu harus disembuhkan.
Karena luka itu tersembuhkan pada saat itu, dia merasakan kesedihan dalam diri. Di tempat yang dituju yang telah memaksanya kemari untuk mengejar anaknya, yang ada hanyalah kekosongan. Dengan sedih dia terduduk di pinggir jalan. Dia merasakan sesuatu mati dalam hatinya. Dia tidak lagi melihat kebahagiaan, baginya seakan tidak ada tujuan. Dia duduk di sana, merasa tertekan dan menunggu. Dia telah belajar hal ini pada sungai, untuk menunggu, untuk memiliki kesabaran dan untuk mendengarkan. Dia duduk dan mendengarkan di jalan penuh debu, mendengarkan suara jantungnya yang berdetak dengan sedih dan susah, serta menantikan suara-suara. Dia membungkuk di sana dan mendengarkan untuk beberapa jam lamanya. Tidak lagi dirinya melihat impian-impian. Dirinya terbenam dalam kekosongan dan membiarkan dirinya tenggelam tanpa melihat jalan keluar. Dan ketika dia merasakan luka itu bangkit, dia mencari Tuhan dalam diri, mengisi dirinya sepenuhnya dengan kehadiran Tuhan. Seorang anak kecil di dalam kebun itu melihatnya, dan ketika dia masih terus saja membungkuk dan debu mulai mengotori ubannya, anak kecil itu mendatanginya dan meletakkan dua roti di depannya, si orang tua tidak melihat anak kecil itu.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya dan membangunkannya dari keadaan tidak sadarkan diri. Dia mengenal sentuhan lembut dan penuh kasih itu. Dia tersadar, bangkit dan menyalami Ahmad yang telah mengikutinya. Ketika dia melihat wajah kasih Ahmad, memandang pada kerutan kecil yang ramah, memandang ke dalam matanya yang berbinar, dia juga tersenyum. Kini dia melihat roti yang tergeletak di hadapannya. Dia memungut roti itu, memberinya satu kepada sang pengayuh dan dia pun makan roti yang lain. Dengan diam Christian pergi bersama Ahmad menembus hutan lagi, kembali ke tempat penyeberangan. Mereka tidak membicarakan yang telah terjadi, tidak juga menyebutkan anak yang telah pergi itu. Mereka tidak membicarakan perjalanannya, tidak pula tentang luka itu.
Christian pergi ke tempat tidurnya di gubuk, dan ketika Ahmad mendatanginya beberapa waktu kemudian untuk menawarinya teh hangat, Ahmad mendapati Christian telah tertidur.

Sang Pengayuh Rakit

Aku akan tetap tinggal di tepi sungai ini, pikir Christian. Sungai yang sama yang sama yang aku seberangi dalam perjalananku ke kota. Seorang pengayuh rakit yang bersahabat telah menyeberangkan aku. Aku akan pergi mencarinya. Dulu dari atas rakit pengayuh itu aku telah menuju ke hidup baru yang kini sudah tua dan mati. Mudah-mudahan jalanku sekarang, hidup baruku, berawal dari sana.
Dia menatap sungai yang mengalir indah, melihat ke dalam kebeningannya, ke dalam garis-garis kristal rancang bangun yang memukau. Dia melihat mutiara kemilau muncul dari kedalaman, gelembung-gelembung berenang di atas kaca, langit biru memantul indah padanya. Sungai itu menatap balik padanya dengan ribuan mata – hijau, putih, kristal, biru langit. Betapa besar cintanya pada sungai itu. Betapa sungai itu telah menarik hatinya. Betapa dirinya begitu berterima kasih padanya. Di dalam hatinya, ia mendengar suara yang baru terjaga berbicara kepadanya, suara itu berkata, “Cintailah sungai ini, tinggallah engkau di tepinya, belajarlah darinya.” Ya, ia begitu ingin belajar dari sungai itu, dia ingin bisa mendengarkan sungai itu. Baginya, siapa pun yang mengerti rahasia sungai itu, akan mengerti lebih banyak lagi rahasia, semua rahasia.
Tetapi saat ini dia hanya mampu melihat satu dari rahasia-rahasia sungai itu. Satu yang begitu mencekam jiwanya. Ia melihat air yang terus-menerus mengalir dan selalu ada di sana. Air itu selalu sama dan setiap saat selalu baru. Siapakah yang dapat mengerti, memahami hal ini? dia sendiri pun tidak dapat memahami hal itu.
Chrisitian bangkit, kepedihan akan rasa lapar menjadi tidak tertahankan lagi. Dengan kesakitan yang tertahan ia berjalan di sepanjang tepi sungai, mendengarkan gemericik air, mendengarkan lapar yang semakin mengganggu dalam tubuhnya.
Ketika dirinya sampai di salah satu tepi, dia melihat rakit itu ada di sana, dan sang pengayuh yang dulu menyebrangkan seorang pengembara muda berdiri di atas rakit itu. Christian mengenalinya. Dia sudah semakin tua.
“Maukah anda menyeberangkan saya?” Tanya Christian.
Sang pengayuh rakit itu terkejut menyaksikan seorang pria terhormat terlihat sendirian berjalan kaki, lalu ia mempersilahkan Christian naik lalu menyeberangkan rakitnya.
“Anda telah memilih kehidupan yang baik.” Kata Christian. “Tentu saja baik sekali hidup di dekat sungai dan mengayuh rakit setiap hari.”
Pengayuh itu tersenyum, mengayuh dengan lembut.
“Baik, Tuan. Seperti yang anda katakan. Tetapi bukankah setiap kehidupan, setiap pekerjaan adalah baik?”
“Mungkin, tetapi saya iri pada pekerjaan dan hidup anda.”
“Oh, segera saja anda akan merasa bosan. Pekerjaan dan hidup seperti ini bukan untuk orang berpakaian bagus.”
Christian tertawa. “Hari ini saya telah dihargai dikarenakan pakaian yang saya kenakan, tetapi saya dihormati dengan kecurigaan. Jika anda berkenan, maukah anda menerima pakaian ini dari saya? Karena, bagi saya ini hanyalah gangguan. Karena, dengan segala kekurangan saya, saya ingin berkata jujur bahwa saya tidak mempunyai uang untuk membayar anda; yang telah menyeberangkan saya di sungai ini.”
“Tuan pasti sedang bersenda gurau.” Kata sang pengayuh itu sambil tertawa.
“Saya tidak sedang bersenda gurau, sahabatku. Dulu anda pernah menyebrangkan saya tanpa bayaran, dan karena saat ini pun anda menyebrangkan saya, ambillah pakaianku sebagai bayarannya.”
“Lalu, apakah tuan tidak akan mengenakan pakaian?”
“Saya lebih suka untuk berjalan lebih jauh. Saya akan lebih senang jika anda memberi baju tua kepada saya, dan tahanlah saya di sini sebagai pembantu. Dan, ijinkanlah saya belajar cara mengayuh rakit.”
Pengayuh itu menatap dengan penuh perhatian kepada orang asing di hadapannya untuk beberapa saat.
“Aku mengenal anda.” Akhirnya dia berkata. “Dulu anda tertidur di atas jerami di tepi sungai. Lama sekali sudah, mungkin lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Aku menyeberangkan anda dan kita berpisah sebagai sahabat. Bukankah anda seorang pengembara? Saya tidak dapat mengingat nama anda.”
“Nama saya Christian, dan saat terakhir anda melihat saya, saya masih seorang pengembara.”
“Selamat datang, Christian. Nama saya adalah Ahmad. Kuharap engkau bersedia menjadi tamuku hari ini, dan sekiranya berkenan maukah engkau tinggal di gubukku. Mungkin engkau bersedia menceritakan dari mana engkau datang dan mengapa engkau begitu letih dengan pakaian sebagus itu?”
Mereka telah sampai di tengah-tengah sungai, dan Ahmad mendayung lebih kuat untuk melawan arus. Dia mendayung tenang dengan lengannya yang kuat, sambil menatap ujung rakit. Christian duduk dan memandanginya dan ingat betapa dulu, dalam hari-hari terakhirnya sebagai pengembara, dia telah merasa sayang dengan pria di hadapannya.
Ketika mereka mencapai pinggir sungai, Christian membantu Ahmad mengikatkan rakitnya. Kemudian, Ahmad mengajak Christian ke gubuk kecilnya. Dia menawarkan roti dan air kepada Christian yang lansung disantap dengan penuh sukacita. Demikian juga dengan buah semangka yang dihidangkannya.
Akhirnya, ketika matahari mulai terbenam, mereka duduk di atas batang kayu dekat sungai dan Christian menceritakan padanya mengenai asalnya dan segala kehidupannya, hingga saat dia melihat hari ini setelah detik-detik keputusasaannya. Cerita itu baru berakhir saat malam telah larut.
Ahmad mendengarkan seluruh cerita Christian dengan penuh perhatian. Dia mendengarkan kisah asal dari masa kecilnya, tentang pelajarannya, tentang pencariannya, kesenangannya, dan kebutuhannya. Pengayuh itu mendengarkan dengan tenang dan baik. Itulah salah satu kelebihan sang pengayuh rakit, sifat terbaik yang dipunyai sedikit orang; dia mengetahui cara mendengarkan dengan baik. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sang pembicara akan merasakan bahwa Ahmad meresapkan kata-katanya dengan tenang, mengandung harapan bahwa dirinya tidak kehilangan sesuatu apa pun. Dia tidak membuat sesuatu terlihat tidak menyenangkan, dia menanti dengan penuh kesabaran. Dia tidak segera memberi pujian atau pun menyalahkan. Dia hanya mendengarkan. Christian merasa segalanya menjadi indah, saat dirinya memiliki seorang pendengar seperti itu, yang mampu menyerap kehidupan orang lain, usaha kerasnya, serta kesedihan-kesedihannya.
Namun, menjelang akhir cerita, ketika dia bercerita tentang pohon di tepi sungai dan keputusasaannya yang besar, tentang dirinya yang sempat kehilangan Tuhan, dan betapa sesudah tidurnya dia merasa begitu cinta kepada sungai yang mengajarkannya tentang kehidupan yang terus mengalir; sang pengayuh itu mendengarkan dengan perhatian dua kali lipat, benar-benar terserap, matanya tertutup.
Saat Christian mengakhiri ceritanya, dia terdiam menghayati kekosongan di antaranya. Dalam jeda itu, Ahmad berkata, “Itu seperti yang saya pikirkan. Sungai itu telah berbicara melalui hatimu. Sungai itu bersahabat kepada engkau juga. Menurutku itu baik, sangat baik. Tinggallah bersamaku, Christian, sahabatku.” Ahmad menatap Christian dengan penuh persahabatn. “Dulu aku pernah mempunyai seorang istri. Tempat tidurnya di sisi tempat tidurku. Tetapi, dia sudah lama meninggal. Aku kini harus hidup sendirian untuk beberapa waktu lamanya. Tinggallah bersama diriku di sini. Ada kamar dan makanan untuk kita berdua.”
“Terima kasih.” Kata Christian. “Terima kasih dan saya menerimanya. Saya juga berterima kasih padamu, Ahmad, karena engkau telah mendengarkan dengan demikian baik. Sedikit orang yang tahu cara untuk bisa mendengarkan, dan aku tidak menemukan orang yang dapat berbuat seperti dirimu. Untuk hal itu pun saya akan pelajar pada dirimu, Ahmad.”
“Engkau akan mempelajarinya.” Jawab Ahmad. “Tetapi bukan dari saya. Sungai itu telah mengajarkan saya cara mendengarkan. Engkau pun akan belajar darinya juga. Sungai itu mengetahui segala sesuatu melalui airnya yang melewati banyak hal. Setiap orang seharusnya bisa belajar darinya. Engkau telah belajar dari sungai itu, Christian. Saat engkau berusaha keras menuruninya, untuk tenggelam ke dalamnya, untuk bisa mencari tahu kedalamannya. Christian yang kaya dan terhormat akan menjadi seorang pengayuh rakit. Christian yang terpelajar akan melakukan pekerjaan yang dilakukan orang bodoh. Engkau memahami dan mempelajari hal itu dari sungai ini. Untuk itulah engkau akan mempelajari hal lain juga.”
Sesudah hening beberapa saat, Christian berujar. “Apakah hal lainnya itu?”
Ahmad tidak menjawab, dia bangkit dari duduk dan memandang air yang berkilat tertimpa cahaya bulan.
“Hari sudah larut.” Katanya. “Mari kita tidur. Saya tidak dapat menerangkan hal lain itu. Engkau akan menemukannya sendiri, sahabatku, atau barangkali engkau telah mengetahuinya. Saya bukanlah seorang yang terpelajar. Saya tidak tahu cara berbicara atau berpikir. Selain itu, saya tidak pernah mengajarkan apa pun. Seandainya saya dapat berbicara dan mengajar, mungkin saya akan menjadi seorang guru. Saya hanya tahu cara mendengarkan dan bagaimana menjadi seorang yang taat. Selainnya itu, kenyataannya aku adalah seorang pengayuh rakit, dan tugas saya adalah menyeberangkan orang-orang dari satu sisi sungai ke sisi yang lainnya. Saya telah menyeberangkan ribuan orang, dan bagi mereka sungai ini tidak berarti apa-apa kecuali rintangan bagi perjalanan mereka. Mereka yang pergi untuk memperoleh uang dan berdagang. Mereka pergi untuk menghadiri pernikahan dan berziarah. Sungai itu berada dalam perjalanan mereka, dan sang pengayuh rakit telah berada di sana untuk menyeberangkan mereka. Sang pengayuh akan ada di sana agar orang-orang bisa melewati rintangan dengan cepat.” Ahmad menghela nafasnya sejenak.
“Meskipun demikian, di antara ribuan, ada beberapa orang saja, mungkin sekitar empat atau lima orang, yang melihat sungai ini bukan sebagai hambatan. Mereka yang telah mendengar suaranya dan menjadikan sungai ini sebagai pelajaran bagi mereka, sama seperti bagi saya.” Ahmad menatap Christian. “Marilah sekarang kita tidur, Christian, sahabatku.”
Semenjak saat itu, Christian tinggal bersama-sama sang pengayuh rakit dan belajar bagaimana cara memelihara rakit. Dan, bila sedang tidak ada pekerjaan di tepi sungai itu, Christian akan mengikuti Ahmad bekerja di sawah, mengumpulkan kayu, dan juga memetik buah dari pepohonan. Dia belajar cara membuat tongkat dayung yang kokoh untuk rakit, cara memperbaiki rakit dan juga membuat keranjang. Dia menyenangi segala sesuatu yang dilewatinya bersama Ahmad. Yang dikerjakannya maupun yang dipelajarinya. Hari dan bulan pun berlalu dengan cepatnya. Selama waktu itu, Christian belajar terus-menerus dari sungai itu. Dia belajar bagaimana caranya mendengarkan. Mendengarkan dengan hati yang bening, dengan jiwa yang terbuka yang menunggu, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, dan juga tanpa pendapat. Hanya mendengarkan.
Dia melewati hari-hari yang bahagia bersama Ahmad. Mereka terkadang saling bertukar pikiran, sedikit kata-kata dan dipikirkan berlama-lama. Ahmad bukanlah seorang teman untuk berbincang-bincang. Christian sering kali gagal menggerakkannya untuk berbicara.
Pernah dia bertanya kepada Ahmad, “Pernahkah engkau juga mempelajari satu rahasia dari sungai, bahwa tidak ada barang seperti waktu?”
Senyum ceria mengambang di wajah Ahmad.
“Ya, Christian.” Katanya. “Apakah sama yang engkau maksudkan dengan diriku? Bahwa sungai itu ada di mana-mana dalam waktu yang bersamaan. Di mata air dan di muara, di air terjun, di penyimpangan, di tempat arus, di gunung-gunung, dan juga lembah-lembah. Di mana-mana. Dan sungai adalah apa yang terwujud saat ini, bukan sebagai bayangan masa lalu, dan bukan pula bentuk kabur masa depan?”
“Ya, itulah dia.” Jawab Christian. “Dan, bila saya mempelajari hal ini, saya kembali menyadari hakikat diri dari kehidupan saya adalah bentuk pantulan itu. Christian sebagai seorang anak kecil, Christian sebagai seorang pria dewasa, ataupun Christian orang tua, adalah bentuk pemisahan oleh bayangan, bukan oleh kenyataan. Hidup masa lalu yang aku alami bukan berada di masa lalu, dan pemahaman diriku untuk kembali pada Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di masa depan. Tidak ada apa-apa di masa lalu, dan tidak akan terjadi apa pun di masa depan. Sesuatu adalah segala bentuk yang memiliki kenyataan dan kehadiran. Semua itu adalah wujud sekarang.”
Chrsitian meluapkan kata-katanya dengan senang hati. Penemuan dan pemahaman ini telah membuat dia berbahagia. “Bukankah kemudian segala bentuk kesedihan dan kecemasan terbungkus rapi dalam waktu? Bukankah segala bentuk kejahatan dan keadaan buruk di dunia ini, sesegera akan dikalahkan oleh waktu?” Christian berbicara dengan berbahagia, tetapi Ahmad hanya menatapnya dengan tersenyum ceria, serta mengangguk menyatakan persetujuannya. Dia menepuk pundak Christian dan kembali pada pekerjaanya.
Di lain waktu saat sungai meluap dalam musim hujan dan bergemuruh dengan kerasnya, Christian bertanya pada Ahmad. “Benarkah, sahabatku, bahwa sebenarnya sungai mempunyai banyak suara? Dia yang sejatinya memiliki suara seorang raja, pahlawan perang, burung malam, wanita hamil, serta seribu suara lainnya?”
“Begitulah.” Ahmad mengangguk. “Suara-suara makhluk hidup ada di dalam suara sungai.”
“Dan, tahukah engkau.” Sambung Christian. “Kata apakah yang diucapkan ketika seseorang mampu mendengarkan ribuan suara itu pada waktu yang sama?”
Ahmad tersenyum gembira. Dia membungkuk kepada Christian dan membisikkan “Subhanallah” ke telinganya. Dan, hanya itulah yang didengar Christian. Sesuatu yang perlahan menggerakkan suara dalam dirinya, sesuatu yang terasa asing namun menenangkannya.
Hari demi hari yang berjalan, senyuman Christian mulai menirukan senyuman hangat sang pengayuh, hampir sama ceerianya, sama penuh kebahagiaan, sama bersinarnya melalui seribu keriput kecil, sama kekanak-kanakannya, sama tuanya. Banyak yang melewati sungai itu, bila bertemu dengan kedua pengayuh itu bersama, akan menjadikan mereka saudara. Sering mereka duduk bersama pada sore hari di atas batang kayu di tepi sungai. Dalam diam keduanya mendengarkan air, yang bagi mereka itu bukanlah sekedar air, melainkan suara kehidupan, suara Tuhan. Dan terkadang selagi mereka mendengarkan suara sungai, dalam benak keduanya teerlintas gagasan yang sama; mungkin mengenai percakapan sebelumnya, atau tentang salah seorang pelancong yang kehidupannya dan keadaannya menguasai pikiran mereka. Terkadang mereka juga membicarakan kematian, atau masa kecil mereka. Dan saat sungai mengatakan sesuatu yang baik kepada mereka di saat yang sama, mereka akan saling memandang, lalu keduanya akan berbahagia atas jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama.
Sesuatu yang tersirat di sekitar mereka maupun dari dalam diri mereka, begitu hangat dirasakan oleh orang yang melewati tempat itu. Seringkali terjadi apabila seseorang melihat wajah salah satunya, mereka akan membicarakan dan mencurahkan permasalahan mereka. Soal hidup dan kesulitannya, mengakui dosa-dosa, lalu mereka akan meminta penghiburan dan saran. Hingga beberapa kali seseorang akan meminta izin untuk bermalam bersama mereka, hanya agar bisa mendengarkan sungai. Lalu, di kemudian hari ada juga orang-orang yang berdatangan karena mereka mendengar kabar tentang dua orang bijak, tukang sulap, atau orang suci yang tinggal dekat penyeberangan. Orang-orang yang begitu ingin tahu itu lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban. Mereka juga tidak menemukan tukang sulap, orang suci maupun orang bijak. Mereka hanya akan melihat dua orang tua yang bersahabat, yang selalu membisu, agak aneh dan terlihat bodoh. Kemudian orang-orang yang ingin tahu itu akan tertawa dan mengatakan betapa bodoh dan percayanya orang-orang akan desas-desus liar seperti itu.
Dalam hari keduanya, mereka tidak pernah meributkan tentang kepercayaan dan keyakinan di antaranya. Chrsitian mempercayai hakikat dirinya sebagai hamba. Dirinya akhirnya menyadari semua bergerak atas kehendak Tuhan, dirinya tidak lagi berkehendak untuk menjadi tunggal dengan Tuhan. Meskipun, dalam kesehariannya bersama Ahmad, dia belum menemukan caranya untuk menjadi hamba. Dirinya tidak banyak bertanya tentang keyakinan Ahmad. Dia hanya memperhatikan sahabatnya melakukan gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya saat bersama para musafir, dan saat berada di As-Salam. Dia melihat sahabatnya berpuasa pada hari senin dan kamis, dan juga membaca kitab yang dia tidak memahami artinya, hanya saja dia merasakan kedamaian saat Ahmad melantunkannya dengan kemerduan.
Di antara hari-hari yang dilewati keduanya pun Ahmad tidak pernah membicarakan dan memaksakan apa yang diyakininya pada sahabatnya. Mereka berpikir dengan diri mereka sendiri, dan saling memahami serta menghargai di antaranya. Terbebas dari apa yang mereka yakini, mereka mempunyai gagasan, pemikiran, dan jawaban yang sama atas hakikat diri sebagai manusia dan menyikapi kehidupan.
Tahun-tahun berlalu dan tidak seorang pun memperhatikan mereka. Hingga pada suatu hari, datanglah beberapa pria dengan penutup di kepala mereka, yang kemudian Christian mengetahui bahwa mereka adalah Jemaah Kyai Bahdarudin Syamawi. Mereka minta diseberangkan. Kedua pengayuh itu mengetahui bahwa mereka sedang tergesa-gesa kembali pada guru mereka. Di luar lingkungan yang tidak tersentuh kedua pengayuh itu, tersebar kabar bahwa sang kyai sedang menderita sakit keras. Dirinya diperkirakan dalam kondisi akan mengalami kematian makhluk hidup. Beberapa saat kemudian, rombongan jemaat lainnya datang minta diseberangkan disusul jemaat berikutnya. Seperti kebanyakan di antarany, mereka selalu membicarakan tentang Kyai Bahdarudin Syamawi. Seperti orang-orang yang akan menghadiri penobatan seorang kepala negara, mereka berbondong-bondong seperti lebah yang berkerumun, tertarik oleh satu magnet. Mereka ingin melihat sang kyai yang terbaring di ranjangnya, mereka ingin mendoakannya, mereka ingin ada di dekatnya apabila pria itu kembali menuju keabadian.
Banyak hal terlintas dalam pikiran Christian pada waktu itu. Benaknya dipenuhi hal-hal tentang pria suci itu, yang suarany telah memukau ribuan orang, yang suaranya dulu pernah dia dengarkan, yang wajahnya dulu pernah dilihatnya dengan perasaan kagum. Dengan penuh kasih dia memikirkannya, dia tersenyum lalu termenung saat memikirkan kata-kata yang pernah diucapkannya dulu. Saat dia berkata sebagai orang muda kepada yang telah mendapatkan cahaya penerangan. Dia merasa bahwa kata-kata itu terlalu sombong dan terlalu cepat dewasa. Lama sekali akhirnya dirinya menyadari bahwa dia tidak terpisahkan dengan Kyai Bahdarudin Syamawi, meskipun dia tidak dapat menerima ajaran-ajarannya. Baginya, seorang pencari yang sesungguhnya tidak dapat menerima ajaran-ajaran apa pun, tidak pula bila dia dengan sungguh-sungguh berharap memperoleh sesuatu. Tetapi dia yang telah mendapatkan, dapat memberikan keputusan kepada setiap jalan. Setiap tujuan.
Suatu hari, saat semakin banyak orang yang ingin melihat keadaan Kyai Bahdarudin Syamawi, Kaylila, yang dulu adalah seorang pelacur tercantik, juga sedang dalam perjalanan ke sana. Dia yang telah lama pensiun dari cara hidup yang sebelumnya, telah menghadiahkan kebunnya kepada para yatim dan piatu. Kini dia telah mencari perlindungan dalam ajaran-ajaran Kyai Bahdarudin Syamawi. Ketika dirinya mendengar pria itu sedang dalam keadaan menanti sakratul maut, dia mulai berjalan kaki bersama anak lelakinya, dalam balutan pakaian yang sederhana. Hingga mereka mencapai sungai dalam perjalanan mereka. Anak lelaki itu terlihat letih, dia yang begitu ingin pulang, ingin sekali beristirahat, dan ingin makan. Dia sering merajuk dan menangis. Kaylila berusaha menenangkannya dan seringkali akhirnya menemaninya beristirahat. Anak itu dalam ketidaktahuannya terpaksa mengikuti kemauan ibunya, hinnga ibunya terus menghiburnya atau sesekali menghardiknya. Anak itu sedikit pun tidak memahami, mengapa ibunya harus melakukan perjalanan yang menyedihkan dan begitu meletihkan menuju tempat yang tidak dikenalnya, menuju seorang pria yang asing dan sedang sekarat. Biarlah dia meninggal, lalu apa urusannya dengan anak kecil itu?
Kaylila dan anak lelakinya tidak jauh dari penyeberangan Ahmad, ketika Christian kecil mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin beristirahat. Kaylila sendiri telah meras letih, dan ketika anak lelaki itu memakan rotinya, dia meringkukkan badannya ke tanah, setengah menutup mata dan beristirahat. Namun, tiba-tiba Kaylila berteriak kesakitan. Terkejut, anak lelakinya memandang kepadanya dan melihat wajah ibunya menjadi pucat dan penuh dengan ketakutan. Dari balik bajunya yang seperti jubah muncul ular bersisik hitam yang telah menggigit Kaylila, dan kini merangkak pergi.
Mereka berdua berlari tergesa-gesa agar bisa menemukan orang. Ketika mereka tiba di dekat penyeberangan, Kaylila terjatuh dan tidak dapat pergi lebih jauh lagi. Anak lelaki itu berteriak minta tolong, sambil terus menciumi dan memeluk ibunya. Kaylila kemudian juga menangis kuat-kuat, hingga suaranya terdengar oleh Ahmad yang sedang berdiri di penyeberangan itu. Ahmad dengan cepat lalu menghampiri, mengangkat wanita itu lalu membawanya ke rakit. Anak lelaki itu mengikutinya, dan mereka bersama-sama pergi ke gubuk, tempat Christian sedang berdiri dan menyalakan api. Dia melihat ke arah pintu masuk, dan yang pertama dilihatnya adalah wajah anak lelaki itu, yang dengan anehnya mengingatkan dia akan sesuatu. Kemudian dia melihat Kaylila, yang dengan segera dikenalinya, meskipun dia sedang terbaring dia sadarkan diri dalam pelukan si pengayuh.
Luka Kaylila dicuci, tetapi sudah menghitam dan tubuhnya telah membengkak. Kaylila diberi obat penyegar dan kesedarannya pun pulih. Dia terbaring di atas dipan milik Christian, di gubuknya, dan Christian yang dulu pernah sangat dicintainya membungkuk di atasnya. Kaylila mengira bahwa ia sedang bermimpi, dan tersenyum. Ia meneliti wajah kekasihnya. Pelan-pelan dia menyadari keadaannya, mengingat gigitannya dan memanggil anak lelakinya dengan penuh keinginan.
“Jangan khawatir.” Kata Christian, “Dia di sini.”
Kaylila memperhatikan dalam mata Christian. Dia kelihatan sangat sulit sekali menggerakkan lidahnya dengan racun yang menyebar dalam sistem peredaran darahnya. “Engkau telah menjadi tua, kekasihku.” Katanya lemah. “Engkau telah banyak beruban, tetapi engkau tetap terlihat seperti seorang pengembara muda yang dulu datang kepadaku di kebunku, dengan baju lusuh dan kaki penuh debu. Engkau saat ini lebih menyerupai dirinya, ketimbang saat engkau meninggalkan Yohanes dan diriku. Sinar matamu seperti sinar matanya, Christian. Ah, aku juga telah menjadi tua, apa engkau masih mengenal diriku?”
Christian tersenyum. “Segera saja aku mengenal engkau, Kaylila, kekasihku.”
Kaylila menunjuk anak lelakinya dan berkata, “Kenalkah engkau dengannya juga? Dia adalah anak lelakimu.”
Christian menatap kepada wajah yang telah mengingatkannya akan sesuatu, dan jantungnya berdegup dengan cepat.
Mata Kaylila berputar dan tertutup. Anak lelaki itu menangis. Christian mebiarkan anak lelaki itu menangis di lututnya sambil ia mengusap rambutnya. Melihat wajah anak itu, Christian ingat nyanyian ayahnya yang didendangkan untuknya saat ia bersedih. Dengan pelan bagai bergumam, dia mulai mengalunkan nyanyian itu. Kata-kata itu keluar lalu kembali padanya meninggalkan masa lalu dan masa kanak-kanaknya. Anak itu menjadi diam ketika Christian bernyanyi, masih sesegukan dan kemudian tertidur. Christian mengangkat anak itu ke atas tempat tidur milik Ahmad. Ahmad berdiri di dekat tungku menanak nasi. Christian memandang kepada Ahmad dan tersenyum kepadanya.
“Dia sedang menghadapi sakratul maut.” Kata Christian lembut.
Ahmad mengangguk. Cahya api dari tungku memantul pada wajahnya yang penuh belas kasihan itu.
Kaylila sadar kembali. Ada rasa sakit yang membayang pada wajahnya. Christian melihat kerut kesakitan itu pada mulut Kaylila, pada wajahnya yang pucat. Dengan tenang ia menatapnya penuh perhatian, menunggu, berbagi rasa sakit dengan Kaylila, kekasihnya. Kaylila merasakan hal itu, pandangannya berusaha mencari Christian.
Ssambil melihat kepadanya, Kaylila berkata, “Matamu juga telah berubah, aku melihat itu. Mata itu telah menjadi sangat berbeda. Bagaimana aku mengenali bahwa engkau masihlah Christian? Engkau adalah Christian, tetapi engkau tidak terlihat seperti dirinya.”
Christian tidak berbicara. Dengan diam dia menyelidik dalam mata Kaylila.
“Engkau telah menemukannya?” Tanya Kaylila. “Telah engkau temukan kedamaian?”
Dia tersenyum dan meletakkan tangannya ke tangan Kaylila.
“Ya.” Kata Kaylila dengan suara bergetar. “Aku melihatnya. Aku juga akan menemukan kedamaian.”
“Engaku telah menemukan kedamaian itu.” Bisik Christian.
Kaylila memandang Christian terus-menerus. Kaylila telah berniat melakukan perjalanan suci menuju tempat Kyai Bahdarudin Syamawi, untuk bertemu pria suci itu, untuk menemukan sedikit kedamaiannya, tetapi nyatanya dia hanya menemukan Christian, dan itu pun sudah baik baginya, sebaik seandainya dia telah melihat yang lain. Dia ingin mengatakan hal itu kepada Christian, tetapi lidahnya sudah mulai sulit digerakkan. Dengan diam dia menatap kepada Christian, dan Christian mulai melihat kehidupan perlahan surut dari matanya.
“Izinkan aku, sahabatku.” Ahmad berlutut di sisi Kaylila, tepat di samping kepalanya. “Dia telah memilih jalan Kyai Bahdarudin Syamawi, berarti dia telah memilih jalanku. Biarkan aku membimbingnya menuju Tuhan dengan ajaran yang dipahaminya.” Ahmad menatap Christian yang dijawab dengan anggukan.
“Ikuti aku, wahai kekasih sahabatku.” Ahmad menatap mata Kaylila meminta persetujuannya.

Asyhadu an Laa Ilaaha Illallahu wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah

Ucapan itu diulangi Kaylila dengan terputus-putus dan bergetar, hingga saat terakhir kehidupannya mencapai puncak dan lepas dari matanya, saat getaran terakhir berlalu dari tubuhnya. jari-jemaari Christian mengusap lembut kedua mata Kaylila.
Lama dia duduk di sana dan memandangi wajah mati itu. Lama dia menatap mulut Kaylila, mulut tua yang letih dengan bibir yang berkerut. Dirinya ingat betapa dulu pada masa hidupnya yang sedang segar-segarnya, dia telah membandingkan bibir Kaylila dengan kesegaran dan rasa yang penuh kemanisan. Lama sekali dia menatap wajah pucat itu dengan penuh perhatian. Menatap kerutan-kerutan letih dan melihat wajahnya sendiri seperti itu, putih dan juga mati. Dan, pada saat yang sama dia juga melihat wajahnya sendiri dan wajah Kaylila, muda denga bibir merah, dengan mata menawan dan dia dipenuhi oleh perasaan kini dan kehadiran pada masa sekarang. Pada saat itulah dia merasakan dengan sungguh-sungguh sebentuk kehidupan yang tidak bisa dirusakkan, keabadian pada setiap saatnya.
Saat dirinya tersadar dan beranjak, Ahmad menawarkan sedikit nasi padanya, tetapi Christian tidak makan. Di dalam kandang, tempat kambing jantan tinggal, kedua orang tua itu mengatur jerami dan Ahmad berbaring di atasnya. Christian beranjak keluar dari gubuk dan duduk di tepi sungai sepanjang malam, mendengarkan suara sungai. Dirinya tenggelam dalam masa lalu, dan secara bersamaan dipengaruhi dan diliputi seluruh periode masa hidupnya.
Dia kemudian bangkit, berjalan menuju pintu gubuk, memastikan bahwa anak lelakinya masih tertidur.
Pagi-pagi sekali, sebeblum matahari terlihat, Ahmad keluar dari kandang dan berjalan menuju sahabatnya.
“Engkau tidak tidur?” Tanyanya.
“Ya. Aku duduk di sini dan mendengarkan sungai. Sungai itu menuturkan pada diriku banyak hal. Sungai itu telah mengisi aku dengan banyak pikiran.”
“Engaku telah mendeerita, Christian, tetapi aku tidak melihat sedikit pun kesedihan memasuki hatimu.”
“Ya, sahabatku. Mengapa diriku harus merasa bersedih? Aku yang kaya dan bahagia masih tetap menjadi lebih kaya dan lebih bahagia. Anakku telah diberikan kepadaku.”
“aku juga menyambut kedatangan anakmu. Tetapi, sekarang, Christian, marilah kita bekerja. Masih banyak yang harus kita kerjakan. Kaylila meninggal di tempat tidur yang sama dengan tempat istriku meninggal. Kita akan memakamkan dirinya dengan jalan ajarannya. Jika engkau tidak keberatan, Kaylila biarlah kita kuburkan di dekat makam istriku.”
Christian tidak berkata apa pun, dia hanya mengangguk.
Ketika anak lelaki itu masih tertidur, mereka menggali sebuah lubang, setelah sebelumnya Ahmad meminta seorang wanita dari perkampungan – untuk memandikan dan mengkafani Kaylila.

Air Yang Mengalir

Christian melangkah memasuki hutan, dirinya telah jauh dari kota, dan hanya mengetahui satu hal – bahwa dia tidak dapat lagi kembali, bahwa kehidupan yang telah dijalaninya bertahun-tahun itu kini telah berlalu, telah dinikmatinya dan telah mengering hingga sampai pada tingkat kemuakan. Burung kenari itu telah mati. Kematiannya yang telah tergambarkan dalam mimpi, adalah kematian diri dalam hati Christian sendiri. Dia terjerat begitu dalam di lingkaran kesengsaraan. Dirinya telah dijerat oleh kemuakan dan kematian dirinya dari segala sisi. Dia telah dipenuhi perasaan bosan, dipenuhi oleh kemiskinan, dan juga dipenuhi dengan kematian. Tidak ada lagi benda di dunia yang dapat memberinya kepuasan serta pelipur lara.
Dia dengan sebentuk kesabaran tersisanya berusaha melupakan segalanya, mencoba untuk beristirahat. Dirinya yang begitu ingin sekali untuk mati. Berharap ada kilat yang menyambarnya, berharap seekor harimau datang dan memangsanya. Dirinya berandai bila ada sebotol anggur, atau sedikit racun, agar dirinya diberi kesempatan untuk bisa melupakan segala kesakitannya, membuat dirinya bisa melupakan segalanya, membuatnya tertidur dan tidak akan pernah bangun lagi. Dirinya merasa begitu penuh noda, noda yang dicorengkannya sendiri atas dirinya, segala bentuk dosa dan ketololan yang dia telah terlibat di dalamnya, dosa yang dia sendiri tidak sanggup lagi untuk bertanggung jawab atasnya. Masihkah ada kemungkinan baginya untuk terus hidup dan diampuni? Masihkah dirinya diberi dan dimungkinkan untuk itu? Masihkah dia bisa dengan lapang menarik napas terus-menerus, mengeluarkan napas, merasa lapar, merasakan nikmatnya makanan, tidur dan tidur dengan perempuan lagi? Dia lalu merasakan lingkaran ini meletihkan dirinya dan merasa harus mengakhirinya.
Langkah kakinya mengantarkan dirinya hingga di tepi sungai di dalam hutan, sungai yang sama tempat dulu dirinya diseberangkan oleh pengayuh rakit, saat dirinya masih begitu muda dan baru saja dari tanah tersuci. Dia berhenti dan berdiri dengan penuh keraguan di tepi sungai itu. Keletihan dan kelaparan telah melemaskan seluruh tubuhnya. Mengapa harus lebih jauh lagi, ke mana, dan untuk tujuan apa? Tidak ada lagi tujuan. Batinnya. Sudah tidak ada lagi sesuatu kecuali keinginan untuk melenyapkan impian-impian yang sangat membingungkan, untuk memuntahkan seluruh anggur yang masam, untuk mengakhiri hidup yang pahit dan menyakitkan ini.
Ada sebatang pohon kelapa di tepi sungai itu. Chrsitian duduk di pohon itu pada lengkungannya. Dia memandang ke bawah, ke air yang bening yang mengaliri sungai itu. Dia melihat ke dalamnya dan hasratnya timbul untuk menyelam ke dalam air. Kekosongan yang dingin dalam air itu memantulkan kekosongan yang mengerikan dalam jiwanya. Dirinya merasa berada pada akhir hayatnya. Tidak ada sesuatu lagi bagi dirinya selain melenyapkan diri, untuk menghancurkan susunan kehidupan dirinya yang telah gagal, membuangnya jauh-jauh, dan merasa dirinya telah ditertawakan oleh keadaan. Pada segala bentuk perbuatan dosa yang telah dilakukannya, untuk menghancurkan segala bentuk yang dia benci. Dia ingin agar ikan-ikan menggerogoti dagingnya sedikit demi sedikit, Christian si anjing, orang gila, bangkai yang tubuhnya telah rusak dan busuk, jiwa yang telah menempati raga yang salah. Biarkan ikan-ikan menghabisinya, biarkanlah para iblis melumatkannya.
Dengan wajah yang berubah-ubah, ia memandang ke dalam air. Dia melihat pantulan wajahnya, lalu dia meludahinya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke samping hingga dia terguling lalu terjerambab. Dengan mata yang tertutup dia melengkungkan tubuhnya – menuju kematian.
Lalu dari jiwanya yang berada jauh di kedalaman, dari masa lalunya yang terasa letih, dia mendengarkan suara. Sebuah kalimat yang meluncur secara tidak jelas dari bibirnya, yang akan menjadi awal dan akhir dari doa-doanya, tingkat kesadarannya yang akan menjadikan hidupnya kembali bermakna. Yang saat suara itu kembali pada telinganya, jiwanya yang sudah tidak hidup lagi itu tiba-tiba sadar, dan dia mengenali ketololan tindakannya. Lalu dengan lirih dia terus mengulangi ucapannya

Kembalilah pada Tuhan

Christian lalu merasa begitu ketakutan. Itulah yang dia derita. Dia merasa begitu kehilangan, sedemikian bingung, menjadi begitu kehilangan alasan, sehingga akhirnya dia mencari kematian. Keinginan itu menjadi begitu kuat dalam dirinya, tumbuh dengan begitu ganasnya mencengkram jiwanya; dirinya berusaha untuk menemukan kedamaian dengan cara menghancurkan tubuhnya.
Segala siksaan lalu menjadi sesuatu yang berlalu, segala keputusasaan menjadi punah saat kata-kata itu terus terulang dari bibirnya. Perlahan dia mengenali segala kemalangan dan kejahatannya. “Kembalilah pada Tuhan.” Suaranya terdengar lirih, dan dia mulai menyadari dirinya sepenuhnya adalah manusia, seorang hamba, kesadaran terdalam yang tidak akan dapat dihancurleburkan. Dia ingat segala kebaikan yang telah dilupakannya, segala kebaikan yang telah menjaganya.
Segalanya berlalu, semuanya terjadi begitu cepat. Christian menarik tubuhnya, lalu membenamkan diri di dekat akar-akar pohon kelapa itu. Dirinya begitu dikuasai oleh kelelahan. Sambil terus mengucapkan kata-kata yang sama, dia membaringkan kepalanya pada akar pohon dan kemudian dirinya terlelap.
Tidurnya begitu pulas tanpa mimpi. Entah untuk waktu berapa lama dia tidak pernah tertidur seperti itu. Saat dirinya terjaga, setelah beberapa jam tertidur, dia merasakan seolah-olah sepuluh tahun telah berlalu. Dia mendengarkan riak lembut air sungai yang mengalir. Dia tidak mengetahui tempat dirinya sekarang berada, dan tidak mengetahui apa yang telah membawanya kemari. Lalu, dia menengadah dan terkejut melihat pohon-pohon dan langit di atasnya. Dia kemudian ingat tempat dirinya berada dan bagaimana cara dirinya datang kemari. Dia merasakan keinginan yang kuat untuk tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Baginya kini masa lalu terlihat bagaikan diliputi kabut, terasa begitu jauh, terasa begitu tidak penting. Dia hanya mengetahui bahwa hidupnya yang baru saja berlalu telah berakhir, hidup yang penuh kemuakan dan kemalangan yang ingin dihancurkannya. Dirinya merasa bagaikan mengalami inkarnasi yang jauh, merasa seperti awal kali saat dirinya pertama kali terlahir, meskipun pada kenyataannya dia telah sampai di tepi sungai itu, mengucapkan kesadaran akan hakikat diri, hingga dirinya terlelap.
Lalu dia merasa tidurnya menjadi begitu indah. Sudah sekian lama dia tidak pernah tertidur demikian. Tidur itu seakan menyegarkan dirinya, memperbaruinya, sedemikian meremajakannya. Kemudian dia berpikir, mungkin saja dia telah benar-benar mati, mungkin saja dirinya telah mati tenggelam, dan kemudian terlahir kembali dalam bentuk lain. Tetapi tidak demikian, dia mengenali dirinya, dia mengenal kaki dan tangannya, tempat dia membaringkan dirinya, keinginan dirinya, pribadinya. Christian telah berubah, dia yang tertidur dengan lelap kini telah terjaga dengan kagum, bahagia dan penuh kedamaian.
Christian berdiri dan melihat seorang wanita dengan jubah dan kerudung menutupi dirinya. Wanita itu duduk, dengan wajah terbuka. Parasnya terlihat lebih cantik dari yang mampu diingat Christian. Tidak perlu waktu lebih lama untuk Christian mengenali perempuan itu, Angelina, teman masa mudanya, sahabat terkasihnya. Angelina yang telah berlindung dalam ajaran Kyai Bahdarudin Syamawi. Angelina juga sudah lebih tua, tetapi aura keindahan semakin terpancar dari wajahnya; hasrat, kesetiaan, keingintahuan, dan tanpa kecemasan. Tetapi, saat Angelina merasakan tatapan Christian, dia melihat kepadanya. Christian merasakan kalau Angelina tidak mengenali dirinya. Yang terlihat hanyalah kesenangan karena dirinya telah terjaga, seperti dirinya telah lama duduk di sana menanti Christian terbangun.
“Saya tertidur?” Tanya Christian. “Bagaimana engkau datang kemari?”
“Anda tertidur, tuan.” Jawab Angelina, “Dan, tidak baik tidur di tempat seperti ini, di tempat yang biasa didatangi ular dan binatang-binatang dari hutan. Saya sedang berjalan bersama para jemaah Kyai Bahdarudin Syamawi, dan kami baru saja kembali dari pondok pesantren di desa sebelah. Saat hendak mengambil air, saya melihat anda tertidur di tempat yang berbahaya. Karenanya, saya mencoba membangunkan anda, dan saat saya mengetahui anda tertidur lelap sekali, saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini dan duduk menjaga anda. Tetapi, ternyata saya yang begitu ingin menjaga anda, kelihatannya ikut tertidur pula. Rasa letih sepertinya begitu menguasai saya, sehingga saya tidak dapat menjaga anda. Tetapi, sekarang anda telah bangun. Karena itu, saya harus segera kembali pada saudara-saudara saya.
“Terima kasih untuk penjagaan anda selama saya tertidur. Saya yakin seluruh jemaat Kyai Bahdarudin Syamawi adalah orang-orang yang baik. Sekarang, teruskanlah perjalanan anda.”
“Saya akan pergi. Mudah-mudahan anda akan baik-baik saja. Semoga Tuhan selalu melindungimu.”
“Terima kasih.”
Angelina membungkuk dan mengatakan, “Assalamualaikum.”
“Selamat jalan, Angelina.” Kata Christian.
Wanita itu tertegun.
“Maaf, tuan, bagaimana anda mengetahui nama saya?”
Setelah itu, Christian tertawa.
“Aku mengenalmu Angelina, sejak dari rumah ayahku, dan sejak masa aku belajar pada ayahmu, dan semenjak hari-hari kita melawan keinginan duniawi, dan sejak saat kita memutuskan menjadi musafir, serta sejak saat kita di tanah tersuci, di As-Salam saat engkau bersumpah setia kepada Kyai Bahdarudin Syamawi.”
“Engkaukah itu Christian?” Teriak Angelina tertahan. “Kini aku mengenal dirimu. Aku juga tidak bisa mengerti mengapa aku tidak bisa mengenalimu dengan segera. Alangkah senangnya aku bisa bertemu engkau kembali.”
“Aku juga senang bertemu dirimu lagi. Kau telah menjaga diriku selama tertidur, meskipun aku tidak memerlukan penjaga. Kemana engkau akan pergi, sahabatku?”
“Aku bersama para jemaah lainnya dalam perjalanan kembali. Sebelumnya, kami berencana singgah di salah satu pondok pesantren di desa berikut. Hidupku kini mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, membaca kitab, mengumpulkan derma, dan juga shalat. Ada banyak hal yang telah diriku pelajari bersama dengan kepercayaanku saat ini. Sebuah siklus kehidupan yang tidak pernah kita pahami sebelumnya. Lalu, kemanakah engkau akan pergi, Chrsitian?”
Christian berkata, “Aku masih sama seperti dengan yang engkau kenali terakhir kalinya, aku masih seorang musafir. Aku tidak pergi kemana-mana, aku selalu ada di jalanan.”
“Engaku mengatakan engkau seorang musafir, dan aku akan percaya itu.” Kata Angelina. “Tetapi, maafkan aku Christian, engkau tidak terlihat seperti seorang musafir. Engaku mengenakan pakaian orang kaya, engkau mengenakan sepatu layaknya orang yang memahami mode, dan rambutmu yang berkilat dan wangi, bukanlah rambut seorang musafir.”
“Engkau menyadari segalanya dengan baik, Angelina.” Jawab Christian. “Kau melihat segala sesuatu dengan penglihatan yang cermat. Tetapi, apakah menurut yang engkau pahami bahwa seorang musafir adalah orang yang harus terlihat lebih hina dari orang yang awam?”
“Tidak ada penekanan seperti itu. Baiklah, engkau adalah seorang musafir. Lalu, ada berapa banyak musafir yang berjalan dengan pakaian seperti itu? Dan, diriku yang telah berjalan bersamamu dalam waktu yang lama di masa lalu, tidaklah kita pernah menemui musafir yang berpakaian seperti itu.”
“Baiklah, aku tidak akan mendebatmu. Tetapi, hari ini engkau telah melihat seorang musafir yang mengenakan pakaian dan sepatu seperti itu. Ingatlah, Angelinaku tercinta, dunia penampilan adalah fana. Gaya pakaian dan rambut adalah fana. Kau telah meneliti dengan baik. Aku mengenakan pakaian orang kaya. Aku mengenakan pakaian itu karena aku telah menjadi orang kaya, dan aku mengatur rambutku seperti orang-orang dunia fashion, karena aku telah menjadi salah satu dari mereka.”
“Lalu, apa yang telah engkau kerjakan, Christian?”
“Aku tidak tahu. Aku mengetahui seperti engkau mengetahuinya. Aku ada di jalanan. Dulu aku adalah orang kaya, tapi hari ini aku bukan lagi orang kaya dan aku tidak tahu akan jadi apa esok hari.”
“Apa engkau telah kehilangan kekayaanmu, Christian?”
“Aku telah kehilangan kekayaanku, ataukah kekayaan telah kehilangan aku – aku tida yakin. Roda penampilan berputar dengan sangat cepat, Angelina. Dimanakah Christian putra seorang pelacur? Dimanakah Christian seorang musafir? Dimanakah Chrsitian si orang kaya? Kefanaan akan terus berubah dengan cepat, Angelina. Apa engkau tahu itu?”
Lama Angelina terdiam dan menatap wajah teman masa mudanya dengan tatapan ragu. Kemudian dia membungkuk kepadanya, seperti orang melakukannya pada orang yang lebih terhormat, mengucapkan salam, lalu berbalik meneruskan perjalanan.
Tersenyum hangat, Chrsitian menyaksikan kepergiannya. Christian masih tetap mencintainya, teman yang punya rasa ingin tahu lebih dan penuh kesetiaan. Dan, pada saat itu, dirasakan betapa hatinya tenang sekali, sesudah tidurnya yang begitu lelap, betapa dia bisa merasakan ada begitu banyak kedamaian dalam hatinya. Dia merasakan ada banyak cinta dalam hatinya terhadap segala sesuatua yang terlihat baginya. Dan sepertinya hal itulah yang membuatnya begitu sakit di masa lampau, karena dirinya tidak dapat mencintai sesuatu ataupun seseorang.
Senyumnya masih tergaris saat wanita itu perlahan menghilang dari pandangannya. Tidur telah menyegarkannya, tetapi dia merasakan lapar yang begitu kuat karena dia belum makan selama dua hari. Dia perlahan mengingat hal yang telah dibualkannya pada Kaylila, tentang seni yang tidak dapat dilihat dan begitu anggun. Berpikir, menunggu, berpuasa, bersabar dan berdoa. Lima hal yang telah menjadi kekuatannya. Dia telah melewati untuk mempelajari hal ini, dan tidak ada hal lainnya selama tahun-tahun penuh kerajinan dan ketekunan pada masa mudanya. Kini dia telah kehilangan kelimanya, dia tidak lagi memiliki kelimanya. Dia telah menukar kelimanya dengan hal-hal yang paling buruk, dengan kefanaan, dengan segala kesenangan rasa, dengan kehidupan sombong dan kekayaan. Dia telah melewati jalan yang asing.
Christian perlahan menggumamkan keadaanya itu. Dia merasa begitu sulit untuk berpikir. Dirinya merasa tidak sedikitpun memiliki hasrat untuk berpikir, tetapi dia terus memaksakannya.
Sekarang, pikirnya, semua barang fana itu telah lepas dari diriku lagi, aku sekali lagi berdiri di bawah terik mentari, seperti dulu saat aku berdiri seperti seorang anak kecil. Tidak ada lagi sesuatu pun yang menjadi milikku, aku tidak lagi mengetahui apa pun. Betapa anehnya! Kini, ketika aku tidak lagi muda, saat rambutku dengan cepat beruban, saat tenagaku mulai menyusut, aku kembali menjadi seperti seorang anak kecil kembali. Dia kembali tersenyum dan berpikir hidupnya aneh. Dia mengalami penyurutan, dan kekosongan yang dalam. Dia berdiri telanjang dan bodoh di dunia ini. tetapi, dia tidak sedikit pun bersedih hati karena itu. Bahkan ada keinginan yang begitu besar dalam dirinya untuk tertawa, menertawakan dirinya, menertawakan dunia yang tolol dan aneh.
“Benda-benda surut bersama diriku.” Dia berkata pada dirinya sendiri. Dan, saat dia memgatakannya, dia melihat bayangannya terpantul di sungai. Dan, dia melihat sungai yang mengalir, terus-menerus surut. Dia mendengarkan nyanyian gembira dari sungai itu. Nyanyian yang menggembirakan hatinya. Perlahan dia tersenyum pada sungai itu. “Bukankah ini sungai tempat diriku ingin menenggelamkan diri ratusan tahun yang lalu, ataukah itu hanya mimpi saja?”
Betapa aneh hidup ini, pikirnya. Dia yang telah melangkah sepanjang jalan yang terasa aneh. Sebagai manusia, aku telah dikuasai oleh rasa dan nafsu, oleh segala bentuk kenikmatan yang begitu fana. Semasa muda aku dikuasai hidup dalam berpikir, berpuasa, menunggu, bersabar dan berdoa. Aku yang mencari kemanunggalan, mencoba untuk bisa bersatu dan menjadi Tuhan. Sebagai seorang pemuda, aku telah ditarik oleh bentuk-bentuk penebusan. Aku hidup sendiri di alam, menderita panas dan dingin. Aku belajar untuk berpuasa agar bisa mengalahkan keinginanku. Kemudian aku menemukan ajaran yang mebuatku terpesona namun membingungkan diriku. Aku yang pernah merasakan pengetahuan dan kesatuan alam beredar dalam diriku seperti aliran darahku sendiri, tetapi aku juga mengalami hasrat untuk meninggalkan pengetahuan dan kesatuan itu. Aku yang kemudian berlalu dan mempelajari kenikmatan bercinta dengan Kaylila, dan bisnis dengan Yohanes. Aku menimbun uang, dan menghamburkannya. Aku yang memerlukan citarasa dari makanan mewah, dan diriku yang terus merangsang perasaanku. Aku yang harus melewati tahun demi tahun seperti itu hanya untuk menghilangkan pemikiranku, untuk melenyapkan akal sehatku, untuk melupakan bahwa alam bergerak di bawah satu kesatuan. Apakah benar, bahwa diriku yang telah melalui banyak persimpangan, perlahan telah berubah dari seorang yang dewasa menjadi anak-anak? Dari seorang pemikir menjadi manusia dungu? Tetapi, begitulah adanya jalan ini, dan rasa diriku belum juga mati. Tetapi pada jalan itu, aku telah mengalami demikian banyak kebodohan, begitu banyak sifat buruk, begitu banyak kesalahan, demikian banyak kemuakan, kekecewaan, kesedihan, hanya untuk menjadi seorang anak kecil dan memulai segalanya dari awal kembali. Christian menatap dalam aliran sungai. Batinnya bergejolak.
Tetapi, benrakah jalan ini harus demikian? Apakah benar aku harus mengalami keputusasaan, aku harus tenggelam ke dalam palung mental yang terbesar, ke dalam pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidupku, agar diriku mengalami keangguna? Apa benar aku harus menjadi bodoh agar aku menyadari Tuhan itu ada? Apa benar aku harus berdosa agar aku bisa hidup kembali? Kemanakah jalan ini mengarahkan diriku? Jalan ini yang bodoh ataukah diriku? Mengapa jalan ini berputar-putar, berulangkali menjebak diriku dalam lingkaran-lingkaran. Meskipun demikian, kemana pun jalan ini membentang, aku akan mengikutinya.
Kali ini Christian merasa waspada terhadap kebahagiaan yang merayap dalam dirinya.
Dari manakah kebahagiaan itu datang? Dia bertanya kepada dirinya. Apakah yang menjadi alasan kebahagiaan ini? Apakah alasan ini muncul dari tidur lelapku yang telah membuat diriku lebih baik? Ataukah mungkin dari kesadaranku bahwa Tuhan itu selalu ada? Atau karena aku bisa lari dari keadaanku sebelumnya, karena perjalananku telah terpenuhi, karena pada akhirnya aku bisa bebas dan berdiri lagi seperti anak-anak di bawah mentari? Ah, betapa leganya perjalanan ini telah terselesaikan. Hingga aku tiba di tempat yang dipenuhi aroma rempah-rempah, kelebihan dan kelembapan. Betapa aku menyadari, diriku begitu membenci dunia kekayaan, mabuk-mabukan, dan judi. Betapa aku membenciku diriku sendiri yang telah begitu lama tinggal dalam dunia yang mengerikan itu. Betapa aku membenci diriku yang merintangi, membius dan menyiksa diriku sendiri dalam dunia buruk hingga diriku menjadi tua dan buruk. Tetapi, kini aku tidak akan mengulangi hal itu lagi. Aku tidak akan berkhayal lagi, aku akan menganggap diriku pandai. Aku merasa bahagia karena diriku telah mengakhiri kebencian atas diri atas hidup yang kosong.
Christian perlahan kembali menghargai dirinya kembali setelah bertahun-tahun larut dalam kebodohan. Dirinya kembali memiliki gagasan-gagasan yang baik. Dia yang kembali mendengar suara kecil dalam dadanya berkicau, dan ia mengikutinya.
Dia yang berdiri di tepi sungai. Melihat air yang mengalir, sebagaimana dia menyadari aliran kehidupannya yang dialaminya. Dia yang mendengarkan perutnya yang keroncongan karena lapar. Dia telah sepenuhnya menghilangkan kesedihan dan kesengsaraan masa lampaunya, dan menyadari bahwa dia telah melahap segalanya hingga sampai pada keputusasaan dan kematian.
Dia yang selama ini bertahan begitu lama bersama Yohanes. Mengumpulkan dan menghamburkan uang. Memberi makan pada tubuhnya dengan segala kemewahan dan melalaikan jiwanya. Dia yang akan begitu lama berada dalam neraka yang terbungkus dengan rapi dan lembut, jika saja keputusasaan itu tidak terjadi, yang mengantarkan dirinya pada tepi air yang mengalir – tempat dirinya ingin mati. Namun, keputusasaan dan kemuakan luar biasa itu gagal menggagahi dirinya. Kicauan, mata air yang jernih, suara lembut dalam dadanya masih hidup dan menyadarinya. Itulah yang mebuat dirinya begitu bahagia dan kembali tertawa. Itulah yang membuat wajahnya kembali bersinar di bawah rambutnya yang dipenuhi uban.
“Baik sekali untuk mengalami sesuatunya sendiri.” Ujarnya pada dirinya sendiri. “Ketika masih kecil, aku telah mengetahui bahwa kekayaan adalah sesuatu yang bisa menjadi keburukan. Kesenangan-kesenangan dunia adalah sesuatu yang mampu menjerumuskan. Aku telah begitu lama mengetahuinya, tetapi aku baru saja mengalaminya. Kini, aku tidak hanya mengetahuinya dengan kecerdasanku, tetapi juga dengan mataku, dengan hatiku, dengan dadaku. Adalah baik bahwa kini aku telah memahaminya.”
Dia lama merenungkan perubahan dalam dirinya, mendengarkan suara dalam dadanya yang begitu halus dan lembut. Jika suara dalam dirinya mati, akan mati jugakah dirinya? Tidak! Sesuatu dalam dirinya memang telah mati, sesuatu yang telah lama ingin dibinasakannya. Hal-hal yang sebenarnya selalu ingin dihancurkannya dalam masa-masanya sebagai musafir. Hal yang yang telah menggantikan kebahagiaan dengan kecemasan di dalam dirinya. Dan, saat itu bersama air yang mengalir, hal itu telah mati.
Christian merasakan dalam dadanya sebuah pemahaman mengapa dirinya telah gagal berjuang. Dia mengisi dirinya dengan terlalu banyak pengetahuan yang tidak selesai. Pemahaman yang tidak mempunyai jawaban akhir. Terlalu banyak aib yang ditutupi. Dengan semua itu dia mengisi dirinya dengan kesombongan, dia merasa dirinya selalu menjadi yang terpandai, yang paling benar atas kemauannya. Dia yang selalu merasa selangkah di depan yang lain. Dia yang merasa dirinya terpelajar, selalu diagungkan sebagai guru, seorang pendeta dan filsuf. Dirinya merangkak dalam keagungan kebiksuannya, ke dalam keangkuhannya, ke dalam rasa yang membuat dirinya terlihat suci layaknya Tuhan. Dia yang terus tumbuh selalu mencoba menghancurkan pikirannya dengan berpuasa dan mematikan keinginannya.
Dalam kesadaran penuhnya, dia menyadari bahwa tidak akan ada seorang guru pun yang akan mampu membawakan keselamatan padanya. Hanya dirinyalah yang akan menentukan keselamatan atasnya. Untuk itulah dia harus mampu tenggelam dalam pemahamannya, pemahaman untuk bisa menghapuskan pemujaan atas kekuasaan, harta dan wanita. Meskipun untuk semua itu dia harus terlebih dahulu melewati tahun-tahun terburuknya. Menjadi pedagang, penjudi, peminum dan penikmat tubuh wanita hingga kesadarannya menjadi mati. Dia yang harus menjalani kemuakan, mempelajari kegilaan hidup yang sia-sia dan kosong, hingga dia merasakan keputusasaan yang pahit, hingga Christian pedagang kaya dan Christian pencari kenikmatan akhirnya mati. Dia yang harus membayar segalanya dan menyadarinya, meskipun ketuaan telah menghampiri dirinya. Dirinya yang telah menyadari bahwa dirinya akan mati kelak. Dirinya yang memahami bahwa dia adalah sesuatu yang fana, dan semua yang di dunia adalah fana.
Gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran lewat melalui dirinya. Dia tersenyum pada perutnya yang kosong, mendengarkan dengan penuh terima kasih pada burung yang berkicau. Dengan rasa yang begitu bahagia dia melihat air yang mengalir. Belum pernah sebelumnya sebuah sungai menarik hatinya. Belum pernah dia menemukan suara dan penampilan air mengalir yang demikian indahnya. Tampak padanya seolah-olah sungai itu menyimpan sesuatu yang khusus untuk dirinya. Sesuatu yang tidak diketahuinya. Sesuatu yang terus menunggunya. Christian yang berniat menenggelamkan dirinya dalam sungai itu. Christian yang tua, letih dan putus asa, mati tenggelam dalam sungai itu? Batinnya. Christian lalu merasakan cintanya yang tulus kepada air yang mengalir itu, dan dia memutuskan untuk tidak meninggalkannya dengan begitu cepat. Sesuatu yang begitu besar bergejolak dalam dadanya. Dirinya meyakini ada sesuatu yang indah yang akan ditemui dan dipelajarinya bersama air sungai yang mengalir di hadapannya. Bersama segala sesuatu yang hidup di antara air yang mengalir itu.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More