Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Bersatu Bersama Tuhan

Lama luka itu terasa nyeri. Christian menyeberangkan banyak orang. Mereka memiliki anak lelaki atau anak perempuan, dan dirinya tidak dapat melihat mereka tanpa merasakan cemburu, hingga terkadang dirinya berpikir; ada banyak orang yang memiliki kebahagiaan yang sangat besar, mengapa aku tidak? Bahkan seorang yang jahat, pencuri, dan perampok mempunya anak, mencintai anak-anak itu dan dicintai oleh anak-anak itu, kecuali aku. Dengan begitu kekanak-kanakan alasan yang tidak logis telah tercetus dari benaknya, dia yang telah memiliki demikian banyak kemiripan dengan orang kebanyakan.
Kini dia memandang orang dalam sudut cahaya yang berbeda dibandingkan sebelumnya. Dia yang menjadi tidak sangat pintar, tidak sangat bangga; dan disebabkan hal itu dia terus menjadi lebih hangat, lebih ingin tahu, dan lebih simpatik.
Saat waktu berlalu, dia tidak lagi melihat orang-orang yang diseberangkannya sebagai sesuatu yang asing seperti sebelumnya. Dia yang tidak lagi sekedar membagi pikiran dan pandangan dengan mereka, tetapi dia lebih banyak berbagi dorongan dan hasrat hidup.
Meskipun dirinya telah mencapai tingkatan tinggi akan pengendalian diri, dan telah menghadapi luka terakhirnya dengan baik, namun dirinya kini lebih bisa menganggap orang-orang yang ditemuinya sebagai saudara. Kesombongan, keinginan dan keremehan mereka tidak lagi menjadi hal aneh baginya, itu semua menjadi bentuk dasar dari orang-orang. Sifat-sifat itu lebih bisa dimengerti olehnya, dapat dipahami dan dicintainya, dan bahkan patut dihormati. Baginya sifat-sifat itu akan membawa seseorang dalam bentukan yang lebih baik, sebagaimana seseorang mengendalikannya dengan segala keinginan baiknya.
Ada cinta buta seorang ibu terhadap anaknya, kebanggaan bodoh seorang ayah yang memuja anak lelaki satu-satunya, atau usaha-usaha keras penuh keinginan seorang wanita yang membuta dan sia-sia kepada perhiasan dan pria yang dikagumi. Semua kebodohan-kebodohan sederhana yang kecil – tetapi merupakan dorongan dan hasrat penuh gairah, hidup dan sangat kuat. Kesombongan untuk mempertahankan keyakinannya, keinginan menggila untuk mencintai Tuhannya, keremehan mereka terhadap hal-hal yang membawa kesengsaraan. Semua sifat itu tidak lagi diremehkan oleh Christian. Semua bentuk hasrat dan keinginan itu telah menjadi dorongan bagi orang-orang untuk terus hidup dan melakukan berbagai hal, melakukan perjalanan, memimpin negara, menderita dan menanggung dengan sangat, dan dia menyukai tindakan-tindakan itu. Dia bisa melihat kehidupan, semangat, dan gairah yang tidak dapat dihancurkan, ada tujuan di dalam semua keinginan dan kebutuhan mereka. Orang-orang ini patut dicintai dan dikagumi dalam kesetiaan mereka yang membuta, dan di dalam kekuatan dan keuletan mereka yang membuta. Mereka menjadi begitu berbahagia dengan memiliki kekurangan atas satu hal kecil, satu hal paling kecil; mereka yang memiliki kekurangan yang dimiliki oleh para pemikir dan filsuf, yakni kesadaran akan kesatuan semua kehidupan. Namun, seringkali Christian merasakan sesuatu mengusik benaknya tentang hal ini, dirinya kemudian menjadi ragu-ragu tentang pengetahuan ini, apakah ini sesuatu yang sangat berharga atau hanya bujukan untuk bertindak seperti anak-anak. Orang-orang yang luas pergaulan mempunyai perbedaan yang hampir tidak terlihat dengan pemikir, dan terkadang mereka menjadi lebih unggul terhadap para pemikir. Seperti halnya seekor binatang terkadang menjadi lebih unggul atas manusia dalam hal keteguhan mereka untuk tidak bertindak menyimpang dalam menghadapi keadaan memaksa.
Dalam diri Christian secara pelan-pelan tumbuh pengetahuan kebijaksanaan yang sesungguhnya dan tujuan pencariannya yang lama. Sebuah persiapan, seni berpikir, berasa dan bernapas dalam gagasan-gagasan kesatuan setiap kehidupan. Dengan pelan pikiran ini menjadi matang di dalam dirinya, dan pikiran itu telah lebih dulu tercermin dalam wajah tua Ahmad yang kekanak-kanakan; harmoni, pengetahuan kesempurnaan dunia, kesatuan, bersyukur, dan menghargai setiap bentuk kehidupan dunia.
Tetapi saat dirinya mulai merasakan hal-hal itu meresap dalam dirinya, luka di hatinya kembali terasa sakit. Christian memikirkan anaknya dengan penuh kerinduan dan pahit. Begitu ingin memberikan cinta dan perasaan kelembutan kepada anaknya. Dia terus membiarkan kesakitan menggerogoti dirinya, dan mengalami kebodohan cinta. Api itu tidak akan mati dengan sendirinya.
Suatu hari saat luka itu terasa sakit sekali, Christian mendayung menyeberangi sungai, dimakan oleh kerinduan. Dia meninggalkan rakit dengan tujuan pergi ke kota untuk mencari anaknya. Sungai itu mengalir halus dan lembut. Pada musim kemarau, saat air terasa hening, tetapi suara sungai itu terasa berdesau dengan aneh. Sungai itu sedang tertawa; tertawa dengan jelas dan gembira kepada pengayuh tua itu. Christian berdiri tegak. Perlahan dia menunduk di atas air supaya mendengar dengan lebih baik. Dia melihat wajahnya memantul pada air yang mengalir dengan tenangnya, dan ada sesuatu dalam pantulan itu yang mengingatkannya pada sesuatu yang telah dilupakannya, dan ketika membayangkannya, ingatlah dia. Tatapannya mirip tatapan orang lain, yang dulu pernah dikenalnya dan dicintainya. Dia seolah menatap ayahnya. Dia ingat dulu saat masih seorang pemuda dia telah memaksa ayahnya untuk mengizinkan dia pergi, dan bergabung dengan para musafir. Betapa dia merasa telah meninggalkannya, dia yang telah pergi dan tidak pernah kembali. Bukankah ayahnya juga telah merasakan kesakitan yang kini dia derita akan anaknya? Mungkin ayahnya telah lama meninggal dunia, sendirian tanpa bisa melihat anaknya lagi. Tidakkah dia telah mengharapkan keadaan yang sama? Bukankah ini merupakan suatu hal yang bodoh, aneh dan lucu? Pengulangan ini, jalan-jalan peristiwa yang berada dalam lingkaran yang setia.
Sungai itu tertawa. Ya, itulah caranya. Segala sesuatu yang tidak menderita hingga akhir, dan akhirnya berakhir. Lagi-lagi timbul, dan kesedihan yang sama kini telah berlalu. Christian menaiki kembali rakitnya dan mendayung, kembali ke gubuk. Dia memikirkan ayahnya, memikirkan anakanya. Dia tertawa di pinggir sungai, menentang dirinya sendiri, berada pada ambang keputusasaan dan kecenderungan untuk menertawakan keras-keras dirinya dan seluruh dunia. Luka itu masih terasa sakit. Dia masih terus menentang nasibnya. Masih tidak ada ketenangan dan penaklukan atas penderitaan yang dirasakannya. Dia hanya menyisakan pengharapan, dan ketika dia kembali ke gubuk, dia dipenuhi oleh hasrat yang tidak dapat ditundukkan, dia mengaku pada Ahmad, mencoba untuk menyingkap segala sesuatu, untuk menceritakan segalanya kepada lelaki yang mengerti seni mendengarkan itu.
Ahmad sedang duduk di dalam gubuk sambil menganyam keranjang. Dia yang tidak lagi bekerja di penyeberangan; matanya telah menjadi lemah, juga tangan dan lengannya, tetapi kebahagiaannya tidaklah berubah dan wajahnya tetap berseri-seri dalam keadaan tenang.
Christian duduk di samping orang tua itu, dan dengan pelan mulai berbicara. Kini dia menuturkan kepadanya apa yang belum pernah diungkapkan sebelum ini. Bagaimana dia telah pergi ke kota, tentang lukanya yang terasa sakit, tentang kecemburuannya kepada para ayah yang bahagia, tentang pengetahuannya`atas kebodohan perasaan-perasaan seperti itu. Tentang perjuangannya terhadap dirinya yang sia-sia. Dia mengungkapkan segalanya. Dia terus menuturkan segalanya kepada Ahmad, bahkan hal-hal paling menyakitkan. Dia dapat mengungkapkan segalanya. Dia memperlihatkan lukanya, menuturkan kepadanya perjalanan dirinya hari itu, bagaimana dia menyeberangi sungai dengan tujuan berjalan ke kota, dan bagaimana sungai telah menertawakannya.
Ketika dia meneruskan berbicara dan Ahmad mendengarkan dengan wajah tenang, Christian menjadi lebih waspada ketimbang sebelumnya atas perhatian Ahmad. Dia merasakan kesulitan-kesulitannya, kecemasan-kecemasannya, dan harapan-harapan rahasianya mengalir dari dalam dirinya dan kemudian kembali lagi. Menuturkan lukanya kepada pendengar seperti Ahmad sama saja seperti memandikannya di sungai, membuat luka itu menjadi dingin dan menyatu dengan sungai.ketika meneruskan pembicaraan dan penuturannya, Christian semakin lama semakin merasakan bahwa laki-laki tua di depannya bukan lagi Ahmad, buka lagi pria yang sedang mendengarkannya. Dia merasakan bahwa pendengar yang tidak bergerak itu sedang menyerap pengakuannya seperti pohon menyerap hujan. Bahwa pria yang tidak bergerak itu telah menjadi sungai itu sendiri, bahwa dia telah menjadi Tuhan atas dirinya sendiri, bahwa dia adalah bentuk keabadian itu sendiri. Ketika Christian berhenti berpikir tentang dirinya sendiri dan lukanya, pengenalan bentuk perubahan dalam diri Ahmad merasuk ke dalam dirinya, dan semakin dia mengenalinya, semakin berkurang keanehan yang ditemukannya. Hal itu pun semakin membuatnya sadar bahwa segala sesuatu adalah wajar dan teratur, yang telah lama dimiliki Ahmad, dan hampir selalu seperti itu, hanya saja dia tidak pernah mengenalnya dengan benar. Dia merasa Ahmad bukan bentuk yang mencoba menjadi Tuhan, melainkan sebagai orang yang menyatu dengan Tuhan, sebagai orang yang begitu mencintai Tuhannya melebihi apa pun, dan hal ini tidak akan pernah dapat berakhir. Di dalam batinnya, dia mulai meninggalkan Ahmad. Sementara itu, dia terus berbicara.
Ketika dia telah berhenti berbicara, Ahmad mengarahkan pandangannya yang terasa lembut kepadanya. Ahmad tidak berbicara, tetapi dengan tenang wajahnya menyinarkan kasih dan ketenangannya, pengertian dan pengetahuannya. Dia memegang tangan Christian, mengajaknya duduk di tepi sungai, duduk di sampingnya dan tersenyum kepada sungai.
“Engaku telah mendengar sungai itu tertawa.” Katanya. “Tetapi, engkau tidak mendengarkan sesuatu. Mari kita dengarkan. Engkau akan lebih mendengarkan.”
Mereka mendengarkan. Nyanyian yang banyak suara sungai itu bergema dengan lembut. Christian mengamati sungai dan melihat banyak gambar di dalam air yang mengalir itu. Dia melihat ayahnya, sendirian, berdukacita bagi anaknya. Dia melihat dirinya, sendirian, juga dengan pertalian kerinduan kepada anaknya yang jauh. Dia melihat anaknya, juga sendirian, anak itu dengan penuh keinginan melangkahi jalan berapi hasrat hidupnya. Masing-masing dari mereka memusatkan tujuannya, masing-masing tergoda dengan tujuannya, dan masing-masing menderita. Suara sungai itu sedih. Sungai itu bernyanyi untuk kerinduan dan kesedihan, mengalir menuju tujuannya.
“Engkau dengarkah?” Tanya Ahmad dengan pandangan membisu. Christian mengangguk.
“Dengarkanlah lebih baik.” Bisik Ahmad.
Christian mencoba mendengarkan lebih baik. Gambar ayahnya, gambar dirinya, dan gambar anaknya. Semua mengalir ke dalam satu dengan lainnya. Gambar Kaylila juga muncul dan mengalir, juga gambar Angelina dan yang lain muncul dan lewat. Semuanya menjadi bagian dari sungai itu. Menjadi tujuan mereka semua, merindukan, berhasrat dan menderita; dan, suara sungai penuh dengan kerinduan, penuh dengan kesengsaraan yang terasa sakit, penuh dengan keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Tetapi sungai itu terus mengalir menuju tujuannya. Christian melihat sungai itu mempercepat alirannya, menghanyutkan dirinya dan keluarganya, serta semua orang yang pernah dilihatnya. Semua gelombang dan air semakin cepat, menderita, menuju tujuannya, banyak tujuan, air terjun, menuju laut, menjadi arus, menuju samudera, dan semua tujuan itu tercapai, dan setiap kalinya tujuan itu akan tergantikan dengan yang lainnya. Air akan berubah menjadi uap dan naik, menjadi hujan dan turun lagi, menjadi mata air, dan sungai, berubah baru, mengalirlah yang baru. Tetapi suara yang merindu telah berubah. Suara itu masih melantunkan kesedihan, dan pencarian. Namun, suara-suara lain menggiringnya, suara-suara kesenangan dan kesedihan, suara-suara baik dan jahat, suara-suara tertawaan dan ratapan. Ratusan suara, ribuan suara.
Christian mendengarkan dengan penuh perhatian. Benar-benar terserap, benar-benar kosong, hingga dirinya mengerti sesuatu. Dia merasakan bahwa sekarang dia telah benar-benar mempelajari seni mendengarkan. Dia telah sering mendengar semua ini sebelumnya, berbagai suara di sungai ini, tetapi hari ini suara-suara itu lain. Dia tidak dapat lagi mendengarkan suara-suara yang berbeda. Suara senang dari suara tangis, suara anak-anak dari suara orang dewasa. Suara-suara itu menjadi milik satu dengan lainnya. Ratapan mereka yang rindu, tertawaan orang-orang bijak, jeritan orang-orang marah, dan erangan orang yang sedang sekarat. Suara-suara itu semua berjalin dan dipersambungkan satu dengan lainnya, terlilit dalam seribu cara. Dan semua suara ini, semua tujuan, semua kerinduan, semua kesedihan, semua kesenangan, semua baik dan jahat, semua itu bersama adalah dunia. Semua itu bersama adalah arus peristiwa, musik kehidupan. Ketika Christian mendengarkan dengan penuh perhatian kepada sungai itu, kepada nyanyian ribuan suara; ketika dia tidak hanya mendengarkan kesedihan atau tertawaan, ketika dia tidak mengikatkan jiwanya kepada salah satu suara khusus dan menyerapnya ke dalam dirinya; ketika dia mendengarkan suara-suara itu semua, keseluruhan, kesatuan, kemudian nyanyian agung seribu suara terdiri dari satu kata: Subhanallah – Maha Suci Allah.
“Kau dengarkah?” Ahmad bertanya lagi.
Senyum Ahmad berseri-seri. Senyum itu bermain dengan ceria di dalam semua kerutan-kerutan wajahnya yang tua. Ketika kebesaran Tuhan bermain di atas semua suara sungai. Senyumnya berseri-seri ketika dia memandang sahabatnya, dan kini senyum yang sama muncul pada wajah Christian. Lukanya terobati, kesakitannya lenyap; dirinya melebur ke dalam kesatuan.
“Tuhan ada dalam dirimu, engkau tidak perlu mencarinya.” Kata Ahmad dengan penuh kelembutan. “Apapun yang engkau pikirkan, dan rasakan, Dia mengetahuinya sebaik engkau mengetahuinya, karena Dia ada dalam dirimu, meskipun tidak berarti engkau menjadi Tuhan. Jika dalam hidupmu engkau mencintai dan memuja sesuatu yang sama dengan dirimu – yang merupakan ciptaan-Nya, maka engkau akan terluka dan berada dalam kesengsaraan. Akan tetapi, jika engkau mencintai Tuhan melebihi apa pun, maka tidak akan ada kesedihan dan kehilangan, yang engkau lihat hanyalah keabadian.”
Semenjak saat itu Christian menghentikan perlawanannya kepada takdir. Memancarlah pada wajahnya ketenangan, ketenangan yang tidak lagi berhadapan dengan keinginannya, yang berada dalam keharmonian dengan arus-arus peritiwa, dengan arus kehidupan, penuh simpati dan keharuan, dan mengalahkan dirinya untuk terseret ke dalam arus.
Ketika Ahmad mengamati tatapan Christian dan melihat ketenangan memancar dalam matanya, Ahmad menyentuh pundak Christian dengan lembut, dengan cara melindungi dan penuh kasih.
Christian membungkuk rendah di depan pria itu. Saat dia mengangkak kepalanya dengan pelan, dia melihat pria tua, sahabatnya, telah menutup matanya dengan tenang dan diam. Wajah sahabatnya yang tua seakan dipenuhi cahaya yang menenangkan, senyum lembut tergaris tipis di wajahnya. Seakan sudah tiba saatnya dia untuk kembali, setelah dia merasa bisa meninggalkan sahabatnya dengan tenang.
Dan, begitulah Ahmad pergi. Christian hanya memandanginya. Dengan kegembiraan yang besar dan berat hati dia memandanginya, melihat wajahnya yang penuh kedamaian bersinar, penuh dengan cahaya.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More