Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Putra Sang Pelacur

Takut dan menangis, anak lelaki itu menghadiri pemakaman ibunya. Takut dan sedih, anak lelaki itu mendengarkan penuturan dari Christian, dan juga doa-doa dari Ahmad. Hingga saat terakhir dia melihat tubuh ibunya hilang di balik timbunan tanah. Christian mengatakan pada anak lelakinya bahwa dia akan merawatnya, dan menerimanya dengan baik di gubuk Ahmad. Beberapa hari sesudahnya, anak lelaki itu hanya terduduk dengan muka pucat memandang kosong kejauhan, mengunci hatinya, berperang dan berusaha keras melawan nasibnya.
Christian mengurus anak itu dengan penuh pertimbangan dan membiarkannya sendirian, karena dia dengan penuh kasih menghormati kesedihannya. Christian mengerti sepenuhnya bahwa anak lelakinya tidak mengenal dirinya, bahwa anak itu tidak dapat mencintainya sebagai seorang ayah. Dengan pelan, dia juga melihat dan menyadari bahwa anak berusia dua belas tahun itu adalah anak yang dimanja ibunya dan telah dibesarkan dalam kebiasaan mewah, bahwa dia terbiasa dengan makanan enak dan tempat tidur yang empuk. Dan, dalam tersiratnya dia juga melihat sepertinya anak itu juga telah terbiasa memerintah pelayan. Christian mengerti sepenuhnya, bahwa anak manja dan sedang berduka tidak dapat dengan mudah, dan tiba-tiba dipuaskan dalam tempat asing dan miskin. Christian juga tidak berusaha menekan anak lelakinya itu. Dia hanya mencoba berbuat banyak hal untuk anak itu, dan menyimpan potongan roti terbaik untuknya. Dengan pelan, dengan kesabaran yang bersahabat, dia hanya berusaha dengan sabar untuk meluluhkan hatinya.
Christian sendiri telah menganggap dirinya lebih kaya dan bahagia ketika anak lelaki itu datang kepada dirinya. Tetapi, ketika waktu teru berlalu dan anak lelaki itu tetap tidak bersahabat dan menyebalkan, ketika terbukti dirinya ternyata sombong dan menentang, ketika dia tidak mau melakukan pekerjaan apa pun, ketika dia mulai memperlihatkan tidak ada rasa hormat kepada orang tua, ketika dia mulai mencuri buah-buahan dari pohon milik Ahmad dan orang-orang desa, Christian mulai menyadari bahwa tidak ada kebahagiaan dan kedamaian yang datang kepadanya dengan kedatangan anak lelakinya itu, melainkan hanyalah kesedihan dan kesulitan. Tetapi, dia tetap mencintai anak itu dan merasa lebih baik bersedih dan sulit karena cintanya, dibandingkan merasa bahagia dan senang tanpa anak lelakinya itu.
Semenjak kehadiran Christian muda di gubuk, kedua orang tua itu telah membagi pekerjaan mereka. Ahmad mengambil alih seluruh pekerjaan di sawah dan kebun, sedangkan Christian dan anaknya bekerja di gubuk dan penyeberangan.
Selama beberapa bulan Christian terus sabar menunggu, dengan harapan anaknya akan mengerti kepadanya, bahwa dia akan menerima cintanya dan bahwa dia barangkali akan mengembalikan cintanya itu. Selama berbulan-bulan Ahmad memperhatikan hal itu, menunggu dan berdiam. Satu hari, ketika Christian muda menyakiti hati ayahnya dengan pemberontakan dan kemarahannya, dan memecahakan beberapa mangkuk nasi, Ahmad mengajak sahabatnya untuk berandai-andai pada petang harinya.
“Maafkan diriku, sahabatku.” Kata Ahmad. “Aku akan berbicara berbicara padamu sebagai teman. Saya dapat melihat betapa engkau khawatir dan tidak berbahagia. Anakmu, dia yang membuatmu susah dan juga menyusahkan saya. Burung muda terbiasa dengan kehidupan yang berbeda, dan juga pada sarang yang berbeda. Anakmu tidak bisa jauh dari kemewahan dan kota yang engkau lihat dalam pandangan muak dan jijik. Dia terpaksa meninggalkan semua hal itu tanpa kehendaknya, berbeda dengan dirimu, sahabatku. Aku telah mempelajari begitu banyak hal tentang kehidupan dari sungai, sahabatku. Dan, jika dia bisa berbicara, dia akan menertawakan kita. Sungai itu akan tergelak-gelak menertawakan kebodohan kita. Air mengalir kepada air, pemuda ke pemuda. Anakmu tidak akan merasa bahagia di tempat ini. tanyakan pada sungai, dan dengarkanlah jawabannya.”
Merasa sulit, Christian menatap wajah yang penuh kasih di hadapannya, yang menyimpan begitu banyak guratan sifat-sifat baik itu.
“Bagaimana aku bisa berpisah dengan dirinya?” Tanya Christian dengan lembut. “Berilah aku waktu, sahabatku. Aku berjuang untuknya, aku sedang mencoba mengetuk pintu hatinya. Aku akan memenangkannya dengan cinta dan kesabaran. Sungai itu juga akan berbicara kepadanya suatu hari nanti. Dia juga akan dipanggil.”
Senyum Ahmad menjadi lebih hangat. “Ya.” Katanya. “Dia juga akan dipanggil. Dia juga milik dari kehidupan yang abadi. Tetapi, tahukah engkau dan aku kemanakah dia akan dipanggil, ke jalan mana, perbuatan apa, kesedihan mana? Kepedihan hatinya tidaklah sedikit. Hatinya penuh kebanggaan dan keras. Dia mungkin akan banyak menderita, membuat banyak kesalahan, melakukan banyak ketidakadilan, dan melakukan banyak dosa. Katakan, sahabatku, apakah engkau mendidik anakmu? Apakah dia menurut kepada dirimu? Apakah engkau telah memukul atau menghukum dirinya?”
“Tidak, Ahmad, aku tidak melakukan satu pun hal itu.”
“Aku tahu. Engkau tidak terlalu keras kepadanya. Engkau tidak juga menghukum dirinya. Engkau yang tidak memerintah kepadanya, karena engkau tahu bahwa kelembutan akan lebih kuat bila dibandingkan dengan kekerasan. Air itu lebih kuat dibandingkan batu. Cinta lebih kuat dibandingkan paksaan. Sangat baik. Aku memuji engkau, Christian, sahabatku. Tetapi, barangkali di situlah letak kesalahanmu. Engkau yang tidak bersikap keras kepadanya, engkau yang tidak mampu menghukum dirinya. Idakkah sesungguhnya engkau telah merantai anak lelakimu itu dengan cintamu? Tidakkah engkau menyadari, bahwa sesungguhnya engkau telah mempermalukan dia setiap hari dengan kebaikan dan kesabaranmu, dan semua itu justru semakin mempersulit dirinya? Tidakkah sesungguhnya engkau telah memaksakan anak lelakimu untuk tinggal di gubuk dengan dua orang tua pemakan ubi dan buah-buahan dari kebun, yang bagi mereka bahkan nasi adalah kemewahan? Dua orang yang pikiran-pikiran mereka tidak sama dengan pikirannya, yang hatinya merasa tua dan tenang? Yang jantung mereka berdetak berbeda dengan jantungnya? Tidakkah sebenarnya dia telah dipaksa dan dihukum dengan semua ini?”
Christian memandang tanah dengan bingung.
“Menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Christian dengan lembut dan pelan.
“Bawalah dia ke kota.” Jawab Ahmad. “Bawalah dia ke rumah ibunya. Masih ada pelayan-pelayan di sana. Bawalah dirinya kepada mereka. Dan, jika mereka tidak lagi di sana, bawalah dia kepada seorang guru, bukan hanya demi pendidikan, tetapi agar dia dapat bertemu dengan anak-anak lain dan berada di dunia tempat dia menjadi miliknya. Tidakkah engkau pernah memikirkan hal itu?”
“Engaku dapat melihat isi hatiku.” Jawab Christian dengan sedih. “Aku sering sekali memikirkan hal itu. Tetapi bagaimana dengan dirinya, yang begitu keras hati, akan bisa meneruskan hidup di dunia ini? Tidakkah nanti dia akan menganggap dirinya tinggi? Tidak akankah dia kelak tenggelam dalam kenikmatan dan kekuasaan? Tidak akankah nanti dia akan mengulangi kesalahan-kesalahan ayahnya? Tidakkah nanti dia akan tenggelam dalam kesengsaraan?”
Sang pengayuh itu tersenyum kembali. Dia menyentuh pundak Christian dengan lembut dan berkata. “Tanyakan pada hati terkecilmu, pada sanubarimu. Dengarkanlah suara yang berbicara dalam diri. Dengarkanlah, tertawakanlah! Lalu, tanyakan pada dirimu, benarkah engkau mengira bahwa engkau telah melakukan kebodohan-kebodohan itu supaya engkau bisa berbagi ketololan dengan anakmu? Kemudian apakah engkau dapat melindungi anakmu dari kesengsaraan? Bagaimana caranya? Apakah melalui perintah, melalui doa-doa, melalui nasihat? Sahabatku, lupakah engkau dengan ceritamu mengenai Christian putra seorang pelacur yang telah mendapatkan petunjuk, cerita yang engkau ceritakan di sini? Siapakah sesungguhnya yang telah menyelamatkan Christian, sang pengembara dari kesengsaraan, dari dosa, ketamakan dan kebodohan? Dapatkah ayahnya, nasihat gurunya, pengetahuannya sendiri, ataukah pencariannya sendiri, dapat melindungi dirinya? Ayah mana, guru mana yang dapat mencegah dirinya menjalani hidup yang dikehendakinya, dari pengotoran dirinya dengan kehidupan, dari pemenuhan dirinya oleh dosa, dari menelan minuman pahit bagi dirinya, atau penemuan jalannya sendiri? Apakah engkau mengira, sahabatku, bahwa setiap orang bisa terhindar dari jalan ini? Mungkin menurutmu anakmu yang kecil, karena engkau hanya ingin melihat dia terhindar dari kesedihan dan kesakitan serta kekecawaan. Tetapi seandainya engkau pun harus mati sepuluh kali baginya, engkau tidak akan bisa mengubah nasibnya sekecil apa pun. Percayakah engkau, bahwa selembar daun jatuh pun itu sudah ditetapkan?”
Belum pernah Ahmad berbicara demikian banyak. Christian berterima kasih padanya dengan cara bersahabat, lalu dia pergi dengan sedih ke gubuknya, tetapi malam itu dia tidak tertidur. Ahmad tidak mengatakan apa-apa lagi kepadanya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu berpikir dan mengerti tentang dirinya. Tetapi, lebih kuat daripada pengetahuannya adalah cinta Christian kepada anaknya, cinta kasihnya, kekhawatirannya akan kehilangan anak itu. Pernahkah sebelumnya dia kehilangan hatinya pada seseorang dengan sungguh-sungguh, pernahkah dia mencintai seseorang dengan demikian besar, demikian membuta, demikian menyakitkan, demikian tidak berpengharapan, dan demikian membahagiakan?
Christian tidak dapat menelan langsung saran dari sahabatnya. Dia tidak dapat berpisah dari anaknya. Hingga akhirnya dia membiarkan anaknya memerintah dirinya, dengan tidak menghormati dirinya. Dia terus berdiam dan menunggu. Setiap hari dia terus berperang dengan persahabatan dan kesabaran. Ahmad juga terus diam dan menunggu, dengan bersahabat, penuh pengertian serta menahan diri. Keduanya adalah orang yang menguasai kesabaran.
Pernah satu kali saat wajah anak lelaki itu mengingatkan Christian akan Kaylila, Christian tiba-tiba teringat sesuatu yang dikatakan kekasihnya itu. “Kau tidak dapat mencinta.” Kata Kaylila kepada Christian, dan dia setuju. Dia telah membandingkan dirinya dengan orang lain, dengan bintang, dengan daun-daun jatuh, dan sesungguhnya dia merasakan celaan dalam kata-kata Kaylila. Benar memang dirinya tidak pernah sungguh-sungguh kehilangan dirinya bagi orang lain, sehingga dia melupakan dirinya. Dia yang juga tidak pernah dapat melakukan hal ini, sehingga dia merasa betapa besar perbedaan dirinya dengan orang-orang biasa. Tetapi, kini sejak anaknya berada di sisinya, Christian telah benar-benar menjadi seperti orang lain yang mengalami kesedihan dalam percintaan. Dia benar-benar mabuk akan cinta, dan tolol oleh cinta. Kini, meskipun terlambat, pernah di dalam hidupnya dia mengalami dan merasakan nafsu yang paling kuat dan aneh. Dia menjadi sangat menderita dengan nafsu itu dan dalam beberapa cara dia merasa ditinggikan, diperbaharui, serta menjadi lebih kaya.
Dia benar-benar merasakan bahwa cinta ini, cinta buta bagi anaknya, meruapakan bentuk nafsu yang sangat manusiawi, yang membuat penderitaan, sumber kesengsaraan. Pada saat yang sama dia merasakan bahwa nafsu itu bukanlah tidak berharga, bahwa nafsu itu perlu, karena ia datang dari sifatnya sendiri. Perasaan ini, kesakitan ini, kebodohan-kebodohan ini, kini telah dialaminya.
Sementara itu, anaknya terus membiarkan Christian melakukan segala bentuk dari kebodohan-kebodohan, membiarkan dia bekerja keras, dan terus direndahkan oleh perasaannya. Tidak apa-apa dari diri ayahnya yang menarik hati anak itu, dan tidak ada yang ditakutinya, atau hanya sedikit rasa untuk bisa menghormatinya. Ayah ini adalah orang baik, orang yang dipenuhi kelembutan dan cinta kasih, mungkin saja dia seorang yang saleh, atau mngkin seorang yang suci – tetapi semua itu bukanlah sifat-sifat yang dapat menaklukkan si anak. Ayah yang menahan anaknya dalam gubuk sialan ternyata baginya lebih membosankannya. Dan, ketika dia membalas kekasaran anaknya dengan senyuman, setiap penghinaan dengan persahabatan, atau setiap kenakalan dengan kelembutan, hanya menjadi sebentuk keadaan yang terus menyakitkan orangtua. Anak itu lebih senang mengancam, dan menyakiti dirinya.
Hari puncak tiba ketika Christian muda mengatakan apa yang ada dalam benaknya dan secara terbuka menentang ayahnya. Ayahnya memerintahkan kepadanya untuk mengumpulkan ranting-ranting, tetapi anak itu beranjak dari gubuk itu. Dia berdiri di sana, menentang dan marah. Berdiri tegak di atas tanah, mengepalkan tinjunya dan dengan amarah mengungkapkan kebencian dan kejijikannya melihat muka ayahnya.
“Bawa ranting-ranting itu sendiri.” Teriak anak itu dengan amarah. “Aku bukan pelayanmu. Aku tahu kau tidak akan memukul aku. Kau tidak berani! Tapi, aku tahu kau terus-menerus menghukum aku dan membuatku seperti anak kecil dengan kesalehan dan kesenanganmu. Kau hanya ingin aku menjadi seperti kau, begitu alim, begitu lembut, begitu bijaksana. Tetapi, untuk segala kebencianku pada kau, aku lebih senang menjadi seorang pencuri atau pembunuh dan pergi ke neraka, ketimbang aku harus menjadi seperti kau. Aku benci kau. Kau bukan ayahku, meskipun engkau telah menjadi kekasih ibuku selusin kali.”
Penuh kegusaran dan kesedihan, dia akhirnya menemukan tempat untuk memuntahkan kata-kata kasar dan marah kepada ayahnya. Kemudian ank itu lari dan baru kembali pada larut malam.
Pagi berikutnya dia telah menghilang. Wadah bambu dengan anyaman di sekelilingnya, tempat kedua pengayuh itu menyimpan uang yang mereka terima sebagai upah, juga telah menghilang. Rakit mereka juga hilang. Christian melihat rakit itu di pinggir sungai yang lain. Anak itu telah pergi.
“Aku harus mengikutinya.” Kata Christian yang menjadi sangat sedih semenjak anak itu melontarkan kata-kata kasar padanya, pada hari sebelumnya. “Seorang anak tidak dapat berjalan sendiri melewati hutan. Dia akan mendapatkan celaka. Kita harus membuat rakit, Ahmad, supaya kita bisa menyeberangi sungai.”
“Kita akan membuat rakit.” Balas Ahmad. “Untuk mengambil rakit yang dilarikan anak itu. Tetapi, biarlah dia pergi, sahabatku. Dia bukan lagi anak-anak, dia sudah tahu cara mengurus dirinya sendiri. Dia sedang mencari jalan menuju kota, dan dia melakukan hal benar. Jangan lupakan itu. Dia hanya sedang melakukan sesuatu, yang engkau sendiri telah mengabaikan untuk melakukannya. Dia sedang mengurus dirinya sendiri. Dia sedang berusaha mencari jalannya sendiri. Christian, aku bisa melihatmu menderita, menderita kesakitan. Seharusnya engkau menertawakan dirimu sendiri.”
Christian tidak menjawab. Dia telah menggenggam kapak dan mulai membangun rakit dari bambu. Ahmad membantunya mengikat batang bambu sekedarnya dengan tali. Kemudian mereka menyeberangi sungai dengan rakit kecil itu, terbawa arus, tetapi rakit itu mengarah ke hulu menuju pinggir lain sungai itu.
“Mengapa engkau membawa kapak?” Tanya Christian.
“Mungkin dayung rakit kita hilang.”
Christian tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. Mungkin anaknya telah melemparkan dayung itu jauh-jauh atau mematahkannya sebagai pembalasan. Dan, memang tidak ada lagi dayung di rakit itu. Ahmad menghampiri rakit dan tersenyum kepada sahabatnya seakan mengatakan, Tidak tahukah engkau apa yang ingin dikatakan anakmu? Tidak tahukah engkau bahwa dia tidak ingin diikuti? Tetapi dia tidak mengatakan dengan kata-kata, dan Ahmad mulai membuat dayung. Christian berlari meninggalkan Ahmad untuk mencari anak lelakinya. Ahmad tidak sedikit pun berusaha menghalang-halanginya.
Christian sudah lama berada di dalam hutan ketika pikirannya mengatakan, percuma saja mencari anak itu. Atau, pikirnya, anak itu telah lama sekali meninggalkan hutan dan sudah mencapai kota, atau jika dia masih di jalan, dia akan bersembunyi menghindari pengejarnya. Dan, ketika dia membayangkan lebih jauh, dia merasakan dalam dirinya bahwa dia tidak lagi dipersulit oleh anaknya. Dalam hatinya dia hanya meyakini anaknya tidak mendapat kecelakaan atau diancam bahaya di hutan. Namun, dia tetap meneruskan perjalanannya dengan mantap, tetapi bukan lagi untuk menyelamatkan anaknya, melainkan dengan keinginannya untuk dapat bertemu anak itu sekali lagi. Christian terus berjalan hingga menuju pinggiran kota.
Ketika tiba di jalan besar dekat kota, dia berdiri tegak di gerbang menuju kebun indah yang menyenangkan, yang dulu pernah menjadi milik Kaylila. Tempat dulu dia pernah melihatnya duduk di bawah pohon untuk pertama kalinya. Masa lalu muncul di depan matanya. Sekali lagi dia melihat dirinya berada di sana, seorang pengembara muda, berjenggot dengan pakaian lusuh dan rambut penuh debu. Christian lama berdiri di sana dan memandang melalui gerbang terbuka ke dalam kebun. Dia melihat anak-anak kecil berlarian di antara bunga-bunga yang indah.
Dia merasakan gambaran sejarah hidupnya melintas dalam pandangannya. Dia lama berdiri di sana menatap keceriaan anak-anak itu, merasakan bayangan saat Christian muda dan Kaylila berjalan di bawah pohon tinggi. Dengan rasa yang jelas dia melihat dirinya dihampiri oleh Kaylila, dan menerima ciuman pertamanya. Dia melihat betapa dia dengan sombong dan memandang rendah melihat ke masa-masa pengembaraannya, betapa dia dengan bangga dan penuh dengan keinginan memulai kehidupan duniawinya. Dia melihat Yohanes, pelayan-pelayan, pemain-pemain dadu, musisi, dan wanita yang diajaknya bercinta. Dia melihat burung penyanyi Kaylila di sangkarnya. Sekali lagi dia merasa hidup kembali, menghirup napas kesengsaraan, lalu perlahan dia kembali ke masa tua dan letih, dan merasa muak dan ingin mati. Sekali lagi dia mendengarkan dari dalam diri panggilan kembali pada Tuhan.
Sesudah lama sekali dia berdiri tegak di gerbang kebun itu, Christian menyadari bahwa hasrat yang telah mendorongnya ke ini adalah bodoh. Bahwa dia tidak akan dapat menolong anaknya. Bahwa dia tidak akan dapat memaksakan diri pada anaknya. Dia memang merasakan telah menaruh cinta yang dalam kepada anak yang pergi itu, seperti luka, dan pada saat yang sama juga merasakan bahwa luka ini tidak untuk dibiarkan membusuk dalam dirinya, tetapi luka itu harus disembuhkan.
Karena luka itu tersembuhkan pada saat itu, dia merasakan kesedihan dalam diri. Di tempat yang dituju yang telah memaksanya kemari untuk mengejar anaknya, yang ada hanyalah kekosongan. Dengan sedih dia terduduk di pinggir jalan. Dia merasakan sesuatu mati dalam hatinya. Dia tidak lagi melihat kebahagiaan, baginya seakan tidak ada tujuan. Dia duduk di sana, merasa tertekan dan menunggu. Dia telah belajar hal ini pada sungai, untuk menunggu, untuk memiliki kesabaran dan untuk mendengarkan. Dia duduk dan mendengarkan di jalan penuh debu, mendengarkan suara jantungnya yang berdetak dengan sedih dan susah, serta menantikan suara-suara. Dia membungkuk di sana dan mendengarkan untuk beberapa jam lamanya. Tidak lagi dirinya melihat impian-impian. Dirinya terbenam dalam kekosongan dan membiarkan dirinya tenggelam tanpa melihat jalan keluar. Dan ketika dia merasakan luka itu bangkit, dia mencari Tuhan dalam diri, mengisi dirinya sepenuhnya dengan kehadiran Tuhan. Seorang anak kecil di dalam kebun itu melihatnya, dan ketika dia masih terus saja membungkuk dan debu mulai mengotori ubannya, anak kecil itu mendatanginya dan meletakkan dua roti di depannya, si orang tua tidak melihat anak kecil itu.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya dan membangunkannya dari keadaan tidak sadarkan diri. Dia mengenal sentuhan lembut dan penuh kasih itu. Dia tersadar, bangkit dan menyalami Ahmad yang telah mengikutinya. Ketika dia melihat wajah kasih Ahmad, memandang pada kerutan kecil yang ramah, memandang ke dalam matanya yang berbinar, dia juga tersenyum. Kini dia melihat roti yang tergeletak di hadapannya. Dia memungut roti itu, memberinya satu kepada sang pengayuh dan dia pun makan roti yang lain. Dengan diam Christian pergi bersama Ahmad menembus hutan lagi, kembali ke tempat penyeberangan. Mereka tidak membicarakan yang telah terjadi, tidak juga menyebutkan anak yang telah pergi itu. Mereka tidak membicarakan perjalanannya, tidak pula tentang luka itu.
Christian pergi ke tempat tidurnya di gubuk, dan ketika Ahmad mendatanginya beberapa waktu kemudian untuk menawarinya teh hangat, Ahmad mendapati Christian telah tertidur.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More