Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Sang Pengayuh Rakit

Aku akan tetap tinggal di tepi sungai ini, pikir Christian. Sungai yang sama yang sama yang aku seberangi dalam perjalananku ke kota. Seorang pengayuh rakit yang bersahabat telah menyeberangkan aku. Aku akan pergi mencarinya. Dulu dari atas rakit pengayuh itu aku telah menuju ke hidup baru yang kini sudah tua dan mati. Mudah-mudahan jalanku sekarang, hidup baruku, berawal dari sana.
Dia menatap sungai yang mengalir indah, melihat ke dalam kebeningannya, ke dalam garis-garis kristal rancang bangun yang memukau. Dia melihat mutiara kemilau muncul dari kedalaman, gelembung-gelembung berenang di atas kaca, langit biru memantul indah padanya. Sungai itu menatap balik padanya dengan ribuan mata – hijau, putih, kristal, biru langit. Betapa besar cintanya pada sungai itu. Betapa sungai itu telah menarik hatinya. Betapa dirinya begitu berterima kasih padanya. Di dalam hatinya, ia mendengar suara yang baru terjaga berbicara kepadanya, suara itu berkata, “Cintailah sungai ini, tinggallah engkau di tepinya, belajarlah darinya.” Ya, ia begitu ingin belajar dari sungai itu, dia ingin bisa mendengarkan sungai itu. Baginya, siapa pun yang mengerti rahasia sungai itu, akan mengerti lebih banyak lagi rahasia, semua rahasia.
Tetapi saat ini dia hanya mampu melihat satu dari rahasia-rahasia sungai itu. Satu yang begitu mencekam jiwanya. Ia melihat air yang terus-menerus mengalir dan selalu ada di sana. Air itu selalu sama dan setiap saat selalu baru. Siapakah yang dapat mengerti, memahami hal ini? dia sendiri pun tidak dapat memahami hal itu.
Chrisitian bangkit, kepedihan akan rasa lapar menjadi tidak tertahankan lagi. Dengan kesakitan yang tertahan ia berjalan di sepanjang tepi sungai, mendengarkan gemericik air, mendengarkan lapar yang semakin mengganggu dalam tubuhnya.
Ketika dirinya sampai di salah satu tepi, dia melihat rakit itu ada di sana, dan sang pengayuh yang dulu menyebrangkan seorang pengembara muda berdiri di atas rakit itu. Christian mengenalinya. Dia sudah semakin tua.
“Maukah anda menyeberangkan saya?” Tanya Christian.
Sang pengayuh rakit itu terkejut menyaksikan seorang pria terhormat terlihat sendirian berjalan kaki, lalu ia mempersilahkan Christian naik lalu menyeberangkan rakitnya.
“Anda telah memilih kehidupan yang baik.” Kata Christian. “Tentu saja baik sekali hidup di dekat sungai dan mengayuh rakit setiap hari.”
Pengayuh itu tersenyum, mengayuh dengan lembut.
“Baik, Tuan. Seperti yang anda katakan. Tetapi bukankah setiap kehidupan, setiap pekerjaan adalah baik?”
“Mungkin, tetapi saya iri pada pekerjaan dan hidup anda.”
“Oh, segera saja anda akan merasa bosan. Pekerjaan dan hidup seperti ini bukan untuk orang berpakaian bagus.”
Christian tertawa. “Hari ini saya telah dihargai dikarenakan pakaian yang saya kenakan, tetapi saya dihormati dengan kecurigaan. Jika anda berkenan, maukah anda menerima pakaian ini dari saya? Karena, bagi saya ini hanyalah gangguan. Karena, dengan segala kekurangan saya, saya ingin berkata jujur bahwa saya tidak mempunyai uang untuk membayar anda; yang telah menyeberangkan saya di sungai ini.”
“Tuan pasti sedang bersenda gurau.” Kata sang pengayuh itu sambil tertawa.
“Saya tidak sedang bersenda gurau, sahabatku. Dulu anda pernah menyebrangkan saya tanpa bayaran, dan karena saat ini pun anda menyebrangkan saya, ambillah pakaianku sebagai bayarannya.”
“Lalu, apakah tuan tidak akan mengenakan pakaian?”
“Saya lebih suka untuk berjalan lebih jauh. Saya akan lebih senang jika anda memberi baju tua kepada saya, dan tahanlah saya di sini sebagai pembantu. Dan, ijinkanlah saya belajar cara mengayuh rakit.”
Pengayuh itu menatap dengan penuh perhatian kepada orang asing di hadapannya untuk beberapa saat.
“Aku mengenal anda.” Akhirnya dia berkata. “Dulu anda tertidur di atas jerami di tepi sungai. Lama sekali sudah, mungkin lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Aku menyeberangkan anda dan kita berpisah sebagai sahabat. Bukankah anda seorang pengembara? Saya tidak dapat mengingat nama anda.”
“Nama saya Christian, dan saat terakhir anda melihat saya, saya masih seorang pengembara.”
“Selamat datang, Christian. Nama saya adalah Ahmad. Kuharap engkau bersedia menjadi tamuku hari ini, dan sekiranya berkenan maukah engkau tinggal di gubukku. Mungkin engkau bersedia menceritakan dari mana engkau datang dan mengapa engkau begitu letih dengan pakaian sebagus itu?”
Mereka telah sampai di tengah-tengah sungai, dan Ahmad mendayung lebih kuat untuk melawan arus. Dia mendayung tenang dengan lengannya yang kuat, sambil menatap ujung rakit. Christian duduk dan memandanginya dan ingat betapa dulu, dalam hari-hari terakhirnya sebagai pengembara, dia telah merasa sayang dengan pria di hadapannya.
Ketika mereka mencapai pinggir sungai, Christian membantu Ahmad mengikatkan rakitnya. Kemudian, Ahmad mengajak Christian ke gubuk kecilnya. Dia menawarkan roti dan air kepada Christian yang lansung disantap dengan penuh sukacita. Demikian juga dengan buah semangka yang dihidangkannya.
Akhirnya, ketika matahari mulai terbenam, mereka duduk di atas batang kayu dekat sungai dan Christian menceritakan padanya mengenai asalnya dan segala kehidupannya, hingga saat dia melihat hari ini setelah detik-detik keputusasaannya. Cerita itu baru berakhir saat malam telah larut.
Ahmad mendengarkan seluruh cerita Christian dengan penuh perhatian. Dia mendengarkan kisah asal dari masa kecilnya, tentang pelajarannya, tentang pencariannya, kesenangannya, dan kebutuhannya. Pengayuh itu mendengarkan dengan tenang dan baik. Itulah salah satu kelebihan sang pengayuh rakit, sifat terbaik yang dipunyai sedikit orang; dia mengetahui cara mendengarkan dengan baik. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sang pembicara akan merasakan bahwa Ahmad meresapkan kata-katanya dengan tenang, mengandung harapan bahwa dirinya tidak kehilangan sesuatu apa pun. Dia tidak membuat sesuatu terlihat tidak menyenangkan, dia menanti dengan penuh kesabaran. Dia tidak segera memberi pujian atau pun menyalahkan. Dia hanya mendengarkan. Christian merasa segalanya menjadi indah, saat dirinya memiliki seorang pendengar seperti itu, yang mampu menyerap kehidupan orang lain, usaha kerasnya, serta kesedihan-kesedihannya.
Namun, menjelang akhir cerita, ketika dia bercerita tentang pohon di tepi sungai dan keputusasaannya yang besar, tentang dirinya yang sempat kehilangan Tuhan, dan betapa sesudah tidurnya dia merasa begitu cinta kepada sungai yang mengajarkannya tentang kehidupan yang terus mengalir; sang pengayuh itu mendengarkan dengan perhatian dua kali lipat, benar-benar terserap, matanya tertutup.
Saat Christian mengakhiri ceritanya, dia terdiam menghayati kekosongan di antaranya. Dalam jeda itu, Ahmad berkata, “Itu seperti yang saya pikirkan. Sungai itu telah berbicara melalui hatimu. Sungai itu bersahabat kepada engkau juga. Menurutku itu baik, sangat baik. Tinggallah bersamaku, Christian, sahabatku.” Ahmad menatap Christian dengan penuh persahabatn. “Dulu aku pernah mempunyai seorang istri. Tempat tidurnya di sisi tempat tidurku. Tetapi, dia sudah lama meninggal. Aku kini harus hidup sendirian untuk beberapa waktu lamanya. Tinggallah bersama diriku di sini. Ada kamar dan makanan untuk kita berdua.”
“Terima kasih.” Kata Christian. “Terima kasih dan saya menerimanya. Saya juga berterima kasih padamu, Ahmad, karena engkau telah mendengarkan dengan demikian baik. Sedikit orang yang tahu cara untuk bisa mendengarkan, dan aku tidak menemukan orang yang dapat berbuat seperti dirimu. Untuk hal itu pun saya akan pelajar pada dirimu, Ahmad.”
“Engkau akan mempelajarinya.” Jawab Ahmad. “Tetapi bukan dari saya. Sungai itu telah mengajarkan saya cara mendengarkan. Engkau pun akan belajar darinya juga. Sungai itu mengetahui segala sesuatu melalui airnya yang melewati banyak hal. Setiap orang seharusnya bisa belajar darinya. Engkau telah belajar dari sungai itu, Christian. Saat engkau berusaha keras menuruninya, untuk tenggelam ke dalamnya, untuk bisa mencari tahu kedalamannya. Christian yang kaya dan terhormat akan menjadi seorang pengayuh rakit. Christian yang terpelajar akan melakukan pekerjaan yang dilakukan orang bodoh. Engkau memahami dan mempelajari hal itu dari sungai ini. Untuk itulah engkau akan mempelajari hal lain juga.”
Sesudah hening beberapa saat, Christian berujar. “Apakah hal lainnya itu?”
Ahmad tidak menjawab, dia bangkit dari duduk dan memandang air yang berkilat tertimpa cahaya bulan.
“Hari sudah larut.” Katanya. “Mari kita tidur. Saya tidak dapat menerangkan hal lain itu. Engkau akan menemukannya sendiri, sahabatku, atau barangkali engkau telah mengetahuinya. Saya bukanlah seorang yang terpelajar. Saya tidak tahu cara berbicara atau berpikir. Selain itu, saya tidak pernah mengajarkan apa pun. Seandainya saya dapat berbicara dan mengajar, mungkin saya akan menjadi seorang guru. Saya hanya tahu cara mendengarkan dan bagaimana menjadi seorang yang taat. Selainnya itu, kenyataannya aku adalah seorang pengayuh rakit, dan tugas saya adalah menyeberangkan orang-orang dari satu sisi sungai ke sisi yang lainnya. Saya telah menyeberangkan ribuan orang, dan bagi mereka sungai ini tidak berarti apa-apa kecuali rintangan bagi perjalanan mereka. Mereka yang pergi untuk memperoleh uang dan berdagang. Mereka pergi untuk menghadiri pernikahan dan berziarah. Sungai itu berada dalam perjalanan mereka, dan sang pengayuh rakit telah berada di sana untuk menyeberangkan mereka. Sang pengayuh akan ada di sana agar orang-orang bisa melewati rintangan dengan cepat.” Ahmad menghela nafasnya sejenak.
“Meskipun demikian, di antara ribuan, ada beberapa orang saja, mungkin sekitar empat atau lima orang, yang melihat sungai ini bukan sebagai hambatan. Mereka yang telah mendengar suaranya dan menjadikan sungai ini sebagai pelajaran bagi mereka, sama seperti bagi saya.” Ahmad menatap Christian. “Marilah sekarang kita tidur, Christian, sahabatku.”
Semenjak saat itu, Christian tinggal bersama-sama sang pengayuh rakit dan belajar bagaimana cara memelihara rakit. Dan, bila sedang tidak ada pekerjaan di tepi sungai itu, Christian akan mengikuti Ahmad bekerja di sawah, mengumpulkan kayu, dan juga memetik buah dari pepohonan. Dia belajar cara membuat tongkat dayung yang kokoh untuk rakit, cara memperbaiki rakit dan juga membuat keranjang. Dia menyenangi segala sesuatu yang dilewatinya bersama Ahmad. Yang dikerjakannya maupun yang dipelajarinya. Hari dan bulan pun berlalu dengan cepatnya. Selama waktu itu, Christian belajar terus-menerus dari sungai itu. Dia belajar bagaimana caranya mendengarkan. Mendengarkan dengan hati yang bening, dengan jiwa yang terbuka yang menunggu, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, dan juga tanpa pendapat. Hanya mendengarkan.
Dia melewati hari-hari yang bahagia bersama Ahmad. Mereka terkadang saling bertukar pikiran, sedikit kata-kata dan dipikirkan berlama-lama. Ahmad bukanlah seorang teman untuk berbincang-bincang. Christian sering kali gagal menggerakkannya untuk berbicara.
Pernah dia bertanya kepada Ahmad, “Pernahkah engkau juga mempelajari satu rahasia dari sungai, bahwa tidak ada barang seperti waktu?”
Senyum ceria mengambang di wajah Ahmad.
“Ya, Christian.” Katanya. “Apakah sama yang engkau maksudkan dengan diriku? Bahwa sungai itu ada di mana-mana dalam waktu yang bersamaan. Di mata air dan di muara, di air terjun, di penyimpangan, di tempat arus, di gunung-gunung, dan juga lembah-lembah. Di mana-mana. Dan sungai adalah apa yang terwujud saat ini, bukan sebagai bayangan masa lalu, dan bukan pula bentuk kabur masa depan?”
“Ya, itulah dia.” Jawab Christian. “Dan, bila saya mempelajari hal ini, saya kembali menyadari hakikat diri dari kehidupan saya adalah bentuk pantulan itu. Christian sebagai seorang anak kecil, Christian sebagai seorang pria dewasa, ataupun Christian orang tua, adalah bentuk pemisahan oleh bayangan, bukan oleh kenyataan. Hidup masa lalu yang aku alami bukan berada di masa lalu, dan pemahaman diriku untuk kembali pada Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di masa depan. Tidak ada apa-apa di masa lalu, dan tidak akan terjadi apa pun di masa depan. Sesuatu adalah segala bentuk yang memiliki kenyataan dan kehadiran. Semua itu adalah wujud sekarang.”
Chrsitian meluapkan kata-katanya dengan senang hati. Penemuan dan pemahaman ini telah membuat dia berbahagia. “Bukankah kemudian segala bentuk kesedihan dan kecemasan terbungkus rapi dalam waktu? Bukankah segala bentuk kejahatan dan keadaan buruk di dunia ini, sesegera akan dikalahkan oleh waktu?” Christian berbicara dengan berbahagia, tetapi Ahmad hanya menatapnya dengan tersenyum ceria, serta mengangguk menyatakan persetujuannya. Dia menepuk pundak Christian dan kembali pada pekerjaanya.
Di lain waktu saat sungai meluap dalam musim hujan dan bergemuruh dengan kerasnya, Christian bertanya pada Ahmad. “Benarkah, sahabatku, bahwa sebenarnya sungai mempunyai banyak suara? Dia yang sejatinya memiliki suara seorang raja, pahlawan perang, burung malam, wanita hamil, serta seribu suara lainnya?”
“Begitulah.” Ahmad mengangguk. “Suara-suara makhluk hidup ada di dalam suara sungai.”
“Dan, tahukah engkau.” Sambung Christian. “Kata apakah yang diucapkan ketika seseorang mampu mendengarkan ribuan suara itu pada waktu yang sama?”
Ahmad tersenyum gembira. Dia membungkuk kepada Christian dan membisikkan “Subhanallah” ke telinganya. Dan, hanya itulah yang didengar Christian. Sesuatu yang perlahan menggerakkan suara dalam dirinya, sesuatu yang terasa asing namun menenangkannya.
Hari demi hari yang berjalan, senyuman Christian mulai menirukan senyuman hangat sang pengayuh, hampir sama ceerianya, sama penuh kebahagiaan, sama bersinarnya melalui seribu keriput kecil, sama kekanak-kanakannya, sama tuanya. Banyak yang melewati sungai itu, bila bertemu dengan kedua pengayuh itu bersama, akan menjadikan mereka saudara. Sering mereka duduk bersama pada sore hari di atas batang kayu di tepi sungai. Dalam diam keduanya mendengarkan air, yang bagi mereka itu bukanlah sekedar air, melainkan suara kehidupan, suara Tuhan. Dan terkadang selagi mereka mendengarkan suara sungai, dalam benak keduanya teerlintas gagasan yang sama; mungkin mengenai percakapan sebelumnya, atau tentang salah seorang pelancong yang kehidupannya dan keadaannya menguasai pikiran mereka. Terkadang mereka juga membicarakan kematian, atau masa kecil mereka. Dan saat sungai mengatakan sesuatu yang baik kepada mereka di saat yang sama, mereka akan saling memandang, lalu keduanya akan berbahagia atas jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama.
Sesuatu yang tersirat di sekitar mereka maupun dari dalam diri mereka, begitu hangat dirasakan oleh orang yang melewati tempat itu. Seringkali terjadi apabila seseorang melihat wajah salah satunya, mereka akan membicarakan dan mencurahkan permasalahan mereka. Soal hidup dan kesulitannya, mengakui dosa-dosa, lalu mereka akan meminta penghiburan dan saran. Hingga beberapa kali seseorang akan meminta izin untuk bermalam bersama mereka, hanya agar bisa mendengarkan sungai. Lalu, di kemudian hari ada juga orang-orang yang berdatangan karena mereka mendengar kabar tentang dua orang bijak, tukang sulap, atau orang suci yang tinggal dekat penyeberangan. Orang-orang yang begitu ingin tahu itu lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban. Mereka juga tidak menemukan tukang sulap, orang suci maupun orang bijak. Mereka hanya akan melihat dua orang tua yang bersahabat, yang selalu membisu, agak aneh dan terlihat bodoh. Kemudian orang-orang yang ingin tahu itu akan tertawa dan mengatakan betapa bodoh dan percayanya orang-orang akan desas-desus liar seperti itu.
Dalam hari keduanya, mereka tidak pernah meributkan tentang kepercayaan dan keyakinan di antaranya. Chrsitian mempercayai hakikat dirinya sebagai hamba. Dirinya akhirnya menyadari semua bergerak atas kehendak Tuhan, dirinya tidak lagi berkehendak untuk menjadi tunggal dengan Tuhan. Meskipun, dalam kesehariannya bersama Ahmad, dia belum menemukan caranya untuk menjadi hamba. Dirinya tidak banyak bertanya tentang keyakinan Ahmad. Dia hanya memperhatikan sahabatnya melakukan gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya saat bersama para musafir, dan saat berada di As-Salam. Dia melihat sahabatnya berpuasa pada hari senin dan kamis, dan juga membaca kitab yang dia tidak memahami artinya, hanya saja dia merasakan kedamaian saat Ahmad melantunkannya dengan kemerduan.
Di antara hari-hari yang dilewati keduanya pun Ahmad tidak pernah membicarakan dan memaksakan apa yang diyakininya pada sahabatnya. Mereka berpikir dengan diri mereka sendiri, dan saling memahami serta menghargai di antaranya. Terbebas dari apa yang mereka yakini, mereka mempunyai gagasan, pemikiran, dan jawaban yang sama atas hakikat diri sebagai manusia dan menyikapi kehidupan.
Tahun-tahun berlalu dan tidak seorang pun memperhatikan mereka. Hingga pada suatu hari, datanglah beberapa pria dengan penutup di kepala mereka, yang kemudian Christian mengetahui bahwa mereka adalah Jemaah Kyai Bahdarudin Syamawi. Mereka minta diseberangkan. Kedua pengayuh itu mengetahui bahwa mereka sedang tergesa-gesa kembali pada guru mereka. Di luar lingkungan yang tidak tersentuh kedua pengayuh itu, tersebar kabar bahwa sang kyai sedang menderita sakit keras. Dirinya diperkirakan dalam kondisi akan mengalami kematian makhluk hidup. Beberapa saat kemudian, rombongan jemaat lainnya datang minta diseberangkan disusul jemaat berikutnya. Seperti kebanyakan di antarany, mereka selalu membicarakan tentang Kyai Bahdarudin Syamawi. Seperti orang-orang yang akan menghadiri penobatan seorang kepala negara, mereka berbondong-bondong seperti lebah yang berkerumun, tertarik oleh satu magnet. Mereka ingin melihat sang kyai yang terbaring di ranjangnya, mereka ingin mendoakannya, mereka ingin ada di dekatnya apabila pria itu kembali menuju keabadian.
Banyak hal terlintas dalam pikiran Christian pada waktu itu. Benaknya dipenuhi hal-hal tentang pria suci itu, yang suarany telah memukau ribuan orang, yang suaranya dulu pernah dia dengarkan, yang wajahnya dulu pernah dilihatnya dengan perasaan kagum. Dengan penuh kasih dia memikirkannya, dia tersenyum lalu termenung saat memikirkan kata-kata yang pernah diucapkannya dulu. Saat dia berkata sebagai orang muda kepada yang telah mendapatkan cahaya penerangan. Dia merasa bahwa kata-kata itu terlalu sombong dan terlalu cepat dewasa. Lama sekali akhirnya dirinya menyadari bahwa dia tidak terpisahkan dengan Kyai Bahdarudin Syamawi, meskipun dia tidak dapat menerima ajaran-ajarannya. Baginya, seorang pencari yang sesungguhnya tidak dapat menerima ajaran-ajaran apa pun, tidak pula bila dia dengan sungguh-sungguh berharap memperoleh sesuatu. Tetapi dia yang telah mendapatkan, dapat memberikan keputusan kepada setiap jalan. Setiap tujuan.
Suatu hari, saat semakin banyak orang yang ingin melihat keadaan Kyai Bahdarudin Syamawi, Kaylila, yang dulu adalah seorang pelacur tercantik, juga sedang dalam perjalanan ke sana. Dia yang telah lama pensiun dari cara hidup yang sebelumnya, telah menghadiahkan kebunnya kepada para yatim dan piatu. Kini dia telah mencari perlindungan dalam ajaran-ajaran Kyai Bahdarudin Syamawi. Ketika dirinya mendengar pria itu sedang dalam keadaan menanti sakratul maut, dia mulai berjalan kaki bersama anak lelakinya, dalam balutan pakaian yang sederhana. Hingga mereka mencapai sungai dalam perjalanan mereka. Anak lelaki itu terlihat letih, dia yang begitu ingin pulang, ingin sekali beristirahat, dan ingin makan. Dia sering merajuk dan menangis. Kaylila berusaha menenangkannya dan seringkali akhirnya menemaninya beristirahat. Anak itu dalam ketidaktahuannya terpaksa mengikuti kemauan ibunya, hinnga ibunya terus menghiburnya atau sesekali menghardiknya. Anak itu sedikit pun tidak memahami, mengapa ibunya harus melakukan perjalanan yang menyedihkan dan begitu meletihkan menuju tempat yang tidak dikenalnya, menuju seorang pria yang asing dan sedang sekarat. Biarlah dia meninggal, lalu apa urusannya dengan anak kecil itu?
Kaylila dan anak lelakinya tidak jauh dari penyeberangan Ahmad, ketika Christian kecil mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin beristirahat. Kaylila sendiri telah meras letih, dan ketika anak lelaki itu memakan rotinya, dia meringkukkan badannya ke tanah, setengah menutup mata dan beristirahat. Namun, tiba-tiba Kaylila berteriak kesakitan. Terkejut, anak lelakinya memandang kepadanya dan melihat wajah ibunya menjadi pucat dan penuh dengan ketakutan. Dari balik bajunya yang seperti jubah muncul ular bersisik hitam yang telah menggigit Kaylila, dan kini merangkak pergi.
Mereka berdua berlari tergesa-gesa agar bisa menemukan orang. Ketika mereka tiba di dekat penyeberangan, Kaylila terjatuh dan tidak dapat pergi lebih jauh lagi. Anak lelaki itu berteriak minta tolong, sambil terus menciumi dan memeluk ibunya. Kaylila kemudian juga menangis kuat-kuat, hingga suaranya terdengar oleh Ahmad yang sedang berdiri di penyeberangan itu. Ahmad dengan cepat lalu menghampiri, mengangkat wanita itu lalu membawanya ke rakit. Anak lelaki itu mengikutinya, dan mereka bersama-sama pergi ke gubuk, tempat Christian sedang berdiri dan menyalakan api. Dia melihat ke arah pintu masuk, dan yang pertama dilihatnya adalah wajah anak lelaki itu, yang dengan anehnya mengingatkan dia akan sesuatu. Kemudian dia melihat Kaylila, yang dengan segera dikenalinya, meskipun dia sedang terbaring dia sadarkan diri dalam pelukan si pengayuh.
Luka Kaylila dicuci, tetapi sudah menghitam dan tubuhnya telah membengkak. Kaylila diberi obat penyegar dan kesedarannya pun pulih. Dia terbaring di atas dipan milik Christian, di gubuknya, dan Christian yang dulu pernah sangat dicintainya membungkuk di atasnya. Kaylila mengira bahwa ia sedang bermimpi, dan tersenyum. Ia meneliti wajah kekasihnya. Pelan-pelan dia menyadari keadaannya, mengingat gigitannya dan memanggil anak lelakinya dengan penuh keinginan.
“Jangan khawatir.” Kata Christian, “Dia di sini.”
Kaylila memperhatikan dalam mata Christian. Dia kelihatan sangat sulit sekali menggerakkan lidahnya dengan racun yang menyebar dalam sistem peredaran darahnya. “Engkau telah menjadi tua, kekasihku.” Katanya lemah. “Engkau telah banyak beruban, tetapi engkau tetap terlihat seperti seorang pengembara muda yang dulu datang kepadaku di kebunku, dengan baju lusuh dan kaki penuh debu. Engkau saat ini lebih menyerupai dirinya, ketimbang saat engkau meninggalkan Yohanes dan diriku. Sinar matamu seperti sinar matanya, Christian. Ah, aku juga telah menjadi tua, apa engkau masih mengenal diriku?”
Christian tersenyum. “Segera saja aku mengenal engkau, Kaylila, kekasihku.”
Kaylila menunjuk anak lelakinya dan berkata, “Kenalkah engkau dengannya juga? Dia adalah anak lelakimu.”
Christian menatap kepada wajah yang telah mengingatkannya akan sesuatu, dan jantungnya berdegup dengan cepat.
Mata Kaylila berputar dan tertutup. Anak lelaki itu menangis. Christian mebiarkan anak lelaki itu menangis di lututnya sambil ia mengusap rambutnya. Melihat wajah anak itu, Christian ingat nyanyian ayahnya yang didendangkan untuknya saat ia bersedih. Dengan pelan bagai bergumam, dia mulai mengalunkan nyanyian itu. Kata-kata itu keluar lalu kembali padanya meninggalkan masa lalu dan masa kanak-kanaknya. Anak itu menjadi diam ketika Christian bernyanyi, masih sesegukan dan kemudian tertidur. Christian mengangkat anak itu ke atas tempat tidur milik Ahmad. Ahmad berdiri di dekat tungku menanak nasi. Christian memandang kepada Ahmad dan tersenyum kepadanya.
“Dia sedang menghadapi sakratul maut.” Kata Christian lembut.
Ahmad mengangguk. Cahya api dari tungku memantul pada wajahnya yang penuh belas kasihan itu.
Kaylila sadar kembali. Ada rasa sakit yang membayang pada wajahnya. Christian melihat kerut kesakitan itu pada mulut Kaylila, pada wajahnya yang pucat. Dengan tenang ia menatapnya penuh perhatian, menunggu, berbagi rasa sakit dengan Kaylila, kekasihnya. Kaylila merasakan hal itu, pandangannya berusaha mencari Christian.
Ssambil melihat kepadanya, Kaylila berkata, “Matamu juga telah berubah, aku melihat itu. Mata itu telah menjadi sangat berbeda. Bagaimana aku mengenali bahwa engkau masihlah Christian? Engkau adalah Christian, tetapi engkau tidak terlihat seperti dirinya.”
Christian tidak berbicara. Dengan diam dia menyelidik dalam mata Kaylila.
“Engkau telah menemukannya?” Tanya Kaylila. “Telah engkau temukan kedamaian?”
Dia tersenyum dan meletakkan tangannya ke tangan Kaylila.
“Ya.” Kata Kaylila dengan suara bergetar. “Aku melihatnya. Aku juga akan menemukan kedamaian.”
“Engaku telah menemukan kedamaian itu.” Bisik Christian.
Kaylila memandang Christian terus-menerus. Kaylila telah berniat melakukan perjalanan suci menuju tempat Kyai Bahdarudin Syamawi, untuk bertemu pria suci itu, untuk menemukan sedikit kedamaiannya, tetapi nyatanya dia hanya menemukan Christian, dan itu pun sudah baik baginya, sebaik seandainya dia telah melihat yang lain. Dia ingin mengatakan hal itu kepada Christian, tetapi lidahnya sudah mulai sulit digerakkan. Dengan diam dia menatap kepada Christian, dan Christian mulai melihat kehidupan perlahan surut dari matanya.
“Izinkan aku, sahabatku.” Ahmad berlutut di sisi Kaylila, tepat di samping kepalanya. “Dia telah memilih jalan Kyai Bahdarudin Syamawi, berarti dia telah memilih jalanku. Biarkan aku membimbingnya menuju Tuhan dengan ajaran yang dipahaminya.” Ahmad menatap Christian yang dijawab dengan anggukan.
“Ikuti aku, wahai kekasih sahabatku.” Ahmad menatap mata Kaylila meminta persetujuannya.

Asyhadu an Laa Ilaaha Illallahu wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah

Ucapan itu diulangi Kaylila dengan terputus-putus dan bergetar, hingga saat terakhir kehidupannya mencapai puncak dan lepas dari matanya, saat getaran terakhir berlalu dari tubuhnya. jari-jemaari Christian mengusap lembut kedua mata Kaylila.
Lama dia duduk di sana dan memandangi wajah mati itu. Lama dia menatap mulut Kaylila, mulut tua yang letih dengan bibir yang berkerut. Dirinya ingat betapa dulu pada masa hidupnya yang sedang segar-segarnya, dia telah membandingkan bibir Kaylila dengan kesegaran dan rasa yang penuh kemanisan. Lama sekali dia menatap wajah pucat itu dengan penuh perhatian. Menatap kerutan-kerutan letih dan melihat wajahnya sendiri seperti itu, putih dan juga mati. Dan, pada saat yang sama dia juga melihat wajahnya sendiri dan wajah Kaylila, muda denga bibir merah, dengan mata menawan dan dia dipenuhi oleh perasaan kini dan kehadiran pada masa sekarang. Pada saat itulah dia merasakan dengan sungguh-sungguh sebentuk kehidupan yang tidak bisa dirusakkan, keabadian pada setiap saatnya.
Saat dirinya tersadar dan beranjak, Ahmad menawarkan sedikit nasi padanya, tetapi Christian tidak makan. Di dalam kandang, tempat kambing jantan tinggal, kedua orang tua itu mengatur jerami dan Ahmad berbaring di atasnya. Christian beranjak keluar dari gubuk dan duduk di tepi sungai sepanjang malam, mendengarkan suara sungai. Dirinya tenggelam dalam masa lalu, dan secara bersamaan dipengaruhi dan diliputi seluruh periode masa hidupnya.
Dia kemudian bangkit, berjalan menuju pintu gubuk, memastikan bahwa anak lelakinya masih tertidur.
Pagi-pagi sekali, sebeblum matahari terlihat, Ahmad keluar dari kandang dan berjalan menuju sahabatnya.
“Engkau tidak tidur?” Tanyanya.
“Ya. Aku duduk di sini dan mendengarkan sungai. Sungai itu menuturkan pada diriku banyak hal. Sungai itu telah mengisi aku dengan banyak pikiran.”
“Engaku telah mendeerita, Christian, tetapi aku tidak melihat sedikit pun kesedihan memasuki hatimu.”
“Ya, sahabatku. Mengapa diriku harus merasa bersedih? Aku yang kaya dan bahagia masih tetap menjadi lebih kaya dan lebih bahagia. Anakku telah diberikan kepadaku.”
“aku juga menyambut kedatangan anakmu. Tetapi, sekarang, Christian, marilah kita bekerja. Masih banyak yang harus kita kerjakan. Kaylila meninggal di tempat tidur yang sama dengan tempat istriku meninggal. Kita akan memakamkan dirinya dengan jalan ajarannya. Jika engkau tidak keberatan, Kaylila biarlah kita kuburkan di dekat makam istriku.”
Christian tidak berkata apa pun, dia hanya mengangguk.
Ketika anak lelaki itu masih tertidur, mereka menggali sebuah lubang, setelah sebelumnya Ahmad meminta seorang wanita dari perkampungan – untuk memandikan dan mengkafani Kaylila.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More