Sakh Oliabam (SEGERA)


Dentingan logam yang beradu. Darah segar yang berterbangan dari tebasan juga tusukan senjata. Sungai Balia berwarna merah. Alirannya yang nyaris tidak bergerak, membuat darah semakin rapat menutupi setiap sudut air.
Bayangan hitam melesat di udara, keluar dari tengah-tengah gerombolan Dormuz. Sesosok tubuh melayang ringan. Bagaikan waktu yang tiba-tiba terhenti. Gerakannya naik dengan lembut. Sebuah pedang bersinar kemilau di tangan kanannya. Terangkat tinggi di atas kedua tanduk besar yang melingkar di sisi kepalanya, aroma kematian segera menyebar di sekitar besi berukir tebaran bunga di sepanjang mata pedang. Menggenggam erat gagang yang berhias lilitan kawat putih dan permata darah di ujungnya, mata makhluk itu yang menyala merah menatap sosok kurus jauh di bawahnya.

Sep 9, 2011

Air Yang Mengalir

Christian melangkah memasuki hutan, dirinya telah jauh dari kota, dan hanya mengetahui satu hal – bahwa dia tidak dapat lagi kembali, bahwa kehidupan yang telah dijalaninya bertahun-tahun itu kini telah berlalu, telah dinikmatinya dan telah mengering hingga sampai pada tingkat kemuakan. Burung kenari itu telah mati. Kematiannya yang telah tergambarkan dalam mimpi, adalah kematian diri dalam hati Christian sendiri. Dia terjerat begitu dalam di lingkaran kesengsaraan. Dirinya telah dijerat oleh kemuakan dan kematian dirinya dari segala sisi. Dia telah dipenuhi perasaan bosan, dipenuhi oleh kemiskinan, dan juga dipenuhi dengan kematian. Tidak ada lagi benda di dunia yang dapat memberinya kepuasan serta pelipur lara.
Dia dengan sebentuk kesabaran tersisanya berusaha melupakan segalanya, mencoba untuk beristirahat. Dirinya yang begitu ingin sekali untuk mati. Berharap ada kilat yang menyambarnya, berharap seekor harimau datang dan memangsanya. Dirinya berandai bila ada sebotol anggur, atau sedikit racun, agar dirinya diberi kesempatan untuk bisa melupakan segala kesakitannya, membuat dirinya bisa melupakan segalanya, membuatnya tertidur dan tidak akan pernah bangun lagi. Dirinya merasa begitu penuh noda, noda yang dicorengkannya sendiri atas dirinya, segala bentuk dosa dan ketololan yang dia telah terlibat di dalamnya, dosa yang dia sendiri tidak sanggup lagi untuk bertanggung jawab atasnya. Masihkah ada kemungkinan baginya untuk terus hidup dan diampuni? Masihkah dirinya diberi dan dimungkinkan untuk itu? Masihkah dia bisa dengan lapang menarik napas terus-menerus, mengeluarkan napas, merasa lapar, merasakan nikmatnya makanan, tidur dan tidur dengan perempuan lagi? Dia lalu merasakan lingkaran ini meletihkan dirinya dan merasa harus mengakhirinya.
Langkah kakinya mengantarkan dirinya hingga di tepi sungai di dalam hutan, sungai yang sama tempat dulu dirinya diseberangkan oleh pengayuh rakit, saat dirinya masih begitu muda dan baru saja dari tanah tersuci. Dia berhenti dan berdiri dengan penuh keraguan di tepi sungai itu. Keletihan dan kelaparan telah melemaskan seluruh tubuhnya. Mengapa harus lebih jauh lagi, ke mana, dan untuk tujuan apa? Tidak ada lagi tujuan. Batinnya. Sudah tidak ada lagi sesuatu kecuali keinginan untuk melenyapkan impian-impian yang sangat membingungkan, untuk memuntahkan seluruh anggur yang masam, untuk mengakhiri hidup yang pahit dan menyakitkan ini.
Ada sebatang pohon kelapa di tepi sungai itu. Chrsitian duduk di pohon itu pada lengkungannya. Dia memandang ke bawah, ke air yang bening yang mengaliri sungai itu. Dia melihat ke dalamnya dan hasratnya timbul untuk menyelam ke dalam air. Kekosongan yang dingin dalam air itu memantulkan kekosongan yang mengerikan dalam jiwanya. Dirinya merasa berada pada akhir hayatnya. Tidak ada sesuatu lagi bagi dirinya selain melenyapkan diri, untuk menghancurkan susunan kehidupan dirinya yang telah gagal, membuangnya jauh-jauh, dan merasa dirinya telah ditertawakan oleh keadaan. Pada segala bentuk perbuatan dosa yang telah dilakukannya, untuk menghancurkan segala bentuk yang dia benci. Dia ingin agar ikan-ikan menggerogoti dagingnya sedikit demi sedikit, Christian si anjing, orang gila, bangkai yang tubuhnya telah rusak dan busuk, jiwa yang telah menempati raga yang salah. Biarkan ikan-ikan menghabisinya, biarkanlah para iblis melumatkannya.
Dengan wajah yang berubah-ubah, ia memandang ke dalam air. Dia melihat pantulan wajahnya, lalu dia meludahinya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke samping hingga dia terguling lalu terjerambab. Dengan mata yang tertutup dia melengkungkan tubuhnya – menuju kematian.
Lalu dari jiwanya yang berada jauh di kedalaman, dari masa lalunya yang terasa letih, dia mendengarkan suara. Sebuah kalimat yang meluncur secara tidak jelas dari bibirnya, yang akan menjadi awal dan akhir dari doa-doanya, tingkat kesadarannya yang akan menjadikan hidupnya kembali bermakna. Yang saat suara itu kembali pada telinganya, jiwanya yang sudah tidak hidup lagi itu tiba-tiba sadar, dan dia mengenali ketololan tindakannya. Lalu dengan lirih dia terus mengulangi ucapannya

Kembalilah pada Tuhan

Christian lalu merasa begitu ketakutan. Itulah yang dia derita. Dia merasa begitu kehilangan, sedemikian bingung, menjadi begitu kehilangan alasan, sehingga akhirnya dia mencari kematian. Keinginan itu menjadi begitu kuat dalam dirinya, tumbuh dengan begitu ganasnya mencengkram jiwanya; dirinya berusaha untuk menemukan kedamaian dengan cara menghancurkan tubuhnya.
Segala siksaan lalu menjadi sesuatu yang berlalu, segala keputusasaan menjadi punah saat kata-kata itu terus terulang dari bibirnya. Perlahan dia mengenali segala kemalangan dan kejahatannya. “Kembalilah pada Tuhan.” Suaranya terdengar lirih, dan dia mulai menyadari dirinya sepenuhnya adalah manusia, seorang hamba, kesadaran terdalam yang tidak akan dapat dihancurleburkan. Dia ingat segala kebaikan yang telah dilupakannya, segala kebaikan yang telah menjaganya.
Segalanya berlalu, semuanya terjadi begitu cepat. Christian menarik tubuhnya, lalu membenamkan diri di dekat akar-akar pohon kelapa itu. Dirinya begitu dikuasai oleh kelelahan. Sambil terus mengucapkan kata-kata yang sama, dia membaringkan kepalanya pada akar pohon dan kemudian dirinya terlelap.
Tidurnya begitu pulas tanpa mimpi. Entah untuk waktu berapa lama dia tidak pernah tertidur seperti itu. Saat dirinya terjaga, setelah beberapa jam tertidur, dia merasakan seolah-olah sepuluh tahun telah berlalu. Dia mendengarkan riak lembut air sungai yang mengalir. Dia tidak mengetahui tempat dirinya sekarang berada, dan tidak mengetahui apa yang telah membawanya kemari. Lalu, dia menengadah dan terkejut melihat pohon-pohon dan langit di atasnya. Dia kemudian ingat tempat dirinya berada dan bagaimana cara dirinya datang kemari. Dia merasakan keinginan yang kuat untuk tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Baginya kini masa lalu terlihat bagaikan diliputi kabut, terasa begitu jauh, terasa begitu tidak penting. Dia hanya mengetahui bahwa hidupnya yang baru saja berlalu telah berakhir, hidup yang penuh kemuakan dan kemalangan yang ingin dihancurkannya. Dirinya merasa bagaikan mengalami inkarnasi yang jauh, merasa seperti awal kali saat dirinya pertama kali terlahir, meskipun pada kenyataannya dia telah sampai di tepi sungai itu, mengucapkan kesadaran akan hakikat diri, hingga dirinya terlelap.
Lalu dia merasa tidurnya menjadi begitu indah. Sudah sekian lama dia tidak pernah tertidur demikian. Tidur itu seakan menyegarkan dirinya, memperbaruinya, sedemikian meremajakannya. Kemudian dia berpikir, mungkin saja dia telah benar-benar mati, mungkin saja dirinya telah mati tenggelam, dan kemudian terlahir kembali dalam bentuk lain. Tetapi tidak demikian, dia mengenali dirinya, dia mengenal kaki dan tangannya, tempat dia membaringkan dirinya, keinginan dirinya, pribadinya. Christian telah berubah, dia yang tertidur dengan lelap kini telah terjaga dengan kagum, bahagia dan penuh kedamaian.
Christian berdiri dan melihat seorang wanita dengan jubah dan kerudung menutupi dirinya. Wanita itu duduk, dengan wajah terbuka. Parasnya terlihat lebih cantik dari yang mampu diingat Christian. Tidak perlu waktu lebih lama untuk Christian mengenali perempuan itu, Angelina, teman masa mudanya, sahabat terkasihnya. Angelina yang telah berlindung dalam ajaran Kyai Bahdarudin Syamawi. Angelina juga sudah lebih tua, tetapi aura keindahan semakin terpancar dari wajahnya; hasrat, kesetiaan, keingintahuan, dan tanpa kecemasan. Tetapi, saat Angelina merasakan tatapan Christian, dia melihat kepadanya. Christian merasakan kalau Angelina tidak mengenali dirinya. Yang terlihat hanyalah kesenangan karena dirinya telah terjaga, seperti dirinya telah lama duduk di sana menanti Christian terbangun.
“Saya tertidur?” Tanya Christian. “Bagaimana engkau datang kemari?”
“Anda tertidur, tuan.” Jawab Angelina, “Dan, tidak baik tidur di tempat seperti ini, di tempat yang biasa didatangi ular dan binatang-binatang dari hutan. Saya sedang berjalan bersama para jemaah Kyai Bahdarudin Syamawi, dan kami baru saja kembali dari pondok pesantren di desa sebelah. Saat hendak mengambil air, saya melihat anda tertidur di tempat yang berbahaya. Karenanya, saya mencoba membangunkan anda, dan saat saya mengetahui anda tertidur lelap sekali, saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini dan duduk menjaga anda. Tetapi, ternyata saya yang begitu ingin menjaga anda, kelihatannya ikut tertidur pula. Rasa letih sepertinya begitu menguasai saya, sehingga saya tidak dapat menjaga anda. Tetapi, sekarang anda telah bangun. Karena itu, saya harus segera kembali pada saudara-saudara saya.
“Terima kasih untuk penjagaan anda selama saya tertidur. Saya yakin seluruh jemaat Kyai Bahdarudin Syamawi adalah orang-orang yang baik. Sekarang, teruskanlah perjalanan anda.”
“Saya akan pergi. Mudah-mudahan anda akan baik-baik saja. Semoga Tuhan selalu melindungimu.”
“Terima kasih.”
Angelina membungkuk dan mengatakan, “Assalamualaikum.”
“Selamat jalan, Angelina.” Kata Christian.
Wanita itu tertegun.
“Maaf, tuan, bagaimana anda mengetahui nama saya?”
Setelah itu, Christian tertawa.
“Aku mengenalmu Angelina, sejak dari rumah ayahku, dan sejak masa aku belajar pada ayahmu, dan semenjak hari-hari kita melawan keinginan duniawi, dan sejak saat kita memutuskan menjadi musafir, serta sejak saat kita di tanah tersuci, di As-Salam saat engkau bersumpah setia kepada Kyai Bahdarudin Syamawi.”
“Engkaukah itu Christian?” Teriak Angelina tertahan. “Kini aku mengenal dirimu. Aku juga tidak bisa mengerti mengapa aku tidak bisa mengenalimu dengan segera. Alangkah senangnya aku bisa bertemu engkau kembali.”
“Aku juga senang bertemu dirimu lagi. Kau telah menjaga diriku selama tertidur, meskipun aku tidak memerlukan penjaga. Kemana engkau akan pergi, sahabatku?”
“Aku bersama para jemaah lainnya dalam perjalanan kembali. Sebelumnya, kami berencana singgah di salah satu pondok pesantren di desa berikut. Hidupku kini mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, membaca kitab, mengumpulkan derma, dan juga shalat. Ada banyak hal yang telah diriku pelajari bersama dengan kepercayaanku saat ini. Sebuah siklus kehidupan yang tidak pernah kita pahami sebelumnya. Lalu, kemanakah engkau akan pergi, Chrsitian?”
Christian berkata, “Aku masih sama seperti dengan yang engkau kenali terakhir kalinya, aku masih seorang musafir. Aku tidak pergi kemana-mana, aku selalu ada di jalanan.”
“Engaku mengatakan engkau seorang musafir, dan aku akan percaya itu.” Kata Angelina. “Tetapi, maafkan aku Christian, engkau tidak terlihat seperti seorang musafir. Engaku mengenakan pakaian orang kaya, engkau mengenakan sepatu layaknya orang yang memahami mode, dan rambutmu yang berkilat dan wangi, bukanlah rambut seorang musafir.”
“Engkau menyadari segalanya dengan baik, Angelina.” Jawab Christian. “Kau melihat segala sesuatu dengan penglihatan yang cermat. Tetapi, apakah menurut yang engkau pahami bahwa seorang musafir adalah orang yang harus terlihat lebih hina dari orang yang awam?”
“Tidak ada penekanan seperti itu. Baiklah, engkau adalah seorang musafir. Lalu, ada berapa banyak musafir yang berjalan dengan pakaian seperti itu? Dan, diriku yang telah berjalan bersamamu dalam waktu yang lama di masa lalu, tidaklah kita pernah menemui musafir yang berpakaian seperti itu.”
“Baiklah, aku tidak akan mendebatmu. Tetapi, hari ini engkau telah melihat seorang musafir yang mengenakan pakaian dan sepatu seperti itu. Ingatlah, Angelinaku tercinta, dunia penampilan adalah fana. Gaya pakaian dan rambut adalah fana. Kau telah meneliti dengan baik. Aku mengenakan pakaian orang kaya. Aku mengenakan pakaian itu karena aku telah menjadi orang kaya, dan aku mengatur rambutku seperti orang-orang dunia fashion, karena aku telah menjadi salah satu dari mereka.”
“Lalu, apa yang telah engkau kerjakan, Christian?”
“Aku tidak tahu. Aku mengetahui seperti engkau mengetahuinya. Aku ada di jalanan. Dulu aku adalah orang kaya, tapi hari ini aku bukan lagi orang kaya dan aku tidak tahu akan jadi apa esok hari.”
“Apa engkau telah kehilangan kekayaanmu, Christian?”
“Aku telah kehilangan kekayaanku, ataukah kekayaan telah kehilangan aku – aku tida yakin. Roda penampilan berputar dengan sangat cepat, Angelina. Dimanakah Christian putra seorang pelacur? Dimanakah Christian seorang musafir? Dimanakah Chrsitian si orang kaya? Kefanaan akan terus berubah dengan cepat, Angelina. Apa engkau tahu itu?”
Lama Angelina terdiam dan menatap wajah teman masa mudanya dengan tatapan ragu. Kemudian dia membungkuk kepadanya, seperti orang melakukannya pada orang yang lebih terhormat, mengucapkan salam, lalu berbalik meneruskan perjalanan.
Tersenyum hangat, Chrsitian menyaksikan kepergiannya. Christian masih tetap mencintainya, teman yang punya rasa ingin tahu lebih dan penuh kesetiaan. Dan, pada saat itu, dirasakan betapa hatinya tenang sekali, sesudah tidurnya yang begitu lelap, betapa dia bisa merasakan ada begitu banyak kedamaian dalam hatinya. Dia merasakan ada banyak cinta dalam hatinya terhadap segala sesuatua yang terlihat baginya. Dan sepertinya hal itulah yang membuatnya begitu sakit di masa lampau, karena dirinya tidak dapat mencintai sesuatu ataupun seseorang.
Senyumnya masih tergaris saat wanita itu perlahan menghilang dari pandangannya. Tidur telah menyegarkannya, tetapi dia merasakan lapar yang begitu kuat karena dia belum makan selama dua hari. Dia perlahan mengingat hal yang telah dibualkannya pada Kaylila, tentang seni yang tidak dapat dilihat dan begitu anggun. Berpikir, menunggu, berpuasa, bersabar dan berdoa. Lima hal yang telah menjadi kekuatannya. Dia telah melewati untuk mempelajari hal ini, dan tidak ada hal lainnya selama tahun-tahun penuh kerajinan dan ketekunan pada masa mudanya. Kini dia telah kehilangan kelimanya, dia tidak lagi memiliki kelimanya. Dia telah menukar kelimanya dengan hal-hal yang paling buruk, dengan kefanaan, dengan segala kesenangan rasa, dengan kehidupan sombong dan kekayaan. Dia telah melewati jalan yang asing.
Christian perlahan menggumamkan keadaanya itu. Dia merasa begitu sulit untuk berpikir. Dirinya merasa tidak sedikitpun memiliki hasrat untuk berpikir, tetapi dia terus memaksakannya.
Sekarang, pikirnya, semua barang fana itu telah lepas dari diriku lagi, aku sekali lagi berdiri di bawah terik mentari, seperti dulu saat aku berdiri seperti seorang anak kecil. Tidak ada lagi sesuatu pun yang menjadi milikku, aku tidak lagi mengetahui apa pun. Betapa anehnya! Kini, ketika aku tidak lagi muda, saat rambutku dengan cepat beruban, saat tenagaku mulai menyusut, aku kembali menjadi seperti seorang anak kecil kembali. Dia kembali tersenyum dan berpikir hidupnya aneh. Dia mengalami penyurutan, dan kekosongan yang dalam. Dia berdiri telanjang dan bodoh di dunia ini. tetapi, dia tidak sedikit pun bersedih hati karena itu. Bahkan ada keinginan yang begitu besar dalam dirinya untuk tertawa, menertawakan dirinya, menertawakan dunia yang tolol dan aneh.
“Benda-benda surut bersama diriku.” Dia berkata pada dirinya sendiri. Dan, saat dia memgatakannya, dia melihat bayangannya terpantul di sungai. Dan, dia melihat sungai yang mengalir, terus-menerus surut. Dia mendengarkan nyanyian gembira dari sungai itu. Nyanyian yang menggembirakan hatinya. Perlahan dia tersenyum pada sungai itu. “Bukankah ini sungai tempat diriku ingin menenggelamkan diri ratusan tahun yang lalu, ataukah itu hanya mimpi saja?”
Betapa aneh hidup ini, pikirnya. Dia yang telah melangkah sepanjang jalan yang terasa aneh. Sebagai manusia, aku telah dikuasai oleh rasa dan nafsu, oleh segala bentuk kenikmatan yang begitu fana. Semasa muda aku dikuasai hidup dalam berpikir, berpuasa, menunggu, bersabar dan berdoa. Aku yang mencari kemanunggalan, mencoba untuk bisa bersatu dan menjadi Tuhan. Sebagai seorang pemuda, aku telah ditarik oleh bentuk-bentuk penebusan. Aku hidup sendiri di alam, menderita panas dan dingin. Aku belajar untuk berpuasa agar bisa mengalahkan keinginanku. Kemudian aku menemukan ajaran yang mebuatku terpesona namun membingungkan diriku. Aku yang pernah merasakan pengetahuan dan kesatuan alam beredar dalam diriku seperti aliran darahku sendiri, tetapi aku juga mengalami hasrat untuk meninggalkan pengetahuan dan kesatuan itu. Aku yang kemudian berlalu dan mempelajari kenikmatan bercinta dengan Kaylila, dan bisnis dengan Yohanes. Aku menimbun uang, dan menghamburkannya. Aku yang memerlukan citarasa dari makanan mewah, dan diriku yang terus merangsang perasaanku. Aku yang harus melewati tahun demi tahun seperti itu hanya untuk menghilangkan pemikiranku, untuk melenyapkan akal sehatku, untuk melupakan bahwa alam bergerak di bawah satu kesatuan. Apakah benar, bahwa diriku yang telah melalui banyak persimpangan, perlahan telah berubah dari seorang yang dewasa menjadi anak-anak? Dari seorang pemikir menjadi manusia dungu? Tetapi, begitulah adanya jalan ini, dan rasa diriku belum juga mati. Tetapi pada jalan itu, aku telah mengalami demikian banyak kebodohan, begitu banyak sifat buruk, begitu banyak kesalahan, demikian banyak kemuakan, kekecewaan, kesedihan, hanya untuk menjadi seorang anak kecil dan memulai segalanya dari awal kembali. Christian menatap dalam aliran sungai. Batinnya bergejolak.
Tetapi, benrakah jalan ini harus demikian? Apakah benar aku harus mengalami keputusasaan, aku harus tenggelam ke dalam palung mental yang terbesar, ke dalam pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidupku, agar diriku mengalami keangguna? Apa benar aku harus menjadi bodoh agar aku menyadari Tuhan itu ada? Apa benar aku harus berdosa agar aku bisa hidup kembali? Kemanakah jalan ini mengarahkan diriku? Jalan ini yang bodoh ataukah diriku? Mengapa jalan ini berputar-putar, berulangkali menjebak diriku dalam lingkaran-lingkaran. Meskipun demikian, kemana pun jalan ini membentang, aku akan mengikutinya.
Kali ini Christian merasa waspada terhadap kebahagiaan yang merayap dalam dirinya.
Dari manakah kebahagiaan itu datang? Dia bertanya kepada dirinya. Apakah yang menjadi alasan kebahagiaan ini? Apakah alasan ini muncul dari tidur lelapku yang telah membuat diriku lebih baik? Ataukah mungkin dari kesadaranku bahwa Tuhan itu selalu ada? Atau karena aku bisa lari dari keadaanku sebelumnya, karena perjalananku telah terpenuhi, karena pada akhirnya aku bisa bebas dan berdiri lagi seperti anak-anak di bawah mentari? Ah, betapa leganya perjalanan ini telah terselesaikan. Hingga aku tiba di tempat yang dipenuhi aroma rempah-rempah, kelebihan dan kelembapan. Betapa aku menyadari, diriku begitu membenci dunia kekayaan, mabuk-mabukan, dan judi. Betapa aku membenciku diriku sendiri yang telah begitu lama tinggal dalam dunia yang mengerikan itu. Betapa aku membenci diriku yang merintangi, membius dan menyiksa diriku sendiri dalam dunia buruk hingga diriku menjadi tua dan buruk. Tetapi, kini aku tidak akan mengulangi hal itu lagi. Aku tidak akan berkhayal lagi, aku akan menganggap diriku pandai. Aku merasa bahagia karena diriku telah mengakhiri kebencian atas diri atas hidup yang kosong.
Christian perlahan kembali menghargai dirinya kembali setelah bertahun-tahun larut dalam kebodohan. Dirinya kembali memiliki gagasan-gagasan yang baik. Dia yang kembali mendengar suara kecil dalam dadanya berkicau, dan ia mengikutinya.
Dia yang berdiri di tepi sungai. Melihat air yang mengalir, sebagaimana dia menyadari aliran kehidupannya yang dialaminya. Dia yang mendengarkan perutnya yang keroncongan karena lapar. Dia telah sepenuhnya menghilangkan kesedihan dan kesengsaraan masa lampaunya, dan menyadari bahwa dia telah melahap segalanya hingga sampai pada keputusasaan dan kematian.
Dia yang selama ini bertahan begitu lama bersama Yohanes. Mengumpulkan dan menghamburkan uang. Memberi makan pada tubuhnya dengan segala kemewahan dan melalaikan jiwanya. Dia yang akan begitu lama berada dalam neraka yang terbungkus dengan rapi dan lembut, jika saja keputusasaan itu tidak terjadi, yang mengantarkan dirinya pada tepi air yang mengalir – tempat dirinya ingin mati. Namun, keputusasaan dan kemuakan luar biasa itu gagal menggagahi dirinya. Kicauan, mata air yang jernih, suara lembut dalam dadanya masih hidup dan menyadarinya. Itulah yang mebuat dirinya begitu bahagia dan kembali tertawa. Itulah yang membuat wajahnya kembali bersinar di bawah rambutnya yang dipenuhi uban.
“Baik sekali untuk mengalami sesuatunya sendiri.” Ujarnya pada dirinya sendiri. “Ketika masih kecil, aku telah mengetahui bahwa kekayaan adalah sesuatu yang bisa menjadi keburukan. Kesenangan-kesenangan dunia adalah sesuatu yang mampu menjerumuskan. Aku telah begitu lama mengetahuinya, tetapi aku baru saja mengalaminya. Kini, aku tidak hanya mengetahuinya dengan kecerdasanku, tetapi juga dengan mataku, dengan hatiku, dengan dadaku. Adalah baik bahwa kini aku telah memahaminya.”
Dia lama merenungkan perubahan dalam dirinya, mendengarkan suara dalam dadanya yang begitu halus dan lembut. Jika suara dalam dirinya mati, akan mati jugakah dirinya? Tidak! Sesuatu dalam dirinya memang telah mati, sesuatu yang telah lama ingin dibinasakannya. Hal-hal yang sebenarnya selalu ingin dihancurkannya dalam masa-masanya sebagai musafir. Hal yang yang telah menggantikan kebahagiaan dengan kecemasan di dalam dirinya. Dan, saat itu bersama air yang mengalir, hal itu telah mati.
Christian merasakan dalam dadanya sebuah pemahaman mengapa dirinya telah gagal berjuang. Dia mengisi dirinya dengan terlalu banyak pengetahuan yang tidak selesai. Pemahaman yang tidak mempunyai jawaban akhir. Terlalu banyak aib yang ditutupi. Dengan semua itu dia mengisi dirinya dengan kesombongan, dia merasa dirinya selalu menjadi yang terpandai, yang paling benar atas kemauannya. Dia yang selalu merasa selangkah di depan yang lain. Dia yang merasa dirinya terpelajar, selalu diagungkan sebagai guru, seorang pendeta dan filsuf. Dirinya merangkak dalam keagungan kebiksuannya, ke dalam keangkuhannya, ke dalam rasa yang membuat dirinya terlihat suci layaknya Tuhan. Dia yang terus tumbuh selalu mencoba menghancurkan pikirannya dengan berpuasa dan mematikan keinginannya.
Dalam kesadaran penuhnya, dia menyadari bahwa tidak akan ada seorang guru pun yang akan mampu membawakan keselamatan padanya. Hanya dirinyalah yang akan menentukan keselamatan atasnya. Untuk itulah dia harus mampu tenggelam dalam pemahamannya, pemahaman untuk bisa menghapuskan pemujaan atas kekuasaan, harta dan wanita. Meskipun untuk semua itu dia harus terlebih dahulu melewati tahun-tahun terburuknya. Menjadi pedagang, penjudi, peminum dan penikmat tubuh wanita hingga kesadarannya menjadi mati. Dia yang harus menjalani kemuakan, mempelajari kegilaan hidup yang sia-sia dan kosong, hingga dia merasakan keputusasaan yang pahit, hingga Christian pedagang kaya dan Christian pencari kenikmatan akhirnya mati. Dia yang harus membayar segalanya dan menyadarinya, meskipun ketuaan telah menghampiri dirinya. Dirinya yang telah menyadari bahwa dirinya akan mati kelak. Dirinya yang memahami bahwa dia adalah sesuatu yang fana, dan semua yang di dunia adalah fana.
Gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran lewat melalui dirinya. Dia tersenyum pada perutnya yang kosong, mendengarkan dengan penuh terima kasih pada burung yang berkicau. Dengan rasa yang begitu bahagia dia melihat air yang mengalir. Belum pernah sebelumnya sebuah sungai menarik hatinya. Belum pernah dia menemukan suara dan penampilan air mengalir yang demikian indahnya. Tampak padanya seolah-olah sungai itu menyimpan sesuatu yang khusus untuk dirinya. Sesuatu yang tidak diketahuinya. Sesuatu yang terus menunggunya. Christian yang berniat menenggelamkan dirinya dalam sungai itu. Christian yang tua, letih dan putus asa, mati tenggelam dalam sungai itu? Batinnya. Christian lalu merasakan cintanya yang tulus kepada air yang mengalir itu, dan dia memutuskan untuk tidak meninggalkannya dengan begitu cepat. Sesuatu yang begitu besar bergejolak dalam dadanya. Dirinya meyakini ada sesuatu yang indah yang akan ditemui dan dipelajarinya bersama air sungai yang mengalir di hadapannya. Bersama segala sesuatu yang hidup di antara air yang mengalir itu.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More